Ketika Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Jepang, banyak pasukan militer dari Amerika Serikat yang tinggal di Jepang seiringan dengan didudukinya Jepang oleh pemerintah Amerika Serikat. Sampuru menjadi sangat berguna karena para pasukan militer yang tidak bisa membaca menu restoran dalam bahasa Jepang. Walaupun tidak bisa berbahasa Jepang, tetapi mereka bisa melihat dan memilih sampuru dari makanan yang ditawarkan oleh restoran tersebut.
Hingga sekarang tujuan digunakannya sampuru masih sama, yaitu untuk menarik perhatian orang yang berlalu lalang sekaligus juga untuk membantu orang-orang yang tidak bisa menggunakan bahasa Jepang untuk memutuskan apa yang harus dipesan.
Dikutip dari wawancara CNA Insider dengan Etsuji Isozaki, kepala dari salah satu produsen sampuru, replika makanan ini membantu para pelanggan karena tidak mungkin seseorang dapat membayangkan makanan sebelum melihatnya langsung. Maka dari itu, sampuru harus terlihat enak dan membuat yang melihat menjadi lapar.
Terlihat mudah, tetapi sangat sulit untuk dibuat
Untuk membuat sampuru yang identik dengan makanan asli pastilah tidak mudah. Berbeda dengan buatan pertama Iwasaki, sampuru sekarang tidak menggunakan lilin karena mudah meleleh di cuaca panas. Sejak tahun 1970an, sampuru kebanyakan dibuat dari plastik.
Proses dimulai dengan restoran yang mengirimkan makanan asli dengan foto ke prosuden sampuru. Makanan itu kemudian akan dicelupkan ke dalam silikon untuk dibuat cetakannya. Cetakan tersebut kemudian dituangkan plastik cair. Setelah plastik tersebut menjadi padat dilanjutkan dengan tahap terakhir namun tahap yang paling penting, yaitu tahap melukis. Proses pembuatan sampuru di Jepang hingga sekarang 95%-nya mengandalkan keterampilan tangan dari senimannya.
Tidak sembarangan orang bisa membuat sampuru. Untuk menjadi seniman sampuru, harus dimulai dengan magang selama tiga tahun. Setelah lima tahun mempelajari seni ini, barulah produk buatan dapat dianggap berkualitas dan dapat dijual oleh produsen.
Selayaknya hasil karya tangan lainnya, sampuru juga memiliki harga yang mahal bahkan 10 kali lipat lebih mahal dari makanan aslinya. Contohnya adalah sampuru secangkir teh hijau dikenakan harga sekitar 500 ribu rupiah dan sampuru onigiri dikenakan harga 950 ribu rupiah dengan waktu pembuatan satu hari. Â Harga sampuru semakin mahal jika ukurannya semakin besar, seperti hidangan utama seperti ramen dikenakan biaya 1,5 juta rupiah atau sepiring sushi dikenakan biaya seharga 7 juta rupiah yang memakan waktu pembuatan hingga satu minggu.
Tidak heran jika bisnis sampuru bernilai 1,2 trilliun di Jepang. Bayangkan saja untuk sebuah restoran, biasanya memajang lebih dari lima sampuru hidangan utama dengan dekorasi sampuru hidangan lainnya.
Sampuru hingga sekarang masih digunakan di Jepang. Bukan hanya digunakan sebagai pajangan di depan restoran, sampuru sekarang juga tersedia dalam bentuk gantungan kunci, magnet kulkas, atau casing smartphone yang bisa dibeli sebagai oleh-oleh dari Jepang.
Beberapa restoran Jepang yang dibuka di kota-kota besar Indonesia juga banyak yang memajang sampuru di depan restorannya. Walaupun dengan berkembangnya teknologi seperti menu makanan online atau aplikasi penerjemah di smartphone, sampuru tetap eksis hingga sekarang.
Untuk menutup tulisan ini, penulis merekomendasikan sebuah video yang memperlihatkan pembuatan sampuru tempura dan sayur kol dari lilin. Â