Saya memang belum dikaruniai anak oleh Tuhan. Tetapi pengalaman mengajar di Taman Kanak-Kanak selama lebih dari lima tahun cukup membantu saya mengerti berbagai warna-warni kehidupan keluarga dengan anak usia dini, baik dari hasil pengamatan sendiri (kebetulan saat itu saya memiliki ponakan usia dini yang tinggal serumah), pengamatan terhadap anak didik, maupun hasil sharing dengan orang tua.
Di kantor saya yang sekarang, juga di bidang pendidikan, saya adalah karyawan paling baru dan juga yang belum diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk memiliki anak sendiri. Teman-teman saya sudah.
Yang menjadi lucu adalah ketika mereka malah bertanya kepada saya bagaimana memecahkan beberapa kendala mendidik anak di rumah. Haha… seharusnya kan saya yang bertanya-tanya kepada mereka. Tetapi ini yang terjadi malah sebaliknya.
Salah satunya tentang kecemburuan anak pertama setelah dia memiliki adik. Buat saya…jangankan adanya anak kedua, anak cuma satu aja saya belum tentu ngerti bagaimana caranya mendidik. Tetapi puji Tuhan, hal yang akan saya bagikan ini benar-benar bermanfaat bagi keluarga teman saya. Mungkin hal ini bisa juga bermanfaat bagi Anda. Semoga.
Jadi ceritanya, teman kantor saya, sebut saja Miss Widya, berkeluh kesah tentang anak pertamanya (usia tiga tahunan) yang selalu rewel setelah beliau pulang kerja, padahal beliau masih harus mengurus anak keduanya yang kala itu masih bayi. Beliau bertanya, “Enaknya digimanain ya. Capek saya ngurusin dua anak, mana yang gede rewel mulu. Kerjaan jadi ngga ada yang kepegang deh..”
“Biasanya Miss Widya kerjainyang mana dulu?” tanya saya.
“Ya saya pegang adiknya dulu laah.. Kasihan kan, masih kecil dia, Miss. Tapi kakaknya ini bukannya bantuin malah ikutan rewel… Aduh, pusing Widya, Miss!” Hihi, ngeri jugayah, punya anak, batin saya dalam hati.
“Ooh, kalau begitu, mulai sekarang, Miss Widya balik aja kebiasaannya.”
“Maksudnya dibalik bagaimana Miss?” tanyanya tak mengerti.
“Jadi Miss, mulai sekarang yang Miss ‘pegang’ kakaknya dulu. ‘Penuhin’ dulu kebutuhannya. Mungkin mau susu, mungkin mau dimandiin, mungkin mau bermain dulu dengan Ibu, ya layanin aja dulu. Begitu dia puas, alias tanki cintanya sudah penuh, baru deh Miss ambil adiknya,” jelas saya.
“Miss bilang ke kakaknya, “Kak, kita sudah main bareng, minum susu bareng, sekarang Ibu bantu adik dulu yaa.. Kakak kalau mau bantuin Ibu juga boleh loh. Kakak mau bantuin apa?” Nah, dengan begitu, dia merasa dicintai, juga dibutuhkan. Yaah, siapa tahu ini bisa membantu Miss.” Teman saya pun memutuskan akan mencobanya.
Hari pun berlalu semenjak percakapan kami tersebut. Saya juga tidak mengharapkan teman saya itu melakukan masukan saya karena siapalah saya ini, berkeluarga baru beberapa bulan lalu, udah pakai kasih nasihat pula.
Tetapi iseng-iseng saya tanyakan juga. Dan jawabannya, “Oh, iya Miss! Sekarang dia sudah ngga rewel lagi lho, tiap Widya pulang. Yang penting Widya penuhi dulu kebutuhannya sampai puas, baru deh, Widya bisa lega mengurus adiknya. Nyesel Widya, kenapa ngga dari dulu begitu sama kakaknya. Malah Widya sering bilang, “Kakak kan sudah besar. Main sendiri dulu, Ibu mau ngurus adik.” Eeh… ternyata dia jadi merasa sendiri dan tidak diperhatikan ya Miss. Lalu ngambek dan jadi manja. Mungkin kalau dia ngambek itu sebenernya dia lagi cemburu.”
Hehe, tentulah saya senang mendengar keberhasilannya. Sangat menyenangkan ketika nasihat saya ternyata berhasil.
Di hari lain, teman saya ini curhat lagi. Kali ini tentang tidur.
Kebiasaan tidur keluarga teman saya ini, sebagai berikut. Aji (Bapak), adik, Ibu, lalu kakak. Nah, masalah kali ini adalah, si kakak jadi ngompol dua kali dalam semalam! Apakah Ibu tahu? Tentu tidak! Ibu kan menghadap adik, siapa tahu dia ingin menyusu di malam hari; sedangkan sang kakak dipunggungi. Hihihi. Kasihan amat yah..
Saat diperiksakan ke dokter, ternyata diagnosa dokter adalah karena anak sulung ini cemburu. Apa hubungannya dengan ngompol, teman saya pun menjadi bingung. Kata dokter, “Bu, perasaan dalam hati ini siapa yang tahu.. Mungkin memang anak Ibu senang punya adik baru, tetapi kecemburuan kadang tertutup lho. Kadang kita sebagai orang tua tidak sadar. Bahkan kadang ananda sendiri pun tidak sadar akan adanya kecemburuan tersebut. Coba Ibu perhatikan lagi si sulung.”
Teman saya pun bingung. Ini gimana caranya ya..
Nah, saya pun dengan pedenya memberi ide pada teman tersebut.
“Mungkin posisi tidurnya diubah, Miss.”
“Aduh, udah Miss. Widya sudah minta kakaknya untuk pindah ke tengah saja. Widya kasih tahu dia, ‘Kak, Kakak pindah tengah ya? Jadi Ibu gampang ngelihatnya, gampang ngawasin kakak sama adik,’ gitu, Miss. Tapi tetep ngga mau si kakaknya,” teman saya menjelaskan.
“Ya itu Miss.. Miss meminta diapindah untuk alasan yang memudahkan ‘Ibu’, untuk membantu ‘Ibu’. Dia ngga punya kepentingan, tetapi kenapa dia yang diminta pindah? Istilahnya, yang punya keinginan Ibu kok dia yang harus berkorban? Kan ngga adil buat dia. Makanya dia ngga mau. Coba Miss ganti ngomongnya,”saya berusaha menjelaskan mengapa metode tersebut tidak berhasil meskipun tujuannya baik.
“Diganti bagaimana dong, Miss?” tanya teman saya.
“Jadi mulai sekarang, Miss jelaskan bahwa saat Ibu minta kakak pindah itu adalah untuk kepentingannya kakak. Misalnya seperti ini, “Kak, sebenarnya kalau Ibu minta Kakak pindah tidur di tengah itu, biar Ibu bisa lihat Kakak, ibu bisa peluk Kakak. Kan Ibu juga pengen sayang-sayang Kakak kalau malam. Ibu pengen lihat wajah Kakak. Tapi kalau Kakak tidur di belakang Ibu, Kakak cuma lihat punggung Ibu deeh…Ibu ngga mau. Ibu kan sayang sama Kakak, makanya Ibu pengen lihat Kakak terus.” Nah, coba ngomongnya seperti itu Miss, mungkin dia jadi sadar, ‘Oh iya ya, itu kan menguntungkan saya’ siapa tahuuu dia mau,” kata saya dengan penuh semangat.
Beberapa hari berlalu dan tiba-tiba teman saya berujar dengan penuh semangat, “Berhasil, Miss! Akhirnya si kakak mau pindah posisi tidur jugaa.. Aduuh… Sudah sampai pusing Widya dibuatnya, akkhirnya sekarang dia mau tidur di tengah. Daaaan… sudah tidak ngompol lagiii,” serunya girang. Hahaha, kami pun tertawa penuh kemenangan seorang Ibu. Dan saya pun tak sabar ingin punya momongan sendiri. Tetapi saya harus bersabar. Hahaha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H