Mohon tunggu...
Jeng Mar
Jeng Mar Mohon Tunggu... -

Full-time teacher with an addiction.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Satu Suara Untuk Bangsa (Mungkin) Terbang Begitu Saja

5 April 2014   22:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:02 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah dua tahun ini saya merantau, bukan hanya luar kota, tetapi ke pulau lain. Suka sekali di sini karena kondisi udara yang cocok dengan tubuh saya yang tidak tahan dingin.
Sehubungan dengan adanya Pilpres, tahun ini saya ingin mencoblos karena periode lalu saya, ehem, golput.
Tahun ini, saya canangkan saya akan lebih bertanggung jawab terhadap negara saya, apa pun keadaannya, dengan cara ikut berpartisipasi dalam pesta demokrasi lima tahunan ini. Jadi saya melakukannya untuk diri saya sendiri saja.
Mengetahui rencana saya itu, dengan penuh semangat, Ibu saya yang usianya sudah 67 tahun, berangkat ke kelurahan kampung halaman saya dengan berjalan kaki tanpa saya minta; semua atas inisiatif sendiri. Sayang saat Ibu saya SMS menanyakan alamat kos saya, saya sedang mengajar dan tidak memegang HP. Jadilah Ibu saya pulang dengan tangan hampa. Setelah saya mengajar, saya memeriksa HP dan membaca SMS dari Ibu saya dan menjawab sesuai pengetahuan saya. Hanya diperlukan nama banjar, kelurahan dan kecamatan. Tapi saya tidak pasti dan Ibu saya menyarankan agar saya menanyakan kepada ibu kos. Sebenarnya saya ragu ibu kos tahu karena beliau pemilik baru yang tidak juga tinggal di lingkungan kami. Masih di dalam kelas saya pun mengirim pesan singkat kepada ibu kos saya.
Dan benar saja, beliau malah menyarankan untuk bertanya pada tetangga depan. Kalau mau jujur, saya tidak mau sih. Tapi ya sudahlah, saya memang butuh info tersebut kok. Apa susahnya sih, cuma bertanya tentang nama kelurahan dan kecamatan saja.
Sepulang kerja, kebetulan bapak depan kosan sedang di luar. Langsung saja saya samperin dan saya bertanya padanya, "Pak, nama kecamatan sini apa ya?"
"Ooh..." Dia nampak menerawang. "Untuk kepentingan apa dulu?" Pertanyaan aneh, tapi saya jawab saja dengan jujur.
"Oh, ini, Pak. Saya kan pengen ikut Pemilu. Nah, di formnya itu ada kolom Kelurahan dan Kecamatan yang harus saya isi."
"Ooohh, ndak usahlah ikut begitu-begitu. Saya sudah dua kali itu, dapat form. Saya diemin dah di meja situ. Ndak saya ikut-ikut." Laah? Itu kan Bapak...batin saya. Kok KEPO??
"Yah, tahun ini saya pengen gunain hak saya, Pak."
"Ndak usaah.. Anak kos nda ada yang ikut," katanya dengan logat lokal yang amat kental. "Saya ya..sudah dua kali itu, dapat kertas buat pencoblosan..ndak saya pakek. Saya taruh saja di situ. Ndak usah yang begitu-begitu. Kita ini siapa, kalo kecil-kecilan begitu, ndak usahlah. Tentang memilih ini kan rahasia," katanya sambil terus berkata agar saya tidak perlu mencoblos.
Akhirnya saya males dengerin tu bapak ngoceh, saya balik ke pertanyaan awal saya. "Jadi nama kecamatannya tadi apa ya, Pak?" Dia pun menjawab. Saya segera pamit karena sudah campur jengkel dikepoin begitu. Eee...ternyata beliau belum selesai!!!
"Ndaak usah ikut, apa itu pemilu-pemilu. Kecil-kecilan begitu," kali ini saya sudah membuka pintu pagar kosan saya dan sudah masuk, beliau masih ngoceh (!!!), "Kecuali dia kasih 200ribu, baruu.. Ya, kan?" Hadeh. Beda konsep. Sudahlah.

Akhirnya saya mengirim pesan singkat kepada Ibu saya agar form bisa cepat diisi dan urusan pemilu cepat rampung.
Besoknya ibu saya ke kelurahan lagi dan mengurus form. Petugas kelurahan pun berkata kepada Ibu saya bahwa saya bisa memperoleh hak penuh saya. Ibu saya senang sekali.
Hari itu juga Ibu saya langsung mengirimkan form dan beberapa hal yang saya butuhkan.
Kira-kira 2 hari setelah paket dikirim, paket itu pun datang. Saya tidak bisa dengan segera mengurusnya karena menjelang 'hari raya' biasanya orang-orang sini pada pulang kampung. Jadilah saya menuunggu hingga hari raya usai dan segera saya bertanya ke kepala lingkungan setempat.
Bapak ini ramah. Beliau pun mencermati kertas form yang dikirim Ibu saya. Cukup lama beliau membaca berulang-ulang kertas yang saya bawa, padahal kalimat di situ tidak juga banyak. Hihihi.
Kemudian beliau pun menjelaskan bahwa beliau tidak bisa menjanjikan saya kepastian bisa memilih di situ karena kemungkinan kurangnya kertas DPT dikarenakan warga yang pulang kampung, dan adanya warga pendatang yang memiliki KTP setempat. Beliau pun menambahkan bahwa prioritas beliau tentulah warganya terlebih dahulu. Berita baik dari Salatiga yang mengatakan saya telah memiliki hak pilih penuh pun sirna sudah. Beliau juga menyarankan agar saya ke TPS sebelah saja yang mungkin memiliki kertas suara yang sisa, setelah berkata bahwa kalau saya masih tetap menginginkan usaha saya memilih, saya sebaiknya datang ke TPS setelah jam 12 siang.
Saya pun berusaha mengerti kondisi tersebut meski merasa juga kenapa kalau iuran ronda tiap bulan mereka mampu melakukannya rutin, kenapa tidak melakukan survey kecil-kecilan untuk menanyakan kepada para warga pendatang apakah mereka mau memilih di sini atau pulang kampung saja. Dengan demikian akan bisa diketahui kira-kira berapa banyak lagi tambahan kertas suara yang bisa diajukan ke KPU sehingga seluruh warga bisa menggunakan hak pilihnya. Setidaknya begitu mimpi saya. Hehe.
Yah, sebenarnya saya tidak masalah juga apabila saya akhirnya tidak memilih, sekalipun itu berarti saya menjadi golput lagi. Tapi yang jelas, saya agak geli dengan tingkah kepo beliau.
Sebelum saya pamit, bapak tersebut sempat menanyakan pada saya, "Memangnya, apa sudah ada calon yang sudah mantap sekali untuk dipilh?"
Yaelah, buset. Kepo amat yak? Siapa yang saya pilih ya terserah saya lah, kata saya dalam hati. Lagian, apa coba, pentingnya bertanya begitu? Mau ngajak diskusi gituh?
Saya sudah hampir saja menjawab, "Saya akan memilih.......Michael Jackson. Sayang, Tuhan telah memanggilnya." Wahahaha..bete aja sendiri pak. Salah siapa kepo?
Mmm...btw, mungkin ga ya, kalau saya diberikan kesempatan menggunakan kertas hak pilih bapak kos depan. Kan dia ngga milih?? Hehe sayang kan kalau mubazir..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun