Jemparingan Mataraman gaya Kraton Jogja dilakukan dalam posisi duduk bersila di tanah / di tikar.Â
Untuk pemanah putri duduknya model : 'silo-panggung', duduk bersila dengan lutut sedikit diangkat untuk tujuan kesopanan.
Koq duduk ?
YA ! Sejak awal jemparingan dilakukan dalam posisi duduk karena diajarkan di Kraton Jogja BUKAN untuk tujuan perang, melainkan untuk PEMBENTUKAN KARAKTER KSATRIA MATARAM.
Untuk diketahui, sejak awal Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan tahun 1755 M prajurit kraton sudah bersenjata api ( senapan, pistol, meriam), disamping tentunya senjata perang lainnya : tombak, pedang sabet, dll.
Sikap duduk bersila selain menunjukkan kita tidak dalam posisi 'menyerang' / bermusuhan, juga untuk menunjukkan tata-krama.
Awas, Jangan Sampai kena POCONG !
Eitssst ! Jangan salah-sangka dulu, pocong yang dimaksud dalam permainan jemparingan adalah bola kecil yang ikut digantung dibawah wong-wongan (boneka jerami untuk sasaran panahan).
Seperti kita sampaikan di awal, permainan jemparingan gaya lama ini diajarkan untuk sarana pembentukan karakter ksatria Mataram. Wong-wongan, yang berfungsi sebagai sasaran panahan diberi warna MERAH, KUNING, PUTIH, dan di bawah sendiri ada pocong.
Warna merah di bagian atas wong-wongan, namanya 'mustoko' atau kepala. Kalau anak-panah kita berhasil nancap di mustoko akan mendapat nilai : 3 poin.
Kuning, namanya jonggo (leher). Kalau kita berhasil mengenainya akan mendapat: 2 poin.
Putih, namanya awak atau badan. Nilainya : 1 poin. Tetapi...