Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Seorang Prita Vs Hakim Serigala

13 Juli 2011   12:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:42 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_119141" align="aligncenter" width="624" caption="Hukum mestinya membuat orang bahagia, bukan sebaliknya! (sumber:vivanews.com)"][/caption]

Hukum adalah untuk rakyat, bukan sebaliknya! Bila rakyat adalah untuk hukum, apa pun yang dipikirkan dan dirasakan rakyat akan ditepis karena yang dibaca adalah kata-kata Undang-undang (UU). Pekerjaan hakim menjadi lebih kompleks. Seorang hakim bukan hanya tekhnisi UU, tetapi juga makhluk sosial. Pekerjaan hakim sungguh mulia karena ia bukan hanya memeras otak, tetapi juga nuraninya.

Satjipto Rahardjo

Mbak,

UNTUK APA HUKUM DIBUAT? Teoritisi dan praktisi hukum pasti bisa menjelaskannya dengan kalimat yang sarat dengan untaian kata yang canggih-cangih dan berlemak-lemak. Layaknya Tempo—enak dibaca dan perlu. Tapi secara sederhana saya menjawab: agar manusia menjadi (lebih) bahagia. Senang. Bisa tertawa-tawa. Untuk apa juga ada hukum tapi membuat orang-orang menjadi sedih?

Tapi di negeri ini lain ceritanya. Hukum dibuat malah membuat orang (maksud saya rakyat kecil) menjadi (lebih) susah. Lebih sengsara (udahlah memang hidup sudah susah). Buat tak enak makan (apalagi memang jarang sekali ada yang bisa dimakan). Juga buat air mata menetes (tak peduli air mata sudah tumpah semua). Sudah banyak cerita tentang orang kecil yang harus meneteskan air mata di depan dewi keadilan di negeri ini—tapi Sang Dewi memang selalu menutup matanya.

Ada Sengon-Karta yang dihukum atas kejahatan yang tak dilakukannya, ada Nek Minah yang dimejahijaukan hanya gara-gara mencuri 3 buah kakao, ada Amirah yang baru-baru ini dituntut5 tahun penjara gara-gara mencuri kain sarung majikannya seharga Rp.3000,- dengan alasan untuk makan, dan sekarang—yang hendak saya bahas dalam surat untuk Anda ini—ada Prita, yang akhirnya divonis MA bersalah atas tuduhan pencemaran nama baik RS. Omni Internasional.

Mbak,

Prita, sebagai kita tahu, sempat ditahan di penjara gara-gara menulis e-mail kepada seorang kawan yang isinya keluhannya terhadap RS. Omni Internasional. Menurutnya, ketika ia berobat di RS itu, ia tak dilayani secara baik. Tapi rupanya e-mail itu menyebar kemana-mana. Dan akhirnya sampai juga ke pihak RS. Mereka berang, lalu melaporkan Prita ke Polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Secara perdata, Prita juga dituntut kerugian sebesar Rp.204 juta.

Prita ditahan. Tapi rakyat tak terima. Berbagai gerakan perlawanan—secara damai—dilakukan. Bahkan sempat ada gerakan koin peduli prita, yang rencananya akan diserahkan kepada RS. Omni sebagai ganti kerugian. Mendapat perlawanan sosial begini, pihak kepolisian menangguhkan penahanan Prita. Dan akhirnya pun pengadilan (baik pidana maupun perdata) memenangkan Prita, ia tak terbukti bersalah melakukan pencemaran nama baik. (lah iya, wong cuma nulis email curhat yang isinya mengeluhkan layanan publik kok dituduh mencemarkan nama baik!)

Bebaskah Prita? Belum! Jaksa mengajukan kasasi. Hakim Agung yang menangani kasus ini membatalkan putusan PN dan memvonis Prita 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun penjara.

Mbak,

Yah, bisa jadi memang hakim agung dalam hal ini sudah benar menerapkan hukum berdasarkan pasal per pasal apa yang tertera di KUHP ataupun di UU ITE, sehingga Prita divonis bersalah. Hakimnya memang ternyata lulusan luar negeri dan mungkin bertitel doktor sehingga hafal mati dan mumfuni menafsirkan pasal-pasal yang ada di dalam undang-udang. Tapi adilkah ini. Membuat bahagiakah putusan ini?

Saya rasa pertanyaannya harus kita kembalikan ke sana, kalau kita setuju hukum bertujuan membahagian rakyat—manusia. Saya sendiri merasa tidak bahagia dengan putusan itu, dan bisa jadi juga rakyat banyak lain. Prita juga jelas tidak. Omni mungkin bahagia, juga hakim yang memutus dan jaksa yang melakukan kasasi. Tapi rakyat? Sejak awal rakyat tidak bahagia! Ada ketidakadilan ketika Prita harus ditahan dan divonis besalah hanya gara-gara email yang ditulisnya beberapa tahun lalu itu.

Terlebih lagi kalau kita membandingkan dengan kasus-kasus lain yang ada di negeri ini. Bagaimana koruptor bebas berkeliaran. Bahkan ketika sudah diproses di persidangan dapat divonis bebas. Bagaimana Nazaruddin sampai sekarang bisa melenggang-kangkung di negeri orang tanpa tersentuh tangan hukum sedikit pun. Begitu juga Nunung (atau Nunun ya?) Yah, saya pikir kita sepakat hukum tidaklah untuk membahagiakan orang-orang besar seperti mereka saja.

Mbak,

Saya teringat (Alm) Satjipto Rahardjo, dosen hukum, yang terkenal dengan gagasan hukum progresifnya itu. Satu kali Pak Tjip, begitu ia akrab disapa, menulis: hukum adalah untuk rakyat, bukan sebaliknya! Karena menurutnya, bila rakyat adalah untuk hukum, apa pun yang dipikirkan dan dirasakan rakyat akan ditepis karena yang dibaca adalah kata-kata Undang-undang (UU). Dan karena itu menurutnya lagi, pekerjaan hakim menjadi lebih kompleks. Seorang hakim bukan hanya tekhnisi UU, tetapi juga makhluk sosial. Pekerjaan hakim sungguh mulia karena ia bukan hanya memeras otak, tetapi juga nuraninya. (Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas: 2007)

Yah, mungkin hakim agung yang memutus Prita bersalah bukanlah homo socius sebagai dirumuskan Pak Tjip. Bukan makhluk sosial. Bisa jadi seekor manusia serigala—sebagai digambarkan Thomas Hobbes dalam Leviathan. Pasalnya, ketika memvonis Prita bersalah, ia tak melihat kondisi sosial masyarakat terhadap kasus ini, bagaimana rakyat terusik rasa keadilannya sampai melakukan perlawanan. Ia tak menggunakan hati nuraninya—yah, bagaimana juga seekor manusia serigala punya hati nurani?

Homo homini lupus, kata Hobbes. Dan hakim ini pun “memangsa” Prita. Ia jatuhkan hukuman kepadanya tanpa pikir panjang: 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun. Nauzubillah!

Mbak,

Jaga terus hati nurani, jangan sampai kita menjadi seekor serigala!

Medan, 13 Juli 2011

Salaman,

js

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun