Gambaran pendidikan di sekolah saat ini tidak jauh dari "pembelajaran ruang kelas". Ruang kelas menjadi satu-satunya lokus utama berlangsungnya proses pendidikan dan pengajaran terhadap anak didik. Dalam ruang sempit ini nilai-nilai, pengetahuan, dan ketrampilan diteruskan kepada anak didik secara monologis. Guru-guru menjelma menjadi penguasa tunggal pengetahuan sekaligus diktator kelas.
Ruang kelas menjadi representasi tunggal sistem pendidikan. Akhirnya ruang kelas menjelma menjadi sebuah ruang formal yang dibangun di atas relasi kekuasaan guru-murid, tanpa ada ruang-ruang sela untuk meluaskan imajinasi, kreasi, inovasi, dan pikiran-pikiran kritis. Bukan ruang pemberdayaan tapi ruang pengebiri perkembangan alami anak.
Membiarkan kondisi seperti ini dalam jangka panjang tentunya hanya akan meminta ongkos sosial yang luar biasa. Untuk itulah pergeseran paradigma dalam memandang ruang kelas menjadi prasyarat membaiknya kualitas pendidikan di negara ini.
Membangun Ruang KelasÂ
Selama ini ruang kelas dipahami secara tradisional dalam pengertian bangunan fisik semata. Membangun ruang kelas dipahami sebagai membangun sebuah ruang dengan dibatasi oleh empat dinding beku. Pemahaman seperti ini selain mendistorsi makna ruang kelas juga mengkebiri fungsi alternatif dari ruang kelas yang sebenarnya bisa berperan banyak  dalam mengembangkan kepribadian anak.
Memang tidak bisa disangkal bahwa ruang kelas merupakan lokus utama dari keseluruhan aktivitas pembelajaran di sekolah, dan oleh karena itu revolusi pembelajaranpun selayaknya  dimulai perubahan cara pandang seorang guru dalam melihat ruang kelas. Tegasnya, seorang guru yang benar-benar peduli dengan pengembangan seluruh aspek kedirian seorang anak didik harus mau berpikir ulang mengenai konsep ruang kelas.
Bagi guru seperti ini, ruang kelas harus bisa ditransformasikan juga menjadi ruang sosial, ruang untuk menyelesaikan persoalan secara demokratis, ruang tegur sapa, ruang pembelajaran politik, dan juga ruang-ruang miniatur dari kehidupan nyata lainnya yang kelak akan dihadapi anak didik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Kurikulum 2013 mengamanatkan beberapa poin penting yang pelaksanaannya menjadi tidak efektif jika guru hanya bersandar pada pemahaman tradisional mengenai ruang kelas.Â
Beberapa prinsip yang mensyaratkan adanya pergeseran paradigma tersebut antara lain; pertama, anak didik harus diajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain dan juga diajar untuk membangun dan menemukan jati dirinya melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
Kedua, terbangunnya suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka dan hangat dengan prinsip ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Ketiga, proses pembelajaran haruslah menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, dengan prinsip "alam jadi guru".
Tak ayal penerapan dari prinsip tersebut memang memerlukan itikad guru untuk bersedia merevisi pemahamannya tentang ruang kelas, tidak peduli bagaimanapun kondisi dan keterbatasan yang dialami sekolah.
Kemampuan melintas batas makna ruang kelas ini mewujud dalam visi-visi baru seorang guru yang bersifat kontekstual. Visi baru yang melihat ruang kelas sebagai sebuah ruang sosial umpamanya, membuat seorang Guru harus bisa menumbuhkan pendidikan kebersamaan di dalam ruang kelas. Â
Pendidikan seperti ini diselenggarakan untuk meningkatkan kesediaan dan kemampuan anak-anak memahami dan menyadari kehadiran orang lain yang mempunyai hak sebagaimana dirinya.Â
Setiap siswa diperlakukan dan memperlakukan siswa yang  lain sebagai subyek. Dalam relasi subyek-subyek inilah, guru harus mendidik anak agar bersedia saling menghargai dan saling menghormati tanpa diinjak-injak haknya sebagai manusia. Guru berkewajiban memelihara dan membina hubungan manusiawi atau hubungan sosial yang efektif di kalangan murid-muridnya.
Dalam konteks ruang kelas sebagai ruang pembelajaran resolusi konflik, Guru harus bisa menempatkan kesalahan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh anak didik dalam hubungan dengan pendidikan. Kesalahan harus dilihat sebagai salah satu bagian dari proses belajar.Â
Alih-alih menekan anak dengan intimidasi dan kekerasan, guru harus mengajak anak duduk bersama, menelusuri kesalahan secara mendalam, membantu anak meletakkannya dalam kerangka yang benar, memberi tahu anak tentang pilihan dan konsekwensi serta membantunya mengatasi persoalannya tersebut. Tindakan seperti ini dalam jangka panjang akan mematangkan kepribadian anak dalam kehidupan sosial.
Dalam sebuah ruang kelas yang dicirikan oleh suasana yang empatis, demokratis, partisipatif dan humanis, kesalahan diletakkan dalam proporsi yang sebenarnya dalam rangka, meminjam kalimat Driyarkara, "memanusiakan manusia muda". Jadi ketika mereka memasuki ruang sosial yang sebenarnya, anak-anak didik dapat menjadi orang yang lebih mengedepankan pemecahan masalah (problem solver) daripada menjadi pembuat masalah (trouble maker).
Berpihak Pada Anak
Perluasan makna baru ruang kelas dalam konteks persekolahan haruslah didasarkan pada anggapan bahwa anak didik harus "mendidik dirinya sendiri", dan bahwa dia harus berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan lingkungan dan perubahannya. Segala jenis informasi, ketrampilan, dan pengetahuan harus diusahakan oleh anak didik, tidak hanya mengandalkan dari guru yang disampaikan secara monologis di dalam ruang kelas.
Terkadang sumber-sumber pengetahuan melalui transfer monologis seperti ini tidak mempunyai kelanjutan dan tidak berkaitan dengan pengetahuan yang dijumpai di lingkungan anak. Pengetahuan monologis lewat ruang kelas tradisional adalah pengetahuan buatan dari orang-orang dewasa yang justru membentuk lingkungan sekolah (sebagai lingkungan buatan) menjadi asing bagi anak.
Kesimpulannya, untuk mengembangkan kepribadian anak didik sebagai sebuah totalitas yang multidimensional, pendidikan yang hanya terfokus pada transfer pengetahuan di dalam kelas menjadi tidak mencukupi. Bukan hanya karena pandangan mengenai ruang kelas tradisional harus dirubah, tetapi juga karena anak didik harus mulai diajari untuk menyadari bahwa mereka adalah sebuah bagian dari keseluruhan yang lebih luas.
Dalam diri anak didik harus ditumbuhkan kesadaran bahwa ia adalah sepenggal narasi dari sebuah kisah sosial, sehingga anak didik dapat menyadari posisi dan perannya yang sesungguhnya.Â
Anak-anak didik harus diarahkan menjadi dirinya sendiri, ia diarahkan untuk mengetahui potensi apa yang ia miliki dan beberapa kemungkinan untuk mengembangkannya. Untuk itulah para guru semestinya tahu bahwa mereka harus mau melintas batas ruang kelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H