Oleh Bude Binda
Menyambung tulisan teman-teman tentang Andrea Hirata. Yang terakhir saya baca berjudul "Andrea Hirata akan Seperti Idolanya?". Dalam novel-novelnya ("Laskar Pelangi", "Sang Pemimpi", "Edensor") Andrea Hirata atau di novel tokoh utamanya Ikal selalu menyebut idolanya Kak Rhoma Irama. Saat ditanya Pak Balia guru SMAnya tentang kata-kata yang menggugah yang diucapakan lirik lagu Rhoma "Masa muda masa yang berapi-api". Tak heran tulisan tadi bertanya akankah Andrea seperti Rhoma Irama idoanya disukai karyanya namun tak disukai orangnya (oleh sebagian penggemar yang kritis terhadap kehidupan pribadinya).
Bisa jadi nasib Andrea akan demikian jika dia tak segera membenahi pribadinya. Penulis dan tulisannya memang bisa jadi beda. Bukankah saat menulis saya banyak waktu untuk berpikir, merenung, sebelum menuang gagasan dalam tulisan? Bisa saja kan saya yang aslinya pemarah, pendendam, mudah tersinggung, sifat itu tak muncul di artikel, di fiksi yang saya tulis karena saya sembunyikan sedemikian rapi.
Meski saya kadang beranggapan tulisan merefleksikan sikap, sifat, pandangan penulis terhadap suatu masalah.
Kebetulan saya mengenal walau tak begitu akrab seorang penulis, sastrawati Indonesia yang terkemuka, karyanya-karyanya hebat. Dia Nh Dini. Saya menulis skripsi tentang tokoh wanita dalam novel-novelnya. Saya berkesempatan jumpa 3 kali dengan beliau.
Selain itu saya berkomunikasi lewat surat. Bagi saya antara pribadi Ibu Dini dengan novel-novelnya tak jauh beda. Beliau seorang yang berpikiran maju, dan sedikit kebarat-baratan. Contoh, wawancara dengan Ibu Dini harus membayar jika untuk tujuan dimuat di media (tapi saya setuju dengan pendapat ini). Maka saya harus menunjukkan kalau saya melakukan wawancara dengan beliau dalam kepentingan studi, bukan komersil. Akhirnya saya tunjukkan dan buktikan dengan surat keterangan kuliah dan sedang penelitian untuk skripsi yang ditandatangani dekan.
Ibu Dini juga seorang yang suka berterus terang, itu dia tunjukkan, saat saya ke rumah Ibu Dini untuk memberikan skripsi saya. Saya ingat komentarnya setelah membuka-buka skripsi dan membaca sekilas "Bahasa Anda kacau". Waduh, saya cukup terkejut, kok kritiknya tembak langsung begini ya.
Okelah terlepas dari sikap beliau yang tanpa basa-basi saya tetap menjadi penggemar novel-novelnya. Sampai-sampai teman saya kuliah yang lama tidak saya hubungi, saat saya telepon yang dia tanya begini " Dik Atut masih suka Nh Dini?". Tentu saja saya jawab masih.
Kembali ke Andrea, mungkin seperti Ibu Nh Dini yang saya gemari novel-novelnya walau secara pribadi saya ada hal yang tak saya setujui dari beliau. Demikian juga dengan Si Ikal ini, bisa jadi saya akan tetap menggemari karyanya, namun pribadinya bagi saya ada hal yang tak saya sukai. Mungkin juga tak disukai teman-teman?
Jika membaca karyanya, saya berkesimpulan Andrea sebagai penulis "Laskar Pelangi", sampai "Cinta dalam Gelas" tentu orang yang humoris dan tak mudah marah apa lagi tersinggung.   Maka niatnya untuk membela dirinya dengan berjuang sampai ke meja hijau menjadi langkah yang kontraproduktif sekaligus bertentangan dengan tokoh dan cerita dalam novelnya. Atau itu mewakili karakter orang Melayu yang pandai berbual, cakap bersilat lidah? Mari kita tunggu cerita selanjutnya.
Harapan saya babak Andrea vs Damar ini damai. Menjadi besar dua-duanya dengan saling berbicara, memaafkan, dan bukan justru berhadap-hadapan bak petinju di arena. Sangat tak elok Ikal!