[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Bismar Siregar 1928-2012 (sumber:thejakartapost.com)"][/caption] HUKUM INDONESIA punya legenda hidup, kata seorang kawan saya yang pengacara—dan sekarang lebih senang disebut sebagai: advokat. Dan legenda itu adalah seorang hakim bernama Bismar Siregar. Alkisah, cerita kawan saya itu, Bismar yang waktu itu menjabat hakim di Pengadilan Negeri(?) Medan, satu kali memutuskan perkara perkosaan. Hal mana diatur dalam pasal 285 KUHP. Siapa korban dan pelaku tak disebutkan oleh kawan saya itu—yang kalau kita baca di koran paling disebutkan—dengan salah kaprah—sebagai: bunga. Pidana diputuskan, pemerkosa terbukti bersalah. Tapi tak sampai disitu. Bismar juga membebankan ganti-rugi secara perdata kepada pelaku. Ini tak lazim sebelumnya. Dasar yang dipakai oleh Bismar adalah menyamakan—tepat lagi: menganalogikan—vagina perempuan sebagai benda milik perempuan. Jadi, sesiapa yang merusak benda seseorang, maka ia bisa digugat untuk membayar ganti rugi atas kerusakan yang dilakukannya. Hukum Kritis Bismar adalah contoh hakim yang sangat tahu apa tugas dan fungsinya sebagai hakim: membuat keadilan. Begitu lanjut kawan saya itu. Dan Bismar sangat yakin bahwa keadilan itu tidaklah didapat di lembar-lembar kitab undang-undang. Keadilan itu hidup di masyarakat. Begitu juga ketika Bismar memutuskan ganti rugi bagi korban perkosaan. Memang akhirnya Mahkamah Agung (MA) membatalkan keputusan Bismar. Ia dinilai telah melakukan kekeliruan dalam memutuskan perkara. Bahwa dalam azas legalitas, tak ada suatu hukuman sebelum ada aturan yang mengaturnya. Nullum delictum nula poena, siena pravea lege ponale. Karenanya azas ini mengharamkan analogi sebagaimana yang dilakukan Bismar Siregar. Tapi begitu, Hakim memang tak bisa diam berpangku tangan mengamini diktum azas legalitas ini. Hakim memang diamanahkan untuk mencari keadilan—yang seadil-adilnya, bahkan ketika itu tak tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Demikian kata kawan saya bersemangat! Selamat jalan ... Kemarin, 19 April 2012, terdengar kabar kalau Bismar Siregar meninggal dunia.  Setelah melawan penyakit yang bersarang dalam tubuhnya, akhirnya ia pulang dengan damai (amin!) menghadap Sang Khalik. Dalam beberapa catatan, Bismar dilahirkan di Sipirok, Sumatera Utara, 15 September 1928 dari seorang anak petani miskin. Namun berkat kegigihannya, ia berhasil menamatkan pendidikan hukum, dan akhirnya menjadi seorang hakim—bahkan Hakim Agung. Dunia hukum pastilah sangat kehilangan. Kehilangan teladan dan inspirasi hidup. Terlebih di tengah karut-marutnya dunia hukum saat ini. Terlebih ketika banyaknya (oknum ya?) hakim yang menerima suap, membelokan hukum, dlsb. Juga ketika hakim merasa sangat miskin sehingga minta kenaikan gaji kepada Negara. Selamat jalan, Pak Bismar! [*] JEMIE SIMATUPANG, kompasianer asal(-asalan) Medan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H