Menyeberangi Sungai Kapuas
Untuk naik sampan pun tidak bisa di tempat sembarangan, kecuali memang Anda memiliki sampan sendiri. Untuk menggunakan jasa penyebrangan dengan sampan, penulis harus menuju pelabuhan sampan yang tersebar sepanjang Sungai Kapuas.
Walaupun banyak pelabuhan, setiap pelabuhan memiliki rutenya masing-masing, misalnya rute Alun-alun Pontianak-Pasar Puring yang selalu penulis gunakan karena tidak jauh dari tempat tinggal penulis.
Harga naik sampan pun selalu naik seiringan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak karena kebanyakan sampan untuk menyeberangi sungai menggunakan tenaga motor. Ketika artikel ini ditulis, tiket sampan untuk 1 orang dikenakan biaya Rp 2.000 dan untuk pelajar yang menggunakan seragam sekolah biasanya dikenakan biaya Rp 1.000. Selain membawa penumpang, sepeda juga bisa dibawa ke atas sampan. Â
Satu sampan dapat membawa penumpang sebanyak 8-10 orang, walaupun kadang ada pengayuh sampan yang berusaha memasukkan penumpang melebihi kapasitas maksimal. Pengayuh sampan juga biasanya menunggu sampan penuh terlebih dahulu, tapi jika Anda buru-buru dengan bayaran Rp 10.000 sampan bisa langsung jalan tanpa menunggu.
Penulis juga sering menemukan turis yang khusus menyewa sampan untuk berkeliling menyisir Sungai Kapuas (bukan hanya menyebrang) untuk melihat masyarakat yang tinggal di tepi sungai, menikmati pemandangan matahari terbenam, ataupun melihat Jembatan Kapuas dari sisi lain.
Mempertaruhkan nyawa
Walaupun masih digunakan oleh masyarakat Pontianak, banyak juga masyarakat yang menolak menggunakan sampan dikarenakan ketidak-amanannya. Hal ini dikarenakan sampan tidak dilengkapi dengan alat pengaman seperti pelampung.
Tidak sedikit media yang memberitakan kasus sampan yang terbalik di tengah Sungai Kapuas dan memakan nyawa, kebanyakan korban tidak bisa berenang dan tenggelam. Apalagi ditambah dengan cerita-cerita mistis mengenai makhluk yang tinggal di dasar Sungai Kapuas. Â
Selain karena tidak dilengkapi alat pengaman, cuaca juga menjadi penyebab sampan menjadi tidak aman. Angin yang kencang membuat ombak di sungai menjadi besar apalagi ditambah dengan hujan deras yang menyebabkan sampan menjadi oleng.
Keahlian pengayuh sampan menjadi satu-satunya ‘pegangan’ para penumpang sampan agar dapat sampai ke seberang sungai dengan selamat. Untuk penulis sendiri, naik sampan seakan-akan menyerahkan nyawa kepada pengayuh sampan, jadi pasrah saja.
Walaupun tidak aman, sampan tetap menjadi alat transportasi masyarakat Pontianak untuk menghemat waktu. Jika dibandingkan dengan menggunakan kendaran bermotor, untuk menyebrangi Sungai Kapuas harus melewati 2 jembatan terlebih dahulu yang tentu memakan lebih banyak waktu. Apalagi ditambah dengan kemacetan yang kerap terjadi di jembatan tersebut.