Masa kecilku dulu selain dihabiskan dengan membaca buku, saya juga gemar membaca koran.Â
Setiap pulang sekolah setelah melepas sepatu dan kaus kaki, saya selalu meluangkan waktu membaca koran lokal yang sudah Ayahku baca sebelumnya dan ia simpan di atas meja ruang tamu. Selesai membaca, tangan saya dulu menjadi warna hitam karena tinta koran.
Awal saya mulai membaca koran ketika umur saya sekitar 10 atau 11 tahun, tepatnya ketika duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 5. Ayah pun tidak pernah menyuruh saya untuk membaca koran, murni karena rasa penasaran saja.
Bagian dari koran yang pasti saya baca adalah berita di sampul depan, berita politik, berita internasional, komik, dan diakhiri dengan jadwal penayangan film di bioskop. Sedangkan bagian yang selalu saya lewatkan adalah bagian ekonomi dan gaya hidup yang biasa berisi informasi artis-artis Indonesia.
Saya sangat bersyukur selain memiliki akses akan koran, Ayah juga selalu meladeni pertanyaan saya mengenai berita yang tertulis di koran.Â
Saya masih ingat ketika Ayah memberikan jawaban dari pertanyaanku mengenai perbedaan DPR dan DPRD, perbedaan gubernur dan wali kota, hingga mengapa ada orang yang rela melukai anggota keluarganya sendiri.
Kebiasaan membaca koran terhenti ketika Ayah berhenti berlangganan ketika saya sudah duduk di bangku Sekolah Menegah Atas. Namun karena perkembangan teknologi, kebiasaan saya dan Ayah berubah menjadi membaca berita lewat internet.
Setelah saya beranjak dewasa, saya sadar betapa bermanfaatnya membaca koran khususnya ketika saya berkuliah di jurusan yang mengharuskan membaca berita.Â
Seiring dengan berkurangnya minat masyarakat membaca koran, sepertinya anak-anak yang membaca koran dan berita juga berkurang. Tapi apakah sebenarnya anak-anak boleh membaca koran?
Pertanyaan di atas muncul di benak saya karena mempertimbangkan beberapa jenis berita yang mungkin tidak seharusnya dibaca oleh anak-anak. Misalnya seperti berita mengenai kekerasan hingga pembunuhan.