Ya memang sekolah tempatku mengajar siswanya lulus 100%. Dari siswa kelas 9 berjumlah 76 lulus semua. Lulus dengan gabungan nilai UN dan NS atau Nilai Sekolah. Sedang yang lulus Ujian Nasional sebenarnya 58 siswa, sementara yang 18 tidak lulus UN. Kok bisa tetap lulus? Karena sekarang sistemnya gabungan 40% nilai sekolah (NS) dan 60% nilai ujian nasional (UN) setelah digabung jadi NA atau nilai akhir.
Puaskah saya sebagai guru kelas 9? Kalau puas karena nilai UNnya meningkat dan kelulusan UN meningkat ya, saya puas. Namun jika melihat nilai sekolah (NS) saya malu dan sedih. Ingat betapa saya terpaksa (atas perintah dan kebijakan pimpinan sekolah) memberi nilai ujian sekolah yang demikian tinggi. Nilai ujian sekolah terendah 84 dan tertinggi 96. Tentu saja tidak sesuai kenyataan. Mengapa nilai ujian sekolah dibuat tinggi? Karena hanya nilai itu yang bisa diotak-atik sementara nilai rapor semester 1 sampai semester 4 sudah paten tak bisa diubah-ubah lagi.
Saya sedih karena sedemikian besar dosa saya menilai siswa tidak sesuai dengan kemampuan atau kompetensi mereka. Bahkan nilai yang dianjurkan teman saya lebih gila lagi antara 91-94. Di mana prinsip bahwa nilai membedakan kemampuan dan usaha siswa? Masa siswa yang kemampuannya kurang sama dengan yang di atas rata-rata? Siswa yang rajin belajar nilai sama dengan yang malas belajar? Saya tak mau menilai hanya dengan rentang sangat pendek. 91, 92, 93, 94....duh kok jadi begini ya?
Saya masih merasa berdosa dan doa saya semoga dosa saya memark up nilai jangan hanya saya saja yang menanggung, namun ditanggung renteng juga oleh kepala sekolah, panitia ujian, dinas pendidikan kabupaten, menteri pendidikan yang telah membuat kebijakan bahkan juga Presiden yang masih juga memberlakukan UN teror tanpa bom.....
Banjarnegara, Sabtu 4 Juni 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H