Dua kali dalam setahun, masyarakat Kota Pontianak akan mengunjungi makam leluhur untuk melaksanakan sebuah tradisi turun temurun. Anggota keluarga pun rela mengeluarkan banyak biaya dan mengorbankan tenaga untuk mengingat dan juga menghormati roh leluhur.Â
Persiapan dari membeli berbagai perlengkapan seperti replika baju, topi, pakaian dalam hingga mobil, pesawa,t dan rumah pun dilakukan beberapa hari sebelumnya. Ketika proses sembahyang kubur dilakukan pun terdapat berbagai tradisi yang sudah wajib hukumnya untuk dilaksanakan.Â
Keluarga penulis termasuk dari keluarga-keluarga di Kota Pontianak yang masih menjalankan ritual ini. Lewat tulisan sederhana ini, penulis ingin membawa para pembaca untuk mengenal dan melihat persiapan salah satu tradisi yang penuh dengan makna dan tercatat sudah dilakukan sejak ribuan tahun lalu.Â
Dua kali dalam setahun
Sembahyang kubur atau dalam bahasa Hakka dikenal dengan Kua Ci (掛紙) dilakukan dua kali dalam setahun, yaitu pada Festival Qingming dan pertengahan bulan 7 dalam kalender Tionghoa atau kalender Candra.
Sembahyang kubur yang pertama dilakukan selama 15 hari sebelum Festival Qingming yang tahun ini jatuh pada 4 April 2021. Sedangkan yang kedua pada bulan ke-7 (yang biasa disebut dengan Bulan Hantu) dilakukan pada tanggal 1 sampai 15 kalender Tionghoa di bulan tersebut.
Sembahyang kubur bukan hanya dilakukan di Kota Pontianak, melainkan juga di kota-kota lain di Indonesia dengan masyarakat keturunan Tionghoa. Selain di China, di negara seperti Taiwan, Thailand, Singapura, dan Malaysia juga melaksanakan tradisi ini.
Makna dari sembahyang kubur
Sembahyang kubur sendiri digunakan sebagai waktu untuk mengunjungi, membersihkan dan juga memberikan persembahan kepada roh leluhur, orang tua atau keluarga yang sudah meninggal.Â
Dengan mengunjungi pemakaman keluarga yang sudah meninggal, tradisi ini juga menjadi momen yang spesial untuk berkumpul bersama seluruh anggota keluarga lainnya.
Tradisi ini juga kuat dengan ajaran keluarga Tionghoa, di mana seorang anak harus melayani dan mencukupi kebutuhan orang tuanya, selama hidup maupun setelah meninggal. "Jika tidak ada mereka, maka tidak ada kita," kira-kira seperti itu maksud dari tradisi ini.Â
Orang tua akan meneruskan tradisi turun temurun ini dari satu generasi ke generasi lainnya. Misalnya terjadi di penulis, sejak kecil penulis sudah diajak untuk mengikuti dan juga mempelajari persiapan dari sembahyang kubur.Â