Kubercermin pagi ini, terpantul wajah yang tak cantik lagi.....Tak seperti saat ku duduk di bangku SMA, kuliah atau saat usiaku masih 20 sampai 30 tahun. Kini usiaku mendekati 42 tahun. Kerut-kerut telah menghiasi muka, flek hitam kecoklatan menghias pipi. Wajahku tak mulus lagi. Jauh dari penampilan artis perempuan di TV atau Maria Selena putri Indonesia 2011.
Tubuhku telah melar di sana sini. Mengembang bagai kue bolu. Berat badan jauh dari ideal. Apakah dengan penampilanku sekarang kau tak mencintaiku lagi?
Tanpa sengaja kau pernah bilang suka padaku karena aku cerdas, pekerja keras, ramah tamah, baik hati. Kau tak menyebut kecantikan atau tampilan fisik saat itu. Syukurlah sekali pun fisik berubah bukankah kecerdasan, keramahan, etos kerja tak berubah justru kian bertambah?
Percaya diriku tak luntur. Walau wajah tak secantik saat gadis dulu, namun ku mencoba berbusana serasi, menjaga kebersihan badan, menghias wajah dengan senyum. Bahagia di saat sedih mau pun gembira. Hingga wajah berseri-seri.....dan masih banyak pria yang melirikku.....halah GR!....
Perempuan yang mudah terperdaya olah kata cantik. Demi cantik rela menghabiskan uang berpuluh-puluh ribu bahkan jutaan rupiah. Di kalangan artis atau sosialita di kota besar sedot lemak, operasi plastik, perawatan spa, atau perawatan salon lain lulur, pedicure manicure....dan berbagai layanan lain sudah jamak dilakukan. Demi cantik. Karena diakui atau tidak perempuan cantik lebih diuntungkan karena penampilannya. Jadi penyanyi yang cantik dan seksi tentu lebih sering dapat tawaran manggung, kaset/CDnya lebih laris. Walau ada penyanyi berwajah biasa namun benar-benar bermodal suara yahud dan mereka laris (ada Ermy Kullit, Endang S. Taurina dll).
Kecantikan artinya sanjung puja, pusat perhatian. Diam-diam banyak perempuan mengidamkan itu, siapa yang tak ingin disanjung, menjadi pusat perhatian. Maka tak cukup wajah yang dirawat dan dipoles kosmetik mahal, masih dilengkapi busana indah, tas dan sepatu mahal, aksesori berkelas. Jadilah mereka sasaran produk-produk mahal tanpa merasa bersalah. Belanja jutaan bahkan mungkin berbilang milyar demi memuaskan hasrat nafsu diri untuk tampil cantik dan wah.
Mungkin jika saya kaya raya saya pun akan seperti itu. Berbusana mewah, tas dan sepatu impor, kosmetik mahal, merawat diri di salon kelas atas. Maka karena cantik dan mewah saya pun eksis.
Wajarkah eksistensi diri yang demikian? Kapitalisme memang tak pernah pandang bulu. Industri kecantikan mengekploitasi perempuan habis-habisan. Dari perempuan berkocek tipis sampai tebal jadi sasaran.
Kau masih mencintaiku kan? Walau wajahku tak secantik dulu, walau tubuhku tak selangsing dulu?
Bude Binda
Banjarnegara, 10 Oktober 2011