Kemampuan melintas batas makna ruang kelas ini mewujud dalam visi-visi baru seorang guru yang bersifat kontekstual. Visi baru yang melihat ruang kelas sebagai sebuah ruang sosial umpamanya, membuat seorang Guru harus bisa menumbuhkan pendidikan kebersamaan di dalam ruang kelas. Â
Pendidikan seperti ini diselenggarakan untuk meningkatkan kesediaan dan kemampuan anak-anak memahami dan menyadari kehadiran orang lain yang mempunyai hak sebagaimana dirinya.Â
Setiap siswa diperlakukan dan memperlakukan siswa yang  lain sebagai subyek. Dalam relasi subyek-subyek inilah, guru harus mendidik anak agar bersedia saling menghargai dan saling menghormati tanpa diinjak-injak haknya sebagai manusia. Guru berkewajiban memelihara dan membina hubungan manusiawi atau hubungan sosial yang efektif di kalangan murid-muridnya.
Dalam konteks ruang kelas sebagai ruang pembelajaran resolusi konflik, Guru harus bisa menempatkan kesalahan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh anak didik dalam hubungan dengan pendidikan. Kesalahan harus dilihat sebagai salah satu bagian dari proses belajar.Â
Alih-alih menekan anak dengan intimidasi dan kekerasan, guru harus mengajak anak duduk bersama, menelusuri kesalahan secara mendalam, membantu anak meletakkannya dalam kerangka yang benar, memberi tahu anak tentang pilihan dan konsekwensi serta membantunya mengatasi persoalannya tersebut. Tindakan seperti ini dalam jangka panjang akan mematangkan kepribadian anak dalam kehidupan sosial.
Dalam sebuah ruang kelas yang dicirikan oleh suasana yang empatis, demokratis, partisipatif dan humanis, kesalahan diletakkan dalam proporsi yang sebenarnya dalam rangka, meminjam kalimat Driyarkara, "memanusiakan manusia muda". Jadi ketika mereka memasuki ruang sosial yang sebenarnya, anak-anak didik dapat menjadi orang yang lebih mengedepankan pemecahan masalah (problem solver) daripada menjadi pembuat masalah (trouble maker).
Berpihak Pada Anak
Perluasan makna baru ruang kelas dalam konteks persekolahan haruslah didasarkan pada anggapan bahwa anak didik harus "mendidik dirinya sendiri", dan bahwa dia harus berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan lingkungan dan perubahannya. Segala jenis informasi, ketrampilan, dan pengetahuan harus diusahakan oleh anak didik, tidak hanya mengandalkan dari guru yang disampaikan secara monologis di dalam ruang kelas.
Terkadang sumber-sumber pengetahuan melalui transfer monologis seperti ini tidak mempunyai kelanjutan dan tidak berkaitan dengan pengetahuan yang dijumpai di lingkungan anak. Pengetahuan monologis lewat ruang kelas tradisional adalah pengetahuan buatan dari orang-orang dewasa yang justru membentuk lingkungan sekolah (sebagai lingkungan buatan) menjadi asing bagi anak.
Kesimpulannya, untuk mengembangkan kepribadian anak didik sebagai sebuah totalitas yang multidimensional, pendidikan yang hanya terfokus pada transfer pengetahuan di dalam kelas menjadi tidak mencukupi. Bukan hanya karena pandangan mengenai ruang kelas tradisional harus dirubah, tetapi juga karena anak didik harus mulai diajari untuk menyadari bahwa mereka adalah sebuah bagian dari keseluruhan yang lebih luas.
Dalam diri anak didik harus ditumbuhkan kesadaran bahwa ia adalah sepenggal narasi dari sebuah kisah sosial, sehingga anak didik dapat menyadari posisi dan perannya yang sesungguhnya.Â