Tanpa membuang banyak waktu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengadakan pertemuan dengan 15 anggotanya pada 2 Februari 2021 atau satu hari setelah kudeta dilakukan oleh militer Myanmar. Sayangnya, pertemuan yang membahas mengenai kudeta yang telah melanggar nilai-nilai demokrasi tidak membuahkan hasil dikarenakan dihalangi oleh China dan Rusia.
Pertemuan DK PBB kali ini membahas mengenai pernyataan posisi dari PBB mengenai tindakan militer Myanmar yang telah menguasai negara tersebut sekaligus menahan Presiden Win Myint dan kepala pemerintahan de facto Aung San Suu Kyi.
Dikutip dari Channel News Asia, bunyi dari rancangan pernyataan tersebut adalah “status darurat nasional satu tahun harus dibatalkan dan semua pihak harus mematuhi norma demokrasi”.
Perlu diketahui bahwa pernyataan yang direncakan oleh DK PBB belum membahas mengenai sanksi ekonomi kepada Myanmar dan hanya menyatakan sikap ketidaksetujuan. Beberapa anggota DK PBB sudah menujukkan ketidaksetujuannya mengenai kudeta yang dilakukan oleh militer Myanmar.
Menyusul juga rencana untuk melakukan embargo ekonomi, embargo pembelian senjata api, hingga membekukan asset Min Aung Hlaing selaku pemimpin kudeta. Namun tanpa pernyataan posisi dari PBB, hal tersebut tidak dapat dilakukan.
Bagaikan sejarah terulang lagi, China kembali menunjukkan keengganannya untuk mendukung pernyataan ini. Ditemani oleh Rusia, diplomat dari kedua negara tersebut dalam pertemuan DK PBB beberapa hari lalu menyatakan bahwa mereka membutuhkan waktu lebih untuk mengeluarkan persetujuan atau hak vetonya.
China sebelumnya juga pernah menghalangi pernyataan posisi PBB pada tahun 2017 mengenai krisis Rohingya di Myanmar dengan hak vetonya. Saat itu, China menyatakan bahwa krisis Rohingya adalah masalah internal dan tidak sepantasnya pihak eksternal ikut campur.
Bersama dengan Rusia, China selaku anggota tetap DK PBB juga pernah menggunakan hak vetonya menolak rancangan resolusi PBB untuk membebaskan tahanan politik dan menghentikan pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar pada tahun 2007.
Tidak ada teman atau musuh didalam politik, China melakukan hal ini kepada Myanmar bukanlah sebagai bukti persahabatan antar dua negara yang kerap melanggar norma demokrasi dan hak asasi manusia. Hanya ada kepentingan didalam politik, maka dari itu penulis ingin menilik kepentingan apakah yang dimiliki oleh China dalam kudeta Myanmar kali ini?
Kepentingan Ekonomi China di Myanmar
Menurut penulis, didalam hubungan antar negara kepentingan yang paling pertama adalah ekonomi dan yang kedua adalah pengaruh ideologi. Berbeda dengan anggota DK PBB lainnya yang mengkritisi tindakan militer Myanmar sebagai pelanggaran norma demokrasi, sepertinya China memilih untuk mementingkan kepentingan yang pertama, yaitu ekonomi.