Bude Binda
"Si Ijah itu lho, kalau jalan nggak pernah mau menyapa". "Jotek saja tanya, wong dia kalau ketemu orang juga nggap pernah mau nanya". "Itu anak SMP yang berambut keriting anak siapa itu, tiap hari ketemu di angkot kok nggak pernah mau negur, siapa sih dia huh, besar kepala banget!".
Itulah obrolan ibu-ibu dawisku (dasa wisma) di RTku yang kebagian jadwal menyapu di ujung jalan kampung. Mereka ramai membicarakan beberapa "oknum" di desa kami yang suka diam saja kalau ketemu tidak mau menyapa.
"Kalau nggak ditanya ya nggak usah njawab to, gampang", saya ikut bicara. Semangat sekali mereka membicarakan topik ini. Maklum kami hidup di desa yang biasa kalau berpapasan saling menyapa. Paling tidak tersenyum, atau memanggil namanya, bisa juga menganggukkan kepala sebagai tanda kesantunan. (Bicara santun jadi ingat SBY yang suka berbicara politik yang santun dan bersih, he he nggak nyambung ya).
Saya sendiri santai pada orang atau anak-anak tertentu di desa yang memang dikenal sebagai pribadi tak suka menyapa hingga dianggap sombong. Kalau tak disapa ya sudah. Saya minimal senyum kalau papasan. Walau kadang ternyata dia itu tukang kredit atau pegawai bank thithil yang berwajah masam, mungkin gagal nagih cicilan.
Ya masing-masing manusia punya watak yang beda. Masa iya semua warga desa harus ramah. Kan tak ada undang-undang yang mengatur. Kalau sudah dari sononya nggak suka beramah tamah ya mau diapakan lagi. Terima saja perbedaan itu dengan lapang dada.
Ada pula contoh kasus yang beda tapi hampir sama. Kemarin di liburan hari Jumat (libur karena umat nasrani merayakan paskah), ada sepupuku yang datang dari kota lain. Ibuku menyambutnya dengan full ramah dan penuh cerita. Lama-lama dia ceritakan juga dengan semangat 45 kalau salah satu pamanku tak pernah nengok kakaknya (ya bapak saya) yang dilanda sakit menahun. Saya di kamar jadi nyambar ucapan ibu, "Mak, sudahlah nggak usah nggarasani (membicarakan) paman, biar saja. Nambah dosa saja. Orang kan beda-beda Mak". "Iya, tapi masa masnya sakit, rumah dekat kok tak mau sengaja njenguk. Datang ke sini hanya kalau ada kepentingan, ngantar surat, nagih pajak". Ibuku masih juga semangat membicarakan adik iparnya.
Menurutku kalau pamanku yang satu itu tak mau menjenguk bapak, toh ada paman lain yang rajin datang. Mau pagi-pagi menemani dan mengajak berbincang bapak. Walau bersaudara kan tetap saja beda watak dan kebiasaan ya tidak?
Masa kita mesti mengatur orang lain untuk harus mau sesuai dengan kehendak kita. Nggak ada ceritanya. Saya sejak SMA atau selulus SMA punya prinsip "Jangan pernah berpikir untuk mengubah orang lain, tapi ubahlah diri kita agar bisa memahami orang lain".
Bude Binda
Banjarnegara, Selasa 2 April 2013