[caption id="attachment_345989" align="aligncenter" width="376" caption="https://twitter.com/Jenderal_Luten"][/caption]
Kita mungkin mengenal istilah “kafir”. Coba, rasanya gimana kalo kita dipanggil dengan sebutan “kafir”? Grrr, bawaannya pengen ngamuk, pengen hajar itu orang, terus dicincang, terus dibuat perkedel, terus ditelen sampe ludes gak besisa. Tapi kalo dipikir-pikir, ngapain juga ngamuk? Emang yang ngomong ke kita kayak gitu nggak “kafir” apa? Jangan-jangan dia lebih “kafir” daripada kita, mangkanya dia terbiasa menggunakan kata “kafir”. Hmmm... Bisa jadi.
Selain “kafir” ada lagi yang namanya “PKI”. Ceritanya, pas zaman ORBA (Orde Baru) yang namanya PKI itu dibasmi bak serangga yang mengganggu. Pokoknya kalo ada PKI, bunuh! Nongol PKI, hajar! Ada PKI betingkah, cincang! Padahal belum tentu PKI yang dibasmi itu adalah orang partai, bisa jadi dia adalah “Pasukan Kolor Ijo”.
PKI adalah singkatan dari Partai Komunis Indonesia, kebetulan pas zaman itu dunia memang heboh dengan “komunis” dan “non komunis”. Istilah PKI ini sempat menjadi momok zaman saya kecil, kalo kita hubungkan dengan sekarang. Sama halnya kalo orang-orang di dunia sihir jika menyebutkan istilah “Voldemort” (di novel Harry Potter maksudnya). Ya, PKI adalah sebuah istilah yang nggak boleh sembarangan disebutkan. Suasana dibuat mencekam sampai-sampai kalau menyebut PKI bisa ditangkap sama Polisi. Begitulah pengalaman masa kecil saya dulu. Bahkan teman saya cerita, waktu dia kecil kalau nakal suka dimarahin sama emaknya dengan makian, “JANGAN PKI-LAH, KAU!”.
Istilah-istilah ini terus berubah mengikuti perkembangan zaman, apalagi semenjak ada media, kita bisa dengan mudah menemukan istilah baru. Seperti halnya “teroris” yang identik dengan jenggot panjang, padahal kebetulan saja Osama bin Laden itu jenggotnya panjang. Coba kalo Osama itu bentuk mukanya kayak Obama? Bisa-bisa mulai besok orang yang mirip Obama kita anggap teroris.
Terus di jalanan ada lagi istilah namanya “kriminal”. Istilah ini benar-benar bikin seorang tukang parkir ngamuk, hanya gara-gara dia kerja di pinggir jalan terus tampangnya sangar. Dia marah besar disebut kriminal, karena selama hidupnya gak pernah berbuat hal-hal yang dilarang, kenapa dia dipanggil “kriminal”? Emangnya kalo tampang absurd berarti kriminal? “Seal” aja (penyanyi) mukanya abstrak, kok. Lagian kalo ngomong masalah tampang, muka baek kayak gimana pun bisa jadi kriminal. Kalo nggak percaya, liat aja “koruptor”! Mana ada koruptor mukanya kayak orang susah. Rata-rata kinclong dan terawat.
Kalo kata saya contoh-contoh di atas itu adalah “istilah negatif”, karena konotasinya memang terkesan negatif. Berbau kecurigaan, berbau penghinaan, dan yang paling jelas bikin pusing. Apalagi zaman puasa gini, kalau ada istilah-istilah negatif yang nggak enak didengar kan bikin nggak nyaman. Terutama kalau beredar di social media, rasanya bikin hati jadi gak tentrem karena gak sengaja membaca.
Lama-lama jadi mikir juga, kenapa sih bulan puasa itu nggak diisi dengan berbagi “istilah positif” di dalam menjalankan ibadah? Karena banyak istilah positif yang belum kita ketahui, yang justru menentramkan hati. Nggak harus yang berasal dari bahasa Arab, cukup bahasa Indonesia yang mudah dimengerti saja, seperti: Ikhlas, syukur, ketulusan, amanah, dsb. Dengan berbagi istilah seperti ini rasanya bikin ibadah jadi tambah greng, terus nggak sewot nungguin buka puasa yang lama bangets. Akibatnya puasa jadi lebih bergairah, berfaedah dan mendesah. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tidak terjadi polusi kata yang berakibat pada pencemaran hati nurani.
Dasar kriminal lo semua! LOL.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H