Sebagai catatan: saya pribadi belum pernah menemukan busur jemparingan Mataraman kuno, di Yogyakarta dan Jawa Tengah, yang menggunakan bahan sayap busur dari bambu. Baik busur di ndalem kapangeranan, di museum, koleksi keluarga / pribadi, bahkan yg sudah 'hilang' diboyong ke Jerman pun ... bahannya dari kayu keras seperti di atas. Bahkan ada yang dibagian ujung busur dilapisi dengan kuningan atau emas / perak. selain berfungsi sebagai penguat juga bisa untuk menusuk.Â
Busur dan anak-panah lengkap dengan endhong (quiver / tabung panah) milik Sultan Agung pun, yang sekarang menjadi salahsatu regalia di Kraton Jogja bernama kanjeng Kyai Ampilan, juga memiliki bedhor (mata panah) yang khas untuk membunuh musuh.Â
Beragam bentuk bedhor yang bentuknya mirip dengan mata tombak kecil ini, tiap waktu-waktu tertentu masih dijamasi (dimandikan) sebagaimana pusaka-pusaka kraton lainnya.
Yang menarik dan menjadi ciri KHAS jemparingan gaya Mataram (Sultan Agungan atau mataraman) adalah cara memegang busur secara melintang / horisontal.
Peninggalan budaya panahan gagrag (gaya) Mataraman ini masih kental ditemui di hampir seluruh wilayah Mataraman : Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat.Â
Berbeda dengan Kasunanan Mataram Surakarta yang masih menggunakan prajurit panah sampai era PB ke-4, atau kadipaten Mangkunegaran yang memiliki 15 legiun bersenjata panah, di Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat sejak mula berdiri sudah tidak menggunakan panah lagi sebagai senjata perang, berburu atau pun membela diri.Â
Memang Kraton Yogyakarta memiliki bregodo prajurit Nyutro yang bersenjata (salahsatunya) busur panah, namun... di buku Ensiklopedi Kraton Yogyakarta jelas disebutkan : Prajurit Nyutra hanya untuk prajurit 'kelangenan', tidak untuk maju berperang.
Ada juga prajurit putri Langen Kusumo, di era Sri Sultan HB.II yang sangat terkenal jago memanah, menembak, dan berkuda. Namun prajurit ini sifatnya lebih ke pengawal pribadi (bodyguard) Sultan.
Panahan, atau dalam bahasa kromo-inggil biasa disebut dengan istilah 'jemparingan', memang sudah dikenal sebagai dolanan / permainan untuk pembentukan karakter ksatria Mataram, sejak AWAL kasultanan Yogyakarta ini berdiri, pada tahun 1755 M.
Dahulu, jemparingan hanya boleh dimainkan oleh para bangsawan dan abdi-dalem karaton Yogyakarta saja. Namun sekarang, sejak 6 Januari 2018 masyarakat luas SUDAH diijinkan untuk ikut nguri-uri / melestarikan budaya panahan, warisan Sri Sultan Hamengku Buwono ke-1 ini.