Sahabat pena, itu istilah untuk teman surat-menyurat kita . Hari gini bicara sahabat pena? Jadul banget, tapi indah lho! Tidak percaya, yuk ikuti ceritaku tentang sahabat penaku pada tahun sekitar 1982 sampai 1993.
Siapa sahabat penaku, yang pertama kutemukan di kolom sahabat di majalah Mop . Majalah Mop itu majalah pelajarnya Jawa Tengah , terbit di Semarang, awal terbit tahun 1982 saat aku masih duduk di kelas 1 SMP. Sampai sekarang Mop masih terbit walau menurutku isi dan tata letaknya tak seindah dulu lagi. Nah aku tertarik pada dua orang di majalah Mop yang satu bernama Kushindrati siswi SMP juga saat itu , dia tinggal di Nusukan Solo. Aku pun menulis surat perkenalan untuknya dan ternyata dibalas lewat sekolah lagi karena yang kucantumkan di belakang sampul surat alias amplop alamat sekolahku. Waduh, seneng banget. Satunya masih kuingat aku menyurati Tony Ardi , sayang surat tidak dibalas tapi kembali si pengirim . Itu saja bikin heboh ketua kelasku 2 B, dia bilang " Tut, ayo Tut ke TU ( Tata Usaha) kamu dapat surat!". Waktu itu siswa yang dapat surat, suratnya diletakkan di jeruji jendela TU, jadi kami punya kebiasaan nengok jendela itu untuk melihat siapa yang dapat surat dan siapa tahu kita yang dapat surat. Aku pun berjalan ke kantor TU yang ada di sebelah ruang kepala sekolah dan dekat dengan kelasku. He..he ternyata suratku yang ke pengirim, dengan alasan alamat yang dituju tidak ada. Belakangan aku baca di Tempo Tony Ardi ditangkap polisi karena termasuk tersangka teroris anak buahnya Imron yang membajak pesawat Garuda tahun ...lupa deh tahun berapa, awal aku mengenal kosa kata teroris.
Nah si Kushindrati atau panggilannya Indra itu jadi teman pena yang cukup lama, dari kamu duduk di bangku SMP, SMA, sampai aku kuliah tahun 1993 atau 1992, sekitar tahun itu. Walau belakangan dia mengaku yang mengirim foto dan bio data itu bukan dia sendiri tapi temannya. Surat-surat Indra selalu membuatku senang, semangat, dan jadi merindukan suratku ada di jendela TU, karena semasa SMA pun surat untuk siswa kembali dipajang di jendela TU. Nah waktu kuliah baru deh surat diantar Pak Pos ke alamat kos. Kalau Pak Pos lewat jadi harap-harap cemas, ada surat untukku , tidak ya. Lucunya kalau tidak ada, terus merayu Pak Pos, " Pak Pos ada dong surat buatku" . " Tidak ada Mbak", "Ayolah ada Pak, kalau tidak surati aku dong Pak". He..he...kok jadi Pak Pos yang disuruh nyurati.
Nah, masih ada sahabat pena yang memang kenal, tapi jadi berjauhan karena melanjutkan sekolah ke luar daerah. Yang pertama Nurul Hikmawati, temanku SMP yang melanjutkan sekolah di SPRG (Sekolah Pengatur Rawat Gigi) di Yogyakarta. Dia rutin sebulan sekali menulis surat untukku. Satunya lagi Inong Hanna Theresia teman SMP dan SMAku yang pindah kelas satu SMA ke Solo mengikuti ayahnya yang hakim dipindahtugaskan di sana. Dengan Hanna bahkan kami bisa jumpa di Yogya , yang pertama , tak sengaja ketemu di Toserba Matahari Malioboro kami sama-sama jalan-jalan di sana. Hanna kuliah di Arsitektur UNS, aku di FPBS IKIP Yogyakarta. Yang kedua Hanna dengan diantar temannya sengaja main ke kostku. Aduh senang banget bisa ketemu teman yang biasanya hanya jumpa di tulisan. Hanna dan Indra sama-sama Kristiani sementara aku muslimah, tapi kami saling menghormati dan tidak menghalangi persahabatan kami.
Sayang Indra menghentikan suratnya, padahal kami belum pernah berjumpa. Entahlah bisa apa tidak saya dan Indra berjumpa fisik. Yang jelas surat-surat mereka masih kusimpan sampai sekarang.
Begitulah surat dan sahabat pena menjadi romantika remaja era 80-90-an. Remaja sekarang barangkali hanya mengenal SMS dan Email. Tapi percayalah surat yang berupa kertas, dengan tulisan tangan itu lebih berkesan daripada SMS atau email yang berupa ketikan, tidak percaya coba saja hari gini menulis surat boleh kok, kantor pos masih ada pak pos juga masih setia mengantar surat kita sampai ke alamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H