"Ketika diperbudak, mereka bukan hanya kehilangan kebebasan untuk hidup tetapi juga kebebasan untuk memilih apa yang dapat mereka makan. Soul food menjadi sebuah simbol kreativitas etnis Afrika-Amerika untuk menyajikan makanan khas yang menarik walaupun memiliki bahan yang sangat terbatas."
Rasisme terhadap etnis Afrika-Amerika bukanlah hal baru di Amerika Serikat. Perilaku diskriminasi ini berakar dari budaya dan sejarah perbudakan masyarakat etnis Afrika-Amerika yang kebanyakan dilakukan oleh etnis Eropa-Amerika.
Sejarah perbudakan yang sangat rumit ini dimulai pada tahun 1619 ketika 19 orang didatangkan dari Afrika ke Amerika Serikat (yang dulunya masih jajahan Inggris) untuk dijadikan budak di perkebunan.Â
Perbudakan ini juga dilindungi oleh hukum yang memungkinkan seseorang untuk diperbudak, diperlakukan sebagai property dan dapat dibeli, dijual, atau diberikan.Â
Hingga pada 18 Desember 1865, melalui The 13th Amendment resmi menghapus perbudakan. Walaupun perbudakan sudah tidak dilakukan di Amerika Serikat, rasisme masih kerap terjadi.
Melalui soul food, Anda akan disediakan sepiring makanan penuh dengan cerita kesengsaraan dan usaha bertahan hidup dari perjalanan panjang perbudakan etnis Afrika-Amerika.
Apa itu soul food?
Soul food, atau dalam bahasa Indonesianya adalah ‘makanan untuk jiwa’, adalah masakan dari etnis Afrika-Amerika yang mengabungkan teknik memasak dari Afrika Barat, Eropa Barat, dan Amerika.Â
Masakan ini berawal dari daerah Georgia, Mississippi, dan Alabama yang dulunya merupakan daerah-daerah yang paling banyak dilakukan perbudakan karena banyaknya perkebunan di sana.
Ketika perbudakan terjadi, para pemilik budak mengontrol jumlah makanan yang diterima oleh budaknya. Biasanya mereka diberikan jatah makanan dalam jumlah yang kecil terdiri dari makanan rendah gizi dan kualitas rendah.Â
Dalam seminggu, setiap budak selalu diberikan setengah kilo karbohidrat seperti tepung jagung, beras atau ubi jalar, setengah kilo daging kering dan satu gelas molase (sisa dari produksi tebu menjadi gula).
Jatah makanan yang tidak cukup membuat para budak harus mencari cara untuk melengkapi makanan mereka. Mereka pun belajar untuk memancing, berburu, berkebun, dan memelihara ternak seadanya dengan pengetahuan yang terbatas.Â