Mohon tunggu...
Jemil Firdaus Cairo
Jemil Firdaus Cairo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Cuap-cuap pengen kenalan, berbagi untuk yang lain, ingin menjadi terbaik dihati Sang Tuhan. Rindu Al-Azhar University. UIN Suka, thanks telah mengajariku banyak hal. Istri dan anakku semoga untuk mereka matahari bersinar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Model Penelitian Sejarah; Relasi Ulama Nusantara Abad Ke-17 dan 18

21 Januari 2014   13:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:37 1859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

A.Pendahuluan

Sejarah Islam termasuk salah satu bidang studi yang menarik perhatian dan banyak dikaji baik oleh sarjana Muslim ataupun non Muslim, dikarenakan banyak manfaat yang diperoleh melalui kajian sejarah. Salah satu diantaranya dengan mengkaji sejarah akan mengetahui penyebab kemajuan atau kemunduran dari objek sejarah yang menjadi bahan kajian tersebut. Termasuk juga mengetahui keterkaitan antara mata rantai sejarah satu dengan sejarah yang lain. Dengan demikian kajian sejarah bukan hanya wacana masa lampau belaka, namun mampu memberikan sumbangsih nyata untuk membentuk masa depan, bahkan mampu meramalkan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S Poerwadarminta menyatakan sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi. Definisi tersebut menekankan kepada materi peristiwanya tanpa mengaitkan dengan aspek-aspek lainnya. Dalam pengertian yang lebih komprehensif suatu kejadian sejarah harus selalu dikaitkan dengan siapa pelaku peristiwa tersebut, di mana, kapan, dan mengapa peristiwa itu terjadi. Dengan kata lain sejarah terdapat di dalamnya objek peristiwa (what), orang yang melakukan (who), waktu (when), tempat (where), dan latar belakangnya (why). Kemudian semua aspek sejarah tersebut disusun sistematik dalam menggambarkan hubungan satu sama lainnya.

Dari pengertian sejarah di atas, maka bisa dipahami yang dimaksud sejarah Islam adalah peristiwa betul-betul nyata terjadi yang berkaitan dengan agama Islam, baik ditinjau dari aspek sejarah proses pertumbuhan, perkembangan dan penyebarannya, tokoh-tokoh yang melakukan pengembangan dan penyebaran agama Islam tersebut, termasuk sejarah kemajuan dan kemunduran yang dicapai umat Islam dalam berbagai bidang.

Untuk memudahkan kajian sejarah Islam, makapara pakar sejarah Islam membagi sejarah Islam dalam tiga periode: klasik, pertengahan dan modern. Pertama adalah periode klasik berlangsung dari tahun 650-1250 Masehi, tercatat sejarah perjuangan Nabi Muhammad Saw. sampai pada akhir Bani Abbas. Kedua adalah periode pertengahan dari tahun 1250-1800 Masehi, mencatat sejarah kemunduran umat Islam terkait dengan ditaklukannya oleh tentara Jengis Khan, dan kemudian membangun kembali dengan berdirinya tiga kerajaan setelahnya. Ketiga adalah periode kebangkitan, berlangsung dari tahun 1800 sampai dengan sekarang.

Selanjutnya sejarah Islam itu sendiri dari segi isinya bisa terbagi dua pembahasan mengenai kemunduran dan kemajuannya dalam berbagai bidang, baik politik, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, berbagai paham dan aliran yang ada di dalamnya, serta lain sebagainya, termasuk juga sejarah mengenai penyebarannya ke berbagai belahan Dunia, tokoh-tokoh yang mengembangkannya.

Berdasarkan pemetakan tersebut, maka pembagian periode dalam kajian sejarah dan juga posisi studi sejarah yang ditekuni untuk dipelajari tersebut menjadi begitu penting, dapat memudahkan para pengkaji dalam mempelajari sejarah Islam yang luas.

Salah satu kajian sejarah Islam adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Azyumardi Azra, yang memfokuskan kajiaanya mengenai sejarah interaksi antar Ulama Timur Tengah dan Ulama Nusantara, yang terjadi pada abad ke-17 dan abad ke-18 Masehi. Dengan kata lain fokus kajiannya adalah Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara. Sedangkan yang dikaji pada kawasan tersebut adalah mengenai interaksi antar ulama yang selanjutnya menciptakan jaringan. Dengan jaringan tersebut memberikan berubahan terhadap keIslaman Nusantara, merubah masyarakat menjadi taat pada syari’at Islam, dak aktiv dalam menjalankan hidup lebih optimis, meniggalkan mistis yang pada dua abad tersebut mendominasi, menghidupkan organisasi thariqat-thariqat neo-sufisme.

Timur Tengah yang dimaksud dalam kejian ini adalah Haramayn, yaitu Makkah dan Madinah, yang merupakan basis intelektual pada saat itu. Relasi jaringan ulama Nusantara dan Timur Tengah ini dengan mudah berjalan baik dikarenakan motiv haji dan kerjasama Dinisti Usmani yang mempermulus perjalanan ibadah jamaah haji Nusantara pada saat itu.

B.Latar Belakang Masalah

Pada bagian pendahuluan, Azyumardi Azra mengemukakan mengapa penelitian dengan judul itu menjadi penting dan perlu dilakukan. Untuk ini ia mengatakan perlu bahwa tranmisi gagasan permbaharuan merupakan bidang yang cukup terlantar, nyaris sangat amat sedikit yang mengkajinya. Berbeda halnya dengan banyaknya kajian seputar filsafat Yunani kepada kaum Muslimin dan selanjutnya ke Eropa modern, tidak ada kajian komprehensif tentang transmisi gagasan-gagasan keagamaan, khususnya gagasan pembaharuan dari pusat-pusat keilmuan Islam ke bagian-bagian lain Dunia Islam, membuatnya terdorong untuk meneliti dan mengkajinya. Tentu saja terdapat sejumlah studi tentang transmisi hadist dari satu generasi ke generasi berikutnya pada masa awal Islam melalui sanad, mata rantai yang berkesinambungan.

Tidak terdapat kajian yang komprehensif tentang jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara. Meskipun terdapat beberapa kajian-kajian tentang beberapa tokoh ulama Melayu-Nusantara pada abad ke-17 dan ke-18, tapi tak banyak upaya dilakukan untuk mengkaji secara kritis tetang sumber-sumber pemikiran mereka, dan khususnya tentang bagaimana gagasan-gagasan dan pemikiran Islam mereka transmisikan dari jaringan ulama yang ada, serta bagaimana gagasan yang mereka transmisikan itu mempengaruhi perjalanan historis Islam di Nusantara.

Sedikitnya kajian perkembangan pemikiran keIslaman dan jaringan ulama Timur Tengah dengan Nusantara ini, maka penelitian ini perlu untuk dilakukan. Lebih lanjut Azyumardi Azra mengatakan bahwa kajian tentang tranmisi dan penyebaran gagasan pembaharuan Islam, khususnya pada masa menjelang ekspansi kekuasaan eropa dalam abad ke-17 dan abad ke-18, penting terkait beberapa alasan. Sejarah sosial-intelektual Islam pada periode ini sangat sedikti dikaji, karena kebanyakan peneliti mencurahkan perhatian pada sejarah politik Muslim. Karena terjadinya kemerosotan entitas-entitas politik muslim, periode ini sering dipandang sebagai gelap dalam sejarah Muslim. Islam di kawasan Nusantara tidak memiliki tradisi keilmuan yang mantap, Islam di Nusantara bukan “Islam yang sebenarnya” kerena tercampur dengan budaya lokal, maka Islam di Nusantara sangat berbeda dengan Islam di Timur Tengah.

Bertentangan dengan pandangan yang banyak dipegangi tersebut, justru menurut Azyumardi Azra pandangan tersebut tidak dibenarkan. Abad ke-17 dan abad ke-18 memiliki malah memiliki keunikan tersendiri dan begitu juga hubungan kepulauan Nusantara dengan Makkah-Madinah begitu erat. Malahan Azyumardi Azra menyatakan pada dua abad tersebut merupakan abad yang paling dinamis dalam sejarah sosial intelektual kaum Muslimin.

Azyumardi Azra menegaskan bahwa sumber dinamika Islam dalam abad ke-17 dan ke-18 adalah jaringan ulama, yang terutama berpusat di Makkah dan Madinah. Kedudukan dua kota ini merupakan sangat penting, kota suci, khususnya dalam kaitannya dengan ibadah haji, mendorong sejumlah besar muslim dunia untuk datang dan bermukim di sana, yang pada saat gilirannya menciptakan semacam jaringan keilmuan yang menghasilkan wacana ilmiah yang unik.

Dengan ini, Azyumardi Azra mencoba untuk melangkah awal dalam upaya menyelidiki sejarah sosial dan intektual ulama serta pemikiran Islam di Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan perkembangan pemikiran pusat-pusatkeilmuan Islam di Timur Tengah, terlebih khusus Makkah dan Madinah sebagai basis intelektual Islam saat itu, abad ke-17 dan ke-18.

C.Telaah Hasil Penelitian Terdahulu

Azyumardi Azra menegaskan tidak terdapat kajian komprehensif tentang jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara. Meskipun terdapat kajian-kajian penting tentang beberapa tokoh ulama Melayu-Nusantara pada abad ke-17 dan abad ke-18, tetapi tidak ada upaya kajian kritis akan pemikiran-pemikiran mereka, dan bagaimana gagasan yang mereka transmisikan memberi pengaruh pada historis Islam Nusantara.

Katakanlah seperti yang dilakukan oleh J.O Voll membahas tentang jaringan ulama yang perpusat di Makkah dan Madinah, dan bagaimana hubungannya dengan Dunia Muslim yang lain. Namun apa yang dilakukan oleh Voll terfokus pada jaringan ulama Timur Tengah dan Anak Benua India; ia tidak banyak menyinggung keterlibatan ulama Melayu-Nusantara kecuali ala kadarnya semata, dia hanya sambil lewat menyebutkan keterlibatan ulama Melayu-Nusantara seperti Abd al-Rauf al-Sinkili dan Muhammad Yusuf al-Maqassari dalam jaringan ulama internasional tersebut.

Ada juga penelitian sejarah sebelumnya, John L. Espositi, bukunya berjudul Islam in Asia, Religion, Politics & Society. Di dalam buku tersebut memuat perkembangan Islam di Asia pada umumnya, namun tidak memiliki ciri khas kuat, karena buku tersebut merupakan hasil dari kumpulan esai dengan menggunakan sumber-sumber sekunder. Johns dalam hasil penelitiannya semat membahas hubungan jaringan tersebut, khususnya antara Sinkili dan Ibrahim al-Kurani. Tetapi dia tidak melakukan usaha membahas lebih jauh jaringan keilmuan tokoh-tokoh ulama Melayu-Nusantara lainnya bahkan lebih mencolok. Kajian-kajian yang membahas ulama terkemuka selain al-Sinkili gagal mengungkapkan jaringan keilmuan mereka dengan ulama Timur Tengah. Disamping itu Azyumardi Azra tidak lupa mengatakan akan pentingnya buku ini untuk di kaji sebagai langkah awal dalam kajian sejarah keIslaman yang mampu menghilangkan asumsi barat terhadap Islam yang identik dengan Arab.

David D. Newsom, dalam tulisannya Islam in Asia ally or Adversary. Mencoba menjelaskan bahwaIslam yang dipahami oleh sejumlah orang Amerika sebagai agama Dunia Arab, ternyata tidaklah benar, karena Islam juga dapat ditemui di Asia dan belahan Dunia lainnya. Selanjutnya David menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang sangat penting dalam meresponi berbagai masalah yang timbul di belahan Dunia, bukan semata-mata agama orang Arab.

Seorang peneliti sejarah lainnya adalah Arthur Goldschmidt, Jr, sebagai mana dalam bukunya A Concise History of The Middle East. Ia telah berhasil mendeskripsikan secara komprehensif berbagai peristiwa yang terjadi di Timur Tengah sepanjang berkaitan dengan Islam, mulai sejak kedatangan Islam sampai perkembangan terakhir dalam kepenulisan buku tersebut. Namun tidak membahas jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara dalam kaitannya dengan transmisi pembaharuan di Indonesia.

Hasil-hasil kajian kepustakaan terdahulu tersebut selain menunjukkan adanya potensi tentang kajian jaringan ulama yang dimaksud, juga bisa memberikan peluang untuk melakukan penelitian lebih lanjut dibidang tersebut.

Dari beberapa pemaparan kajian pustaka terdahulu, singkat kata, kajian-kajian yang telah ada lebih berpusat pada aspek “organisasional” jaringan ulama di Timur Tengah dengan mereka yang datang dari bagian-bagian lain Dunia Muslim, juga erat kaitannya dengan hubungan nuansa politik dan sekedar mendokumentasikan beberapa peristiwa saja. Bahkan muncul statemen bahwa hubungan Nusantara dengan Timur Tengah tidak lebih dari sekadar hubungan politik dan peribadatan haji belaka. Oleh karena itu, tidak ada kajian yang secara komprehensif membahas tentang “kandungan intelektual” yang terdapat dalam jaringan ulama tersebut. Padahal kajian ini begitu penting untuk mengetahui bentuk gagasan dan ajaran yang ditransmisikan melalui jaringan ulama, terutama dalam hal ini Timur Tengah dan Indonesia.

Apa yang telah diupayakan oleh Azyumardi Azra merupakan sumbangsih pemikiran kekayaan yang begitu berharga. Merupakan langkah awal untuk melacak akar-akar pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.

D.Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang pemikiran dan tinjauan pustaka di atas, Azyumardi Azra mengajukan permasalahan penelitian dimaksud. Dalam kajian ini berusaha untuk melacak akar-akar pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia terutama terkait dengan beberapa permasalahan pokok:

1.Bagaimana jaringan keilmuan terbentuk di antara ulama Timur Tengah dengan murid-murid Melayu-Indonesi? Bagaimana sifat dan karakteristik jaringan tersebut? Apakah ajaran atau tendensi intelektual yang berkembang dalam jaringan itu?

2.Apa peran ulama Melayu-Nusantara dalam transmisi kandungan intelektual jaringan ulama itu ke Nusantara? Serta bagaimana modus transmisi itu?

3.Apa dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan Islam di Nusantara?

E.Model dan Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup kajian penelitian terfokus mengenai penelitian sejarah interaksi antar ulama Timur Tengah dan Ulama di Kepulauan Nusantara yang terjadi pada abad ke-17 dan abad ke-18 Masehi. Fokus kajiannya adalah Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, sedangkan yang dikaji pada kawasan tersebut adalah mengenai interaksi antara ulama yang selanjutnya menciptakan jaringan tersendiri.

Kurang lebih selama dua tahun Azyumardi Azra mengadakan penelitian ini secara intensif di berbagai tempat dan perpustakaan belahan Dunia, mulai dari Banda Aceh, Jakarta, Ujung Pandang, Yogyakarta, Kairo, Makkah, Madinah, Leiden, New York City hingga sampai pada Ithaca (New York State).

Salah satu yang membedakan kajian Azyumardi Azra dengan kajian-kajian yang lain tentang Islam di Indonesia pra abad ke-19 adalah, sumber referensi kajian lain berasal dari Barat dan lokal setempat, namun Azyumardi Azra semaksimal mungkin menampilkan menggunakan sumber-sumber referensi Arab secara ekstensif dalam pengkajiannya yang berkenaan dengan sejarah pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Kamus-kamus Biografi berbahasa Arab tentang ulama dan tokoh lainnya pada abad ke-17 dan ke-18 merupakan tambang informasi tentang para guru murid-murid Jawi yang telah terlibat dalam jaringan ulama.

Berdasarakan yang di atas, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa model penelitian sejarah yang dilakukan oleh Azyumardi Azra, adalah termasuk studi sejarah kawasan dengan mengambil masalah pokoknya pada jaringan ulama Timur Tengah dengan Melayu-Nusantara dalam kurung waktu abad ke-17 sampai ke-18. Penelitian tersebut tergolong penelitian ekploratif, dokumentatif dan kualitatif, karena berupaya mengungkapkan berbagai masalah yang ada kaitannya dengan jaringan ulama tersebut berdasarkan dokumen tertulis yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Penelitian tersebut bukan penelitian uji hipotesis atau mencari korelasi antara satu variable dengan variable yang lainnya.

Berdasarkan apa dituangkan dalam hasil penelitian Azyumardi Azra, dilihat dari aspek-aspeknya, terasa sudah sangat lengkap dibahas. Di dalamnya tertuang latar belakang pemikiran, permasalahan, tujuan, bahan-bahan yang digunakan, pendekatan,dan kesimpulan yang dihasilkan.

F.Bahasan dan Hasil Penelitian

Agama Islam yang luas cakupan untuk menjadi pembahasan, Azyumardi Azra mengkrucutkan kajiannya hanya abad ke-17 dan abad ke-18 saja terkait dengan jaringan ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara, dalam rangka mencari akar-akar pembaharu pemikiran Islam di Indonesia. Model penelitiannya adalah penelitian sejarah Islam. Berusaha untuk menjelaskan secara komprehensif adan akurat tentang penyebaran pembaharuan Islam ke wilayah Melayu-Nusantara.

Sebagian dari hasil penelitian Azyumardi Azra menyimpulkan bahwa sebagian besar mereka yang terlibat dalam jaringan ulama ini, yang berasal dari berbagai wilayah Dunia Muslim membawa berbagai tradisi keilmuan ke Makkah dan Madinah yang pada saat itu sebagai pusat ulama kosmopolitan yang telah banyak menyiarkan gagasan-gagasan pembaharuan baik melalui tulisan ataupun pengajaran. Kemudian memunculkan usaha-usaha sadar di antara ulama dalam jaringan untuk memperbaharui dan merevitalisasi ajaran-ajaran Islam, dengan membentuk jaringan yang terpusat di Haramayn. Hal ini didikarenakan Haramayn merupakan bentukan dari interaksi berbagai tradisi pengetahuan dan keilmuan Islam dari Afrika Utara (wilayah Maghrib ada 5 ulama), Mesir (4 ulama), Syiria (1 ulama), Irak (1 ulama), Yaman (1 ulama), India (1 ulama), Andalusi (1 ulama), Anatolia (3 ulama), Persia (3 ulama) dan Haramayn sendiri (5 ulama).

Tema pokok pembaharuan mereka adalah merekonstruksi sosio-moral masyarakat-masyarakat Muslim. Karena hubungan-hubungan ekstensif dalam jaringan ulama, semangat pembaharuan tadi segera menemukan berbagai ekspresinya di banyak bagian Dunia Muslim. Termasuk pembaruan Islam di Nusantara sudah dimulai sejak paruh kedua abad ke tujuh belas dan mukan pada abad kesembilan belas atau dua puluh.

Pengembangan gagasan pembaharuan dari transmisi melalui jaringan ulama melibatkan proses-proses yang amat kompleks. Terdapat saling hubungan di antara banyak ulama dari jaringan, sebagai hasil dari proses keilmuan mereka, khususnya dalam bidang Hadis dan Neo-Sufisme dengan segenap apa yang terkait dengannya, baik dalam kepatuhan menjalankan syariat, aktivisme, bentuk organisasi tarekat, bahkan geliat kesinambungan dan perubahan senantiasa dinamis serta hidup dalam ranah pembaharuan.

Lebih lanjut, menyangkut pembaharuan ini, Islam di wilayah Melayu-Nusantara pada abad ke-17 bukan semata-mata Islam yang berorientasi pada tasawuf, melainkan juga Islam yang berorientasi pada syari’at (hukum Islam). Ini salah satu perubahan besar dalam sejarah Islam Nusantara. Dikarenakan pada abad-abad sebelumnya, Islam mistislah yang mendominasi kehidupan dan kepercayaan masyarakat. Baru muncul pembaharuan dan perubahan serentak di Nusantara yang dipelopori oleh para ulama sejak paruh abad ke-17 dan seterusnya melakukan usaha dengan penuh kesadaran, bahkan sistemik untuk menyebarkan Neo-Sufisme.

Abad-abad sebelum ke-17 dan ke-18, banyak pemahaman tasawuf yang berkembang sebagian besar merupakan penafsiran mistiko-filosofis terhadap Islam. Semetara mempertahankan dokrin-dokrin mistisisme filosofis terhadap tertentu, sangat penting bagi setiap jenis tasawuf, Neo-Sufisme memberikan tekanan baru dan berbeda dengan aliran-aliran tasawus sebelumnya. Neo-Sufisme lebih menebarkan ajakan untuk patuh dan taat terhadap syariat serta aktif dalam beramal sosial kemasyarakatan, karena keterlibatan dalam permasalahan duniawi dianggap sebagai salah satu kunci membangun cita-cita ukhrawi. Berbeda halnya dengan tasawuf-tasawuf sebelumnya yang hanya bersikap pasif, dan hanya membangun mistis ukhrawi dengan meninggalkan dunia empiris.

Menelaah sebelum abad ke-17, ternyata hubungan antara kaum Muslimin di kawasan Melayu-Nusantara telah terjalin sejak lama, bermula masa-masa awal Islam. Para pedagang Muslim dari jazirah Arab, Persia dan anak Benua India yang mendatangi kepulauan Nusantara tidak hanya berdagang, tetapi dalam batasan tertentu juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat. Penetrasi Islam di masa belakangan nampaknya lebih didahulukan para guru penyair pengembara sufi yang sejak akhir abad ke-12 datang dalam jumlah yang semakin benyak ke Nusantara. Dengan inilah aliran-aliran tasawuf menjamur di Melayu-Nusantara, dan didominasi oleh tasawuf mistiko-filosofis tentang Islam.

Tidak menutup kemungkinan bahwa kemakmuran kerajaan-kerajaan Muslim di Nusantara, terutama sebagai hasil perdagangan internasional, memberikan kesempatan kepada segmen-segmen tertentu dalam masyarakat Muslim Melayu-Nusantara untuk melakukan perjalanan ke pusat-pusat keilmuan dan keagamaan di Timur Tengah.

Upaya Dinasti Usmani mengamankan jalur perjalanan haji juga membuat perjalanan baik haji dari Nusantara semakin membaik. Tatkala hubungan ekonomi, politik, sosial-keagamaan antar Negara-negara Muslim di Nusantara dengan Timur Tengah semakin meningkat sejak abad ke-14 dan abad ke-15. Maka kian banyak pulalah penuntut ilmu dan jama’ah haji dan Dunia Melayu-Nusantara yang berkesempatan mendatangi pusat-pusat keilmuan Islam di sepanjang rute perjalanan haji. Ini sekaligus mendorong menculnya komunitas yang oleh sumber-sumber Arab disebut Ashhab al-Jawiyyin (saudara kita orang jawa) di Haramayn. Istilah jawi ini digunakan meskipun berasal dari bukan orang jawa, dengan maksud ditujukan untuk orang yang berasal dari Nusantara. Bahkan tidak jarang ada yang sekalian menetap setelah berhaji dan tinggal di Haramayn, dengan mencurahkan daya dan upaya untuk membentuk perubaha, kebangkitan Islam.

Telaah hadist yang dipelajari di Haramayn tersebut memberikan inspirasi dan wawasan cara memimpin masyarakat Muslim menuju rekonstruksi sosial-moral. Sehingga mampu memberi pemahaman pada mereka untuk pentingnya menciptakan keseimbangan antara syariat dan tasawuf. Sedikit demi sedikit menciptakan perubahan dokrinal dalam tarekat, yaitu pensucian pikiran dan hati, serta perilaku moral melalui kepatuahan penuh pada syariat, dan bukan hanya pada penjelajahan mistiko-filosofis spekulatif.

Selanjutnya penelitian tersebut menyimpulkan, bahwa murid-murid Jawi yang banyak belajar di Haramayin merupakan inti utama tradisi intelektual dan keilmuan Islam di antara kaum Muslimin Melayu-Nusantara. Kajian atas sejarah kehidupan, keilmuan dan karya-karya yang mereka hasilkan menjelaskan tidak hanya sifat hubungan keagamaan dan intelektual di antara kaum Muslimin Nusantara dan Timur Tengah, tetapi juga perkembangan Islam semasa di Dunia Melayu-Nusantara. Kehidupan dan pengalaman mereka menyajikan gambaran yang amat menarik tentang berbagai jaringan intelektual keagamaan yang terdapat di antara mereka dengan ulama Timur Tengah. Jaringan tersebut begitu kuat, salah satu penyebabnya adalah organisasi tarekat, melalui silsilah yang berkesinambungan, juga menjadikan sarana untuk menghubungkan ulama satu dengan yang lainnya.

Melalui hasil penelitian tersebut, Azyumardi Azra, menemukan corak keIslaman di Nusantara yang berbeda dengan keIslaman di Timur Tengah. KeIslaman Nusantara sedikit banyak tercampur dengan budaya lokal tidak bisa dipungkiri, tanpa melepas keterkaitan dengan Islam di Timur Tengah yang secara umum bersifat keagamaan dan keilmuan, demikian juga terdapat beberapa unsur politik.

Selanjutnya jaringan ulama Timur Tengah dengan Melayu-Nusantara memiliki karakteristik dasar dari yang sangat rumit dan kompleks, saling keterkaitan antara satu sama lain. Pola hubungan mereka pada umumnya merupakan upaya pencarian ilmu, maka kaitan dasar mereka adalah akademis, yaitu pola hubungan guru dan murid, sesama murid, dan sesama guru. Walaupun pola hubungan ini sedikit terlihat formal, namun minat bersama mereka dalam membangkitkan kejayaan ummah ke pelosok Dunia memberikan rangsangan kerjasama, dan pada akhirnya menciptakan hubungan yang erat satu sama lain. Menambahkan adanya dua penyebab lain yang menjadikan hubungan mereka menjadi solid, yaitu pertama adalah isnad hadis (telaah hadist) dan yang ke dua adalah silsilah tarekat. Keduanya menjadikan keterikatan lebih kuat walaupun terpisah antar benua sekalipun. Apa lagi ajaran tarikat yang kental dengan kepatuhan dan kesetiaan para murid kepada sang guru mereka memberikan kekuatan tambahan kepada jaringan ulama.

]Titik pusat wacana pengetahuan dan keilmuan Islam adalah di dua masjid, Makkah dan Madinah. Pada saat yang sama, ada banyak ribath-ribath dan madrasah-madrasah bermunculan memberi sumbangan besar bagi perkembangan keilmuan Haramayn yang memiliki dua ciri penting wacana ilmiah mereka, yaitu telaah hadist dan tarekat. Melalui telaah hadis dan tarekat tersebut hubungan guru dan murid terkaid satu sama lain. Terdapat banyak murid dari berbagai belahan dunia, lambat laun membentuk sebuah kesatuan kekeluargaan dan jaringan yang kuat.

Selanjutnya Azyumardi Azra memberikan tiga perintis gerakan pembaharuan Islam di Nusantara yang memiliki andil dalam pembentukan jaringan untuk ulama abad tujuh belas dan delapan belas. Tiga ulama besar abad ke tujuh belas adalah Nur Al-Din Al-Raniri, ‘Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili dan Muhammad Yusuf Al-Maqasasri. Adapun pada abad ke delapan belas adalah Al-Palimbangi dan para ulama Palembang, ulama-ulama Banjar dari Kalimantan, dan Dawud B. ‘Abdullah yang erat kaitannya dengan kebangkitan Patani. Dari masing-masing perintis tersebut Azyumardi Azra menjelaskan satu-persatu dari biografi mereka, karya-karya dan pembaharuan mereka, serta tidak luput pula jaringan dan peranan yang mereka bentuk di Dunia Islam Melayu-Nusantara yang tidak bisa penulis jabarkan detail satu persatu dalam makalah ini.

G.Kesimpulan

Dari segi aspek-aspek penelitian yang dilakukan oleh Azyumardi Azra, nampaknya penelitian tersebut telah begitu lengkap. Di dalamnya terdapat latar belakang pemikiran yang jelas, permasalahan, tujuan, bahan-bahan yang digunakan, pendekatan dan kesimpulan yang dihasilkan, serta penulisan yang juga sistematis. Kesemuanya itu merupakan harta intelektual yang bernilai tinggi.

Model penelitian yang dilakukan Azyumardi Azra sungguh nampak melelahkan, memakan energy besar dan sekaligus mengesankan sebagai sumbangsih sangat besar bagi pengembangan khazanah intelektual Islam, terutama Indonesia. Penelitian seperti ini perlu kiranya untuk semakin dikembangkan, sebagaimana Azyumardi Azra sendiri dalam kata pengantarnya ingin melanjutkan penelitiannya terkait dengan jaringan ulama pada pada ke Sembilan.

Melalui hasil penelitiannya itu, Azyumardi Azra menemukan tentang corak Islam di Kepulauan Nusantara. Selama ini diasumsikan, bahkan Islam di kawasan ini tidak mempunyai tradisi keilmuan yang mantap. Bahkan Islam di Nusantara dianggap “bukan Islam yang sebenarnya”, karena bercampur dengan budaya lokal. Menurutnya, pada intinya, Islam di Nusantara berbeda dengan Islam yang Timur Tengah. Pernyataan atau pendapat tersebut tidaklah benar.

Lebih lanjut Azyumardi Azra tidak menafikan akan pengaruh budaya lokal dalam berIslamnya di Indonesia, namun untuk menyebut tradisi Islam di Nusantara tidak mempunyai kaitan Islam di Timur Tengah jelas merupakan kesalahan yang sangat fatal. Dan ia telah memaparkan data terkait dengan argumentasinya tersebut.

Lebih lanjut melalui hasil penelitiannya, Azyumardi Azra, mengatakan juga keliru menganggap hubungan antara Islam Nusantara dengan Timur Tengah lebih bersifat politik ketimbang keagamaan. Menurut beliau, setidaknya sejak abad ke-17 dan abad ke-18 hubungan di antara kedua wilayah Muslim ini umumnya bersifat keagamaan dan keilmuan, meski juga terdapat hubungan politik antara beberapa kerajaan Muslim Nusantara, misalnya dengan Dinasti Usmani.

Menyangkut pembaharuan ini, Islam Nusantara pada abad ke tujuh belas bukan semata-mata Islam yang berorientasi pada tasawuf, melainkan juga berorientasi pada syariat dan menganjurkan sikap aktivisme. Ini merupakan perubahan besar dalam sejarah Islam di Nusantara, sebab pada masa abad-abad sebelumnya Islam mistislah yang mendominasi. Para ulama abad tujuh belas dan delapan belas dengan sadar dan serempak menebarkan pahan Neo-Sufisme di belahan Nusantara hingga terjadi perubahan dan pembaharuan besar-besaran.

Penyebaran pembaharuan Islam di Nusantara sepanjang abad ke tujuh belas dan delapan belas tidak lantas “tradisi kecil” Islam di berbagai dunia Islam menjadi sepenuhnya sesuai dengan “tradisi besar.” Berbagai bentuk keyakinan dan praktik-praktik yang tidak Islami terus mencengkram segmen tertentu kaum Muslimin. Ini merupakan alasan penting bagi kelanjutan usaha memperbaharui kembali keyakinan dan praktik kaum Muslimin pada periode selanjutnya.

Dan yang terakhir, ada banyak peristiwa sejarah. Sejarah satu melahirkan sejarah berikutnya, dan akan terus bergulir hingga dipenghujung masanya nanti, sampai batasan yang tidak ada seorangpun yang tahu. Saat ini, tibalah giliran generasi kita berlomba untuk berperan dalam memberi perubahan. Hingga pada saatnya nanti sejarah dengan sendirinya mencatat nama generasi anak Negeri ini sebagai bagian dari barisan para pembaharu dan menebar perbaikan peradaban Dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1995.

Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat, Yogyakarta: Paradigma, 2005.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI Press, 1979.

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pres, 2001.

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.



Lampiran



Lampiran

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hlm. 887.

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI Press, 1979, hlm. 56-89.

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1995, hlm. 15.

Ibid., hlm. 16.

Dalam bukunya “Muhammad Hayya Al-Sindi and Muhammad ibn ‘Abd Al-Wahhab: an Analisis of an Intelectual Group in The Eighteenth Century Madina”, BSOAS, 38 (1975).

New York: oxford University Press, 1987.

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pres, 2001, hlm. 319.

Tujuan penelitian sejarah adalah membuat rekonstruksi mada lampau secara sistematis dan obyektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta mensitemstisasikan bukti-bukti data untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan. Lihat di Abuddin Nata, Metodologi…, hlm. 126.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun