Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

(Tak) Ada Ular di Pajak Ular Medan

1 Juni 2011   05:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:59 1868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_111437" align="alignleft" width="375" caption="Suasana di pajak ular, terlihat Khairul Hamzah (32) dan barang dagangannya di Pajak Ular (dok.pribadi)"][/caption] Oleh JEMIE SIMATUPANG NAMANYA PAJAK ULAR. Jangan bayangkan itu adalah bea atau iuran yang harus dibayarkan oleh seseorang kepada negara karena memelihara seekor ular. Tidak.  Di Medan pajak adalah pasar—tempat bertemunya penjual dan pembeli. Dan salah juga kalau pajak ular adalah tempat orang berjual-beli segala jenis ular, tak ada seekor ular pun di pajak ular—kecuali ular lain yang akan saya sebutkan nanti. Pajak yang terdapat di Jalan Sutomo (sambu) ini menjual segala macam barang loak—barang bekas dan bisa jadi tak berfungsi lagi. Dari peniti, kancing baju, sampai sepeda ada di sana. Harga barang itu pun bermacam-macam; dari ribuan rupiah hingga jutaan rupiah. Para pedagang mulai menggelar lapak jualan sekitar pukul 13.00 WIB. Mereka umumnya membentangkan terpal berwarna biru di trotoar jalan lalu mengatur segala jenis jualan di atasnya. Berdasarkan pengamatan, setidaknya lebih 50 orang menggelar lapak dagangan di lokasi ini. Orang-orang biasanya ramai berdatangan di pajak ini mulai pukul 15.00 WIB sampai dengan 18.00 WIB atau jam-jam dimana orang pulang kerja. Khairul Hamzah (32) salah seorang pedagang yang telah 6 bulan berjualan di sana , mengaku bisa menjual 10 sampai dengan 20 jenis barang tiap harinya. Ia sendiri menjual kancing baju, gerendel pintu, setrika baju, sepatu, alat-alat listrik, dlsb—dan tentunya semuanya loak. “Yah, paling tidak bisa lepas-lepas makan,” katanya ketika ditanya soal penghasilan. Khairul mendapatkan barang-barang dagangannya dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mendatangi toke-toke barang bekas (botot) lalu memilih dan membeli barang-barang yang kira-kira bisa diperbaiki lagi, untuk dijual kembali di pajak ular. “Setrikaan, alat-alat listrik, kipas angin biasanya saya dapat dari sana—toke botot!” ujarnya. Tapi terkadang barang-barang itu juga didapat dari orang-orang yang datang ke sana untuk menjual barang-barangnya. Benar saja. Tak berapa berselang seeorang perempuan tengah baya datang menawarkan bungkusan berisi beberapa buah charger HP. Tapi karena Khairul tak menginginkan barang itu, transaksi pun tak terjadi. “Ya, tiap hari ada saja barang loak yang dibawanya,” ujar Khairul. Selain barang-barang kebutuhan sehari-hari di pajak ular juga banyak dijual barang-barang kuno dan antik. Kamera analog, mesin tik, kaset-kaset lama, radio lama, dlsb. Ada juga barang antik semisal terompet yang dipercaya konon berasal dari dinasti tertentu di Cina sana, mangkok yang dipercaya bisa menawarkan racun, dlsb. Orang-orang yang datang ke pajak ini juga bermacam tujuannya. Selain memang ada yang ingin membeli sesuatu tetapi ada juga yang sekedar cuci mata sambil bernostalgia dengan barang-barang yang pernah ada pada masa lalunya. Jenis orang ini biasanya suka tersenyum-senyum sendiri ketika melihat radio model lama, kaset-kaset jaman dulu, atau sepeda angkatan kakeknya. Tetapi ada juga yang datang sebagai kolektor, seorang pria paruh baya misalnya sibuk mencoba-coba kamera analog yang sebenarnya tak bisa digunakan lagi. “Tiap kemari dia memang selalu mencari kamera, kalau sudah kepincut, jutaan rupiah pun mau dibayarnya,” ujar Khairul Hamzah. Kehadiran pajak ular di Medan tentu membawa ciri khas tersendiri. Sayang pemerintah kota Medan tak mendukung kehadiran pasar ini, bukan memfasilitasi bagaimana pasar ini bisa bertahan dengan penataan lebih bagus hingga bisa jadi objek wisata—atau apapun namanya—malah beberapa kali mengirim Satpol PP untuk menggusur lapak dagangan dengan alasan mengganggu keindahan kota. “Kawat berduri dan gorong-gorong ini sengaja mereka (Satpol PP) letakkan di sini, agar kami tak bisa berjualan,” keluh Khairul Hamzah. *** Dua-tiga hal yang harus diperhatikan belanja di pasar ular, pertama, harus pandai-pandai memilih dan menawar barang. Jangan sampai kena “ular” (diakal-akalin) walau pun disini tak ada seekor ular pun. Banyak barang disini yang sejatinya tak bisa dipakai lagi, tapi karena jurus “ular” pedagangnya dikatakan masih bagus—dengan sangat meyakinkan. Begitu juga dengan harganya, jangan tertipu dengan kata-kata, “Akh, tadi sudah ditawar orang Rp.150 ribu tak saya lepas, kok Anda cuma nawar Rp.75 ribu”. Lebih baik tinggalkan saja, kalau memang harganya pas, pedagang itu pasti memanggil Anda kembali. Kedua, bagi Anda  yang datang dengan kereta (sepeda motor) berhati-hati parkir di pajak ular. Beberapa kali konon—karena tidak ada petugas parkir—kereta pengunjung hilang. Terakhir: hati-hatilah dengan dompet Anda. Jangan sampai berpindah tangan. Akh, namanya saja pajak ular; apa pun ada, apa pun bisa pula terjadi! Saya sudah mengingatkan! [*] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun