Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Tiga Idiot Menggugat Dunia Pendidikan

3 Juni 2011   06:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:55 2085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_113989" align="aligncenter" width="640" caption="Tiga idiot film yang menggugat dunia pendidikan (sumber:oneindia.in)"][/caption]

Oleh JEMIE SIMATUPANG TIGA MUSKETIR —Athos, Porthos, dan Aramis—mendobrak kekuasaan lalim penguasa Prancis. Sedang Tiga Idiot mengkritik dunia pendidikan yang ada di India—bahkan bisa saja di mana pun berada. Ya, dua-duanya adalah film—yang pertama disebutkan diangkat dari roman klasik karya Alexander Dumas yang terkenal itu. Tapi dalam kesempatan ini, saya bercerita tentang film yang kedua: Tiga Idiot. Sejatinya—berdasarkan penelusuran saya di dunia maya—Tiga Idiot adalah film lawas, rilis pertama kali tahun 2009. Tapi saya sendiri baru bisa nonton film ini kemarin (03/06/2011) di sebuah stasiun televisi swasta nasional, sembari mengisi hari libur sambil leyeh-leyeh di depan TV 14 inchi. (Jadi maaf kalau postingan ini agak basi, karena seharusnya keluar satu-dua tahun yang lalu). Bukan apa-apa, karena nonton bioskop masih gaya mewah bagi saya (juga nonton melalui VCD atau DVD)—belum lagi terjangkau. Doakan saja, mungkin nanti, hahaha… LARI DARI TOPIK: seorang kawan menolak nonton di bioskop karena alasan ideologis. Bioskop menurutnya adalah perangkap yang dibuat kapitalis …dst…dst…yang saya lupa dan saya sendiri kadang bingung apa maksudnya. Kaji saya tak sampai disitu, karenanya kalau ada yang ngajak saya nonton—maksudnya: gratis—langsung saya “he eh!” Film ini mengisahkan tentang tiga orang sahabat Rancho (Aamir Khan), Farhan (R. Madhavan), dan Raju (Sharman Joshi) yang sedang menimba ilmu—sebenarnya saya kurang sreg dengan kata menimba—di fakultas tekhnik mesin, di sebuah universitas terkemuka di India. Rektor di unversitas ini, Viru Sahastrebuddhe, diplesetkan oleh Rancho dkk sebagai ViruS adalah seseorang yang berpikiran kolot.(bahkan mungkin dialah idiot sebenarnya, sehingga judulnya menjadi: Satu Idiot). Baginya mahasiswa yang pintar adalah yang memiliki nilai yang baik—hasil hapalan dari buku-buku pelajaran yang ada. Dan menurutnya juga agar mendapatkan pekerjaan yang baik haruslah lulus dari perguruan tinggi dengan nilai yang baik pula—selain itu, tak ada lapangan pekerjaan terbuka baginya. Rancho yang jenius, tapi oleh rektor dan sesama teman dikatakan idiot, tak menerima ini. Baginya pemahaman seseorang lebih penting daripada hapalan. Dan pelajaran-pelajaran haruslah dimulai dari apa yang dekat dengan mahasiswa, bukan dari teori-teori yang ada di buku-buku. Satu kali misalnya ketika seorang dosen meminta ia menjelaskan tentang defenisi mesin, Rancho menjawabnya dengan pengertian sederhana—kira-kira. “Mesin adalah alat yang membantu manusia. Ketika manusia kepanasan menekan tombol AC itu mesin. Begitu juga resleting ini—itu mesin,” kata Rancho sambil mendemonstrasikan menurunkan-menaikkan kancing resleting celananya. Tapi Sang Dosen tak menerima. Seorang mahasiswa penghapal lalu mendefenisikan mesin menurut buku teori, “mesin adalah alat mekanik atau elektrik yang mengirim atau mengubah energi bla..bla..bla…” Dosen lalu memuji mahasiswa itu. Rancho lalu bilang, “Saya juga mengatakan itu, tapi dalam bahasa yang berbeda—yang lebih sederhana!” “Kalau mau ikut kelas saya, maka pengertian mesin adalah ini,” ujar dosen tersebut. Lalu karena masih didebat, Rancho akhirnya diusir dari kelas. Ya, saya kira persoalan ini tak hanya terjadi di India. Di negeri kita, persoalan dosen atau pun guru anti kritik sering terjadi. Terlebih dosen-dosen (biasanya disambungkan dengan kata “tua”) yang tak mau belajar lagi dan selalu membaca dan mengulang-ulang teks-teks tua—yang dulu juga dipelajari dari dosennya, dari dosennya, dan dari dosennya lagi. Apalagi, dosen model ini merasa dirinya paling tahu, dan mahasiswa tidak tahu apa-apa. Sebagai kritik Paulo Freire, dosen jenis ini adalah laksana penabung yang mengisi koin-koin pada sebuah celengan. Apalah kuasa celengan terhadap penabung kecuali menerima? Cleng…cleng…cleng…. Pendekatan dosen-dosen di universitas—yang mengutamakan nilai dan mengabaikan fakta-fakta selain itu—juga membuat mahasiswa stress. Beberapa kali misalnya terjadi kasus bunuh diri di kampus ini. Seorang mahasiswa menggantung dirinya setelah gagal ikut wisuda, ia tak kunjung kelar menyelesaikan tugas akhirnya. Sementara ia telah berjanji pada orang tuanya akan menyelesaikan pendidikannya, dan sesegera mungkin memberi undangan wisuda. Demi tahu rektor tak memberi tengat waktu lagi menyelesaikan tugasnya, ia bunuh diri karena malu—dan putus asa. Bahkan Raju, salah seorang dari tiga idiot, yang berasal dari keluarga miskin itu, sempat melakukan percobaan bunuh diri. Rektor mengancam mengeluarkannya dari unversitas akibat kenakalannya yang dilakukannya—mabuk-mabukan dan masuk ke rumah rektor tanpa izin. Ia melompat dari gedung kampus. Koma. Untungkan akibat support dari kawan-kawannya, ia sadar dan dapat melanjutkan hidup—juga kuliahnya. Kasus bunuh diri bukanlah hal baru di dunia pendidikan. Penyebabnya bisa bermacam-macam.  Karena kekerasan yang dilakukan oleh senior (bullying) sehingga anak tertekan ataupun karena guru-guru yang tidak “ramah”. Di negeri ini kita pernah mendengar seorang anak bunuh diri karena ia tak bisa membeli buku teori yang dianjurkan guru. Lain kali karena tak punya seragam, dlsb. Film ini juga mengkritik orang tua. Farhan sejatinya tak tertarik dengan mesin. Ia tak mau jadi insiyur. Hobby dan keahliannya ada dibidang fotography. Tapi orang tuanya memaksakan untuk menjadi seorang ahli mesin, agar bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan bisa mengangkat status sosial keluarganya. Barangkali orang Farhan tak baca (dan tak paham) Gibran yang bilang, “Anakmu bukanlah milikmu, mereka adalah putra putri sang Hidup, yang rindu akan dirinya sendiri.  Mereka lahir lewat engkau, tetapi bukan dari engkau, mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu. Berikanlah mereka kasih sayangmu, namun jangan sodorkan pemikiranmu, sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri…” Akibatnya Farhan menjadi idiot (di bidang mesin) di universitas itu. Nilainya selalu jeblok. Rancho mengetahui hal ini lalu memberi saran kepada Farhan agar menuruti kata nuraninya. Tapi Farhan tak berani melawan orang tua. Akhirnya satu kali Rancho mengirimkan surat lamaran pekerjaan—berikut foto-foto—yang selama ini disimpan Farhan di dalam tas kepada sebuah majalah. Tak disangka, pihak majalah tertarik dengan foto-foto karya Farhan dan memanggil Farhan untuk bergabung di perusahaan mereka. Antara senang dan ragu, akhirnya Farhan menerima tawaran perusahaan itu, dan akhirnya ia menjadi fotografer yang sukses. Rancho sendiri menjadi seorang ahli mesin—juga konon filsuf—muda. Namanya terkenal kemana-mana. Namun orang tak mengenalnya sebagai Rancho, karena Rancho sendiri adalah nama anak majikannya. Sedari sekolah dasar, karena kepintarannya ia ditugasi oleh Rancho untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Akhirnya, ia juga bertanggungjawab menyelesaikan semua jenjang pendidikan Rancho. Akibatnya, setelah lulus ia menyerahkan ijazahnya kepada Rancho yang sejati. Ia sendiri bernama Phunsukh Chotte bangdu. Sebenarnya ini juga kritikan, bahwa memperoleh ijazah bukan tujuan dalam menjalani pendidikan. Seorang bisa saja membuang ijazahnya ketika wisuda, dan orang sukses tetap sukses. Rose tetaplah rose walau berganti nama menjadi melati. Dan “Rancho” membuktikan bahwa tanpa ijazah pun ia bisa berhasil memperoleh—bahkan menciptakan pekerjaan. *** KESENANGAN saya nonton film India pasang-surut. Pernah pasang ketika tahun-tahun 1990-an awal, ketika TV dibanjiri film India, tapi lama-lama bosan juga, karena akhirnya tahu tema satu film dengan yang lain sama saja: cinta dan balas dendam. Tak ada yang lain. Setelah sekian tahun absen nonton India (tentu saja di TV) ini adalah film kedua yang saya tonton lagi, sebelumnya: Slumdog Millionaire. Saya tertarik dengan keduanya tentu karena tema dan cerita yang berbeda dari film-film India lain—walau film India tak bisa dipisahkan dari tari dan lagu, demikian halnya dengan kedua film itu. Tak heran kalau isteri saya mengkritik, “Mimpi apa nonton india?” Film ini bergenre komedi. Melihatnya kita seperti menertawakan dunia pendidikan (baca: sekolah ataupun kampus)—yang hampir dari semua kita pernah memasukinya. Semoga kita bisa belajar, acha…acha…acha… [*] JEMIE SIMATUPANG kompasianer.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun