Menemukan titik ekuilibrium antara permasalahan lingkungan dalam hal ini adalah perubahan iklim tanpa mendisrupsi perekonomian memang menjadi diskurus yang menarik bagi kalangan akademisi.Â
Negara-negara di dunia saat ini tengah mencari jawaban terhadap bagaimana untuk menangani permasalahan perubahan iklim dibarengi dengan kebijakan yang diterima oleh politisi sebagai pemangku kebijakan dan penyerap aspirasi rakyat, serta bagi bisnis itu sendiri.Â
Merujuk pada Sustainable Development Goals (SDGs) Poin ke 13 yaitu Perubahan Iklim, Indonesia telah berkomitmen untuk mengintegrasikan tindakan antisipasi perubahan iklim ke dalam kebijakan strategi dan perencanaan nasional.Â
Mengingat bahwa Indonesia merupakan penghasil karbon terbesar keempat di dunia maka Indonesia juga bertanggung jawab dalam menurunkan emisi karbon tersebut.Â
Namun, dana untuk melakukan mitigasi perubahan iklim membutuhkan dana yang tidak sedikit. Nyatanya kemampuan ABPN untuk menangani pendanaan yang dibutuhkan untuk mitigasi tersebut hanya dapat menutupi 34% dari total keseluruhan pendanaan yang dibutuhkan.
Pajak karbon sebagai kebijakan publik lantas menjadi jalan keluar untuk mendorong perusahaan dan masyarakat dalam menggunakan energi baru dan terbarukan, sekaligus dapat menjadi sarana untuk menambah pemasukan negara sesuai dengan fungsi pemungutan pajak yakni fungsi regulerend.Â
Adapun fungsi dari pajak karbon sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya adalah untuk mengatasi eksternalitas negatif yang dirasakan masyarakat dari perusahaan pencemar.Â
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebijakan pajak karbon dapat menjadi kebijakan yang mampu untuk menjawab problematika dilematis yang tengah dihadapi. Hal ini tak lepas dari bagaimana seharusnya peraturan diciptakan dan dilaksanakan.Â
Secara umum, politik memang bertujuan untuk menentukan peraturan yang dapat diterima dengan baik oleh sebagian besar warga negara dan untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Oleh karena itu, kebijakan pajak karbon harus mampu untuk diterima bagi seluruh kalangan masyarakat dan politisi itu sendiri.Â
Untuk mengakomodasi masalah tersebut, UNECE (UNITED NATIONS ECONOMIC COMMISSION FOR EUROPE, 2015) melalui publikasinya memberikan beberapa atribut yang harus dimiliki oleh sebuah kebijakan agar dapat memberikan kontribusi bagi perubahan iklim dan mampu diimplementasikan dengan baik. Adapun atribut tersebut adalah sebagai berikut:
a. Outcomes yang signifikan: kebijakan tersebut harus mampu untuk mengurangi permintaan energi yang besar dan memberikan keuntungan yang terukur.
b. Komplementaritas: adanya sinergi dan integrasi kebijakan dengan upaya nasional, regional, dan internasional yang didukung dan dilengkapi dengan kebijakan lainnya.
c. Penyelarasan Politik: memastikan bahwa kebijakan tersebut secara politis dapat diterima dan berhasil diterapkan secara nasional.
d. Daya Pasar: kebijakan dapat diterima di pasar global dan nasional dan mampu untuk menarik investor.
Untuk itu dapat disimpulkan, bahwa atribut-atribut tersebut harus dimiliki oleh pajak karbon dalam rangka memastikan bahwa kebijakan ini nantinya tak hanya menambah pemasukan negara, tetapi juga dapat digunakan sebagai langkah perusahaan untuk melakukan transisi penggunaan energi baru dan terbarukan. Dalam tataran empiris, pajak karbon dapat terlaksana dengan menggunakan double dividend argument.Â
Double dividend argument merupakan mekanisme pajak karbon yang didasarkan pada konsepsi bahwa terdapat 2 tujuan yang akan ditempuh oleh pajak karbon, yaitu mengurangi karbon itu sendiri, serta semaksimal mungkin mengurangi disrupsi ekonomi yang terjadi.Â
Jika berorientasi pada tujuan tersebut, maka pajak karbon tak hanya sebatas alat fiskal untuk menambah pemasukan negara, tetapi juga sebagai penyeimbang antara pemasukan yang diterima dan alokasi penerimaan dana yang diterima tersebut. Sehingga nantinya pengeluaran juga dapat dialokasikan untuk mitigasi iklim dan hal lainnya yang dapat secara langsung berdampak bagi masyarakat.Â
Untuk itu, melalui argumentasi double dividend yang menekankan pada pengurangan disrupsi ekonomis, pajak karbon juga dapat disertai dengan mekanisme revenue recycling.Â
Mekanisme ini berorientasi pada tujuan untuk mengalokasikan kembali pajak karbon kepada masyarakat melalui pengurangan pada pajak tertentu, sehingga disrupsi ekonomi yang terjadi tidak terlalu terasa.Â
Ketika permasalahan yang dihadapi adalah apakah kebijakan ini aplikatif dan dapat diterima oleh kalangan masyarakat, maka pajak karbon dengan mekanisme revenue recycling dapat menjadi jawaban atas masalah penerimaan masyarakat tersebut. Warga Swedia nyatanya setuju diterapkannya pajak karbon selama pajak penghasilan mereka dipotong oleh pemerintah.Â
Oleh karena itu, penting bagi pemangku kebijakan tak hanya berorientasi pada mengumpulkan dana untuk mitigasi iklim semata, tetapi juga penting untuk memikirkan bagaimana cara agar masyarakat memperoleh keuntungan jangka pendek terhadap pemasukan yang diterima negara.Â
Sebab, penelitian yang dilakukan oleh menunjukkan bahwa di United Kingdom, pajak karbon nyatanya membebani masyarakat miskin yang akhirnya menyebabkan kesenjangan ekonomi. Pemerintah dalam hal ini perlu untuk menentukan pajak atau beban pengeluaran apa yang ada di masyarakat yang dapat dikurangi.
Ketika penerimaan masyarakat tercapai, maka cukup mudah bagi perusahaan untuk mematuhi pajak karbon. Sebab apabila masyarakat menolak pajak karbon dan kenaikan harga yang terjadi, maka perusahaan akan kesulitan untuk melakukan peralihan sumber daya mereka karena produknya tidak laku di pasaran.Â
Untuk itu, bagi bisnis, sejatinya pajak karbon dengan double dividend yang menggunakan mekanisme revenue recycling tidak memberikan dampak yang negatif terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Justru, penerapan pajak karbon sendiri dapat memberikan angin segar bagi kelangsungan hidup perusahaan secara berkelanjutan.Â
Menurut (Scholtens, 2008), kelangsungan hidup sebuah perusahaan ditentukan dari bagaimana perusahaan tersebut menjalin hubungan dengan masyarakat, lingkungan sekitar, dan bagaimana perusahaan memperhatikan tanggung jawab sosialnya.Â
Untuk itu, perusahaan harus menghindari hal yang berdampak buruk bagi lingkungan. Pajak karbon sebagai pigouvian tax sebagaimana telah dijelaskan di pembahasan sebelumya  menjadi instrumen yang dapat mengubah perilaku perusahaan agar beralih menggunakan energi yang baru dan terbarukan.Â
Penggunaan bahan dan alat produksi yang ramah lingkungan didorong dengan pajak karbon sejatinya membawa dampak positif bagi perusahaan itu sendiri dan menjadikan pajak karbon sebagai kebijakan yang feasible bagi perusahaan di Indonesia. Saat ini beberapa investor tengah melakukan penilaian investasi berbasis ESG atau Enviroment, Social, and Corporate Governance.Â
Perusahaan dikategorikan memenuhi kriteria ESG apabila perusahaan tersebut ramah lingkungan, menghargai hak asasi manusia, dan memiliki tingkat korupsi yang rendah.Â
Selama perusahaan menghasilkan karbon yang rendah dan beralih pada alat produksi yang ramah lingkungan, maka potensi investasi yang didapatkan oleh perusahaan tersebut semakin meningkat. Â
Dengan demikian dapat dikatakan kunci terhadap kebijakan pajak karbon yang aplikatif terletak pada penerimaan masyarakat terhadap kebijakan itu sendiri. Melalui konsep double dividend yang melahirkan mekanisme revenue recycling, maka sejatinya pajak karbon dapat diterapkan secara aplikatif tanpa perlu menimbulkan gangguan terhadap perekonomian.Â
Sebab masyarakat tidak mengalami penurunan daya beli yang signifikan, serta perusahaan dapat mulai melakukan transisi menuju energi baru dan terbarukan tanpa khawatir terhadap penurunan laba perusahaan itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2HArtikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya