Mohon tunggu...
Rahmi Hastari
Rahmi Hastari Mohon Tunggu... -

Belajar menulis agar semakin kreatif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Sang Maestro

20 Desember 2013   22:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:41 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih dari 10 tahun lalu, saya beserta dua orang kawan berkunjung ke rumah begawan sastra Indonesia, (Alm) Pramoedya Ananta Toer. Kala itu, nama beliau masih menjadi momok bagi pemerintah, meski di luar negeri, karya-karya beliau telah banyak mendapatkan penghargaan. "Yah beginilah kondisi saya," keluh Pak Pram. Ia berbaring lemah di tempat tidur. setelah kecapaian membakar sampah, sastrawan yang akrab dipanggil Papi oleh tetangganya ini, meminta wawancara dilakukan dikamarnya yang terletak di lantai dua. Sebelum memulai percakapan, beliau meminta kami bertiga berbagi tugas memijat kedua tangan dan kakinya. Permintaannya ini tentu bukan masalah bagi kami, karena kapan lagi bisa memijat seorang sastrawan kelas dunia yang begitu kami kagumi sepak terjangnya. Kisah hidup Pak Pram, bagi kami adalah sebuah kisah sastra tersendiri yang penuh dengan kegetiran dan kesatiran. Asyiknya lagi, kisahnya dituturkan langsung dari mulut sang maestro. Sehingga kami kerap bingung mau bertanya apa, saking terpesonanya – tentu dengan tangan kedua tangan masing-masing yang sibuk memijat. Beliau menceritakan kegetirannya saat Soeharto mendapat Supersemar dan merebut kekuasaan. Bukan hanya karena rumahnya yang terletak di Menteng di rebut paksa, tapi juga karena ribuan koleksi bukunya di bakar oleh tentara tepat di depan mata. Ketika dituduh sebagai antek PKI pun, beliau tidak peduli bila memang harus terpasung dan melakukan kerja paksa. Yang paling menyiksanya adalah karena harus berhenti berkarya dan dipenjara semena-mena tanpa boleh membaca. “Dulu, saat (Alm) Jend. Soemitro mengunjungi saya. Beliau pernah berjanji akan membawakan buku-buku untuk saya. Tapi buku-buku itu tidak pernah sampai ke tangan saya, karena saya dengar telah dibakar oleh para sipir penjara,” kenangnya. “Buku-buku saya menyimpan banyak catatan sejarah,” terangnya. Bagi Pak Pram, buku adalah segalanya. Ini terlihat langsung saat kami melewati ruang kerja dan lorong menuju kamar tidurnya di lantai dua. Mami (istri Pram) memang tak mengantar, karena sibuk di dapur. Ia hanya menunjukkan tangga dan arah yang harus lewati. Ruang kerjanya cukup besar, lemari kaca menutupi tiga sisi dinding dengan buku-buku yang berjajar rapat di dalamnya. Di meja kerjanya, ada sebuah mesin tik tua dengan tumpukan kertas. Saat melewati lorong menuju kamar, kami juga ternganga melihat rak kaca menutupi dinding atas yang dipenuhi buku. Memasuki kamar Pak Pram, lagi-lagi rak kaca dan tumpukan buku mendominasi. Beberapa diantaranya terhampar di ranjang. "Seorang penulis harus mampu dan kuat dalam melakukan riset," sarannya. Hingga kini, saran itu saya patri betul di otak. Menurutnya, semua yang digoretkan di setiap novelnya adalah hasil kerja keras mengobrak abrik buku sejarah dan koran-koran lama di perpustakaan. Saat membuat buku tentang Boven Digul, Pak Pram mengaku bolak balik ke perpustakaan nasional untuk membaca berita-berita yang berkaitan dengan wilayah dan peristiwa yang ingin diangkatnya. Bagi Pak Pram, seorang penulis harus memahami betul peristiwa-peristiwa yang diangkat untuk novelnya. Bahkan, data korban di buku-bukunya merupakan data yang akurat dengan sumber yang jelas. Menurutnya, riset adalah kunci terpenting bagi seorang penulis, bahkan penulis fiksi sekalipun. Sebab dengan kekuatan riset, penulis dapat mengisahkan ceritanya menjadi lebih realistis dan terasa dekat dengan pembacanya. Sehingga pembaca akan merasa ikut terlibat di dalam peristiwa tersebut. Kekuatan riset, baik melalui data, observasi, maupun wawancara, akan sangat memperkaya tulisan. Tulisan kita tak hanya sekedar bercerita, tapi juga memberikan makna dan arti tersendiri bagi pembacanya. Bagaimana si penulis mengolah fakta tersebut menjadi lebih dipahami dan bisa dinikmati pembaca, tentu itu membutuhkan kejelian si penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun