Mohon tunggu...
Pradana Gilang Perwira
Pradana Gilang Perwira Mohon Tunggu... -

mantan mahasiswa ilmu hayati, coal trader, musisi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Semangat Kedaulatan, Anti-kolonialisme, dan Sosialisme pada Undang-Undang Pokok Agraria 1960

19 Maret 2011   12:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:38 1126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menarik membahas semangat dari UUPA ini karena saat dirumuskannya, pemerintah Indonesia saat itu masih pada asa tinggi untuk memberikan kesejahteraan secara merata kepada seluruh rakyat Indonesia dalam semangat sosialisme, sehingga UUPA pun dibuat dengan semangat sosialisme besar, selain peraihan kedaulatan dan anti-kolonialisme. Walaupun saya bukanlah pakar ataupun praktisi hukum, semangat sosialisme pada UUPA tetaplah teramati oleh mata awam saya.

Tulisan ini dibuat untuk mengingatkan pemimpin-pemimpin bangsa, dalam semangat pembangunan, sebaiknya tidak terlalu penuh dalam mengadopsi sistem kapitalisme, yang akhirnya pembangunan justru menindas dan menghilangkan hak kaum yang lemah demi kepentingan investor asing. Namun dilain pihak, mengingatkan pula perlunya peraturan-peraturan lain yang memperjelas status hukum bagi lahan yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang dibangun  demi kepentingan umum. Semoga tulisan ini juga menjadi bahan diskusi yang berguna pada forum ini.

Undang-undang No. 5 tahun 1960 atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah peraturan dasar tentang kepemilikan dan pengelolaan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia. Undang-undang ini menggantikan "Agrarische Wet" (Staatsblad 1870 No. 55), sebagai yang termuat dalam pasal 51 "Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie" (Staatsblad 1925 No. 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu. Selain itu juga untuk menghapuskan aturan-aturan domienverklaring, serta Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872 No.117) dan peraturan pelaksanaannya.

Pada UUPA warga Negara Indonesia memiliki hak istimewa dalam pengelolaan agraria, dimana hanya warga Negara Indonesia yang diberikan hak untuk memiliki dan mengelola agraria yang tercakup di dalam wilayah Republik Indonesia (pasal 9). Pada pasal 21, selain disebutkan bahwa hanya warga Negara Indonesia yang dapat mengajukan hak milik lahan, juga diterangkan bahwa warga asing dan warga Negara Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan haknya atas lahan yang termasuk di dalam wilayah agraria Indonesia. Dengan pasal tersebut, kepemilikan asing baik badan maupun perseorangan dalam wilayah agraria Indonesia dihapus dan dilarang.

Berlakunya pasal tersebut menghentikan semangat kolonialisasi pada perundangan agraria sebelumnya yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda, dan berlakunya UUPA menjadi dasar bagi dilakukannya nasionalisasi terhadap lahan-lahan milik pemerintah kolonial maupun swasta asing . Karena ditambahkan dalam UUPA bahwa hanya warga Negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan di Indonesia yang berhak untuk mengajukan hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak membuka dan memungut hasil hutan.

Pasal 26 dengan tegas menerangkan bahwa dilarang melakukan pemindahan hak milik atas lahan kepada badan hukum atau warga Negara asing. Selain itu, dengan pasal tersebut, warga asing juga dilarang untuk memiliki properti di Indonesia termasuk rumah, apartemen, hotel, dan sebagainya. Akibatnya, pada saat ini, UUPA dianggap menghambat investasi asing untuk memasuki Indonesia dalam bidang properti. Namun demikian, keberadaan pasal-pasal tersebut sangat diperlukan sebagai landasan hukum bagi pemerintah untuk mengendalikan investasi asing yang masuk ke Indonesia dengan semangat mencegah terjadinya praktik-praktik neokolonialisme.

Ketentuan lain tentang kepemilikan asing memperbolehkan adanya ketelibatan pihak asing dalam pengelolaan agraria jika sesuai dengan kepentingan pembangunan nasional. Pasal 42 menyebutkan bahwa warga atau badan hukum asing dapat memiliki hak pakai, dan pasal 45 menyatakan bahwa warga dan badan hukum asing dapat memiliki hak sewa untuk bangunan. Juga tertulis dalam pasal 55 ayat (2) yaitu bahwa “Hak guna usaha dan hak guna-bangunan hanya terbuka kemungkinannya untuk diberikan kepada badan-badan hukum yang untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing, jika hal itu diperlukan oleh Undang-undang yang mengatur pembangunan nasional semesta berencana”.

Posisi Negara dalam UUPA adalah sebagai badan penguasa yang memiliki wewenang terhadap lahan agraria, namun bukan pemilik. Wewenang Negara sebagai badan penguasa agraria adalah mengatur peruntukan tanah demi kepentingan Negara dan masyarakat (pasal 12, 13, 14) dan mencegah monopoli atas lahan (pasal 13 ayat (2),(3)) serta kepentingan sosial (pasal 6), dengan berdasarkan asas sosialisme (pasal 14 ayat (1)), dan gotong royong (pasal 12 ayat (1)). Negara memiliki kuasa untuk menentukan batas luas kepemilikan atas tanah (pasal 17), serta membatasi sejauh mana hak pribadi atas hak dan memiliki kekuasaan penuh terhadap tanah yang tidak menjadi hak milik siapapun (penjelasan umum UUPA).

Penjelasan pasal 6 tentang “semua tanah mempunyai kepentingan sosial” adalah hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. (penjelasan umum UUPA). Tujuan pengesampingan hak pribadi adalah untuk mencegah terjadinya penguasaan atas bumi, air, dan ruang angkasa oleh perseorangan atau kelompok badan usaha, termasuk badan usaha milik pemerintah. Maka dengan landasan pasal 6, 12, 13, dan 14, Negara dapat mengesampingkan kepemilikan pribadi masyarakat bagi bumi, air, dan ruang angkasa yang akan digunakan bagi kepentingan umum. Namun ternyata implementasi tersebut masih belum berjalan baik di Indonesia, karena kendala pembebasan lahan yang dimiliki masyarakat masih menjadi penghambat utama pembangunan infrastruktur.  Sehingga disinilah perlunya peraturan penjelas seperti yang telah saya kemukakan di paragraf 2.

Hukum Adat dan Hak Ulayat
Posisi hukum adat dan hak ulayat pada UUPA dijelaskan masih diakui, selama “peruntukannya adalah sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi” (pasal 3). Yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu" ialah apa yang didalam perpustakaan hukum adat disebut "beschikkingsrecht" (penjelasan UUPA). Pada pasal 5 juga disebutkan bahwa hukum yang berlaku di atas bumi, air, dan udara Indonesia adalah hukum adat selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, semangat sosialisme, dan dengan pearturan lain pada UUPA dan undang-undang lainnya, dengan mengindahkan hukum agama. Namun dijelaskan pula bahwa “Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah” (pasal 22) sehingga hukum adat yang boleh diberlakukan untuk implementasi pasal 5 adalah hukum adat yang telah diatur pemerintah.

Melihat kedua pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa UUPA tetap mengakui hak ulayat, namun hukum adat atas lahan tersebut dengan tegas dihapuskan, dan pemerintah dapat menghilangkan hak tersebut apabila akan digunakan bagi kepentingan nasional. Hal mengenai bagaimana status milik dan penggunanan lahan hak ulayat tercantum pada penjelasan umum UUPA, dimana disebutkan bahwa “tanah-tanah didaerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah samata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja”, dan dilanjutkan dengan “Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara”. Dapat ditafsirkan bahwa hak ulayat akan ditarik sebagai kepentingan nasional, namun pelaksanaan hak tersebut hanyalah sebagai hak pemanfaatan, bukan milik(penjelasan umum UUPA).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun