Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Saya, Cok Kompas, dan Kompasiana (Baru)

21 Januari 2011   07:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:19 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignleft" width="323" caption="Tak usah dibahas itu lagi. Malu kita. Tapi soal terpopuler dan teraktif di hapus, cemana manurut kau? -- repro: Agus Suwage (sumber:spesies.files.wordpress.com)"][/caption]

Yang bombastis, yang ada seks-seksnya sedikit, Lae. Misalnya: Cok Kompas Ngeseks di Kompasiana Baru ...

Oleh JEMIE SIMATUPANG COK KOMPAS (DAN KAWAN-KAWAN)—kedan atawa sahabat imajiner saya itu—pertama kali saya kenalkan ke warga kompasiana 6 Januari 2011 dalam postingan berjudul: “Cok Kompas dan Mat Tanduk di Negeri Para Mafia”. Waktu itu saya mengenalkan Cok Kompas sebagai seorang blogger yang ngeblog di kompasiana—kompasianer juga seperti kita, sedangkan Mat Tanduk adalah sehabat karib Cok Kompas yang juga ngeblog di kompasiana. Bedanya, Cok Kompas aktif-tak aktif di kompasiana, kalau Mat Tanduk tak aktif-aktif ngeblognya (ini diterangkan pada postingan berikutnya). Satu kali, ketika saya tanya ke Cok Kompas soal namanya kok mirip-mirip dengan Kompas(iana),  dia cuma nyengir saja. Lalu tercenung sebentar—kayaknya pikirannya terbang entah kemana. Habis itu dia bilang kalau itu—soal namanya itu—peninggalan sejarah masa lalu. Dulu, katanya, dia dan gengnya: Mat Tanduk, Jack Palak, dan Din Kijang adalah tukang kompas, tanduk, palak, dan kijang. Mereka masih SD waktu itu. Jadi biar ada wang, maklum mereka datang dari ekonomi bawah ke bawah, biasanya mereka meminta dengan setengah memaksa pada kawan-kawan lain yang punya banyak uang lalu dibuat jajan beramai-ramai. Nakal mereka—bahkan jahat. Jadi nama itu diberi kawan-kawannya karena aktfitas mereka itu, kalau namanya aslinya sih bagus-bagus semua, nama malayu kearab-araban (Mat Tanduk saja misalnya, nama aslinya: Ahmad Kadir. Keren, kan?) Alimlah pokoknya. Itu cerita dulu, kini mereka sudah tobat semua, sesuai dengan khitoh namanya masih-masing yang memang alim itu dan semuanya sudah jadi orang, selain kayaknya Cok Kompas, yang tak jelas nasibnya. “Jadi tak ada hubungannya dengan kompas(iana), Lae! Tapi kan Anda sendiri yang mengambil keuntungan dari situ, menjadikan saya tokoh Anda karena nama saya yang memang mirip-mirip dengan kompas(iana). Ya kan. Ngaku sajalah!” “Sssttt..., urusan dalam negeri jangan dibongkar di sini. Pantang. Apalagi Anda ini cuma kawan imajiner saya, suka-suka saya, dong!” kata saya mulai tak demokratis—membungkam mulut Cok Kompas. Penampilan Cok Kompas pertama kali itu mendapat sambutan baik juga walau tak pala meriah dari warga kompasiana. Wajar. Kan pendatang baru, warga baru, apalagi dia bukan Afgan yang suaranya merdu dan konon bikin—maaf saya tak nyaman sebenarnya menuliskannya—cewek klepek-klepek itu, apalagi Justin Bieber (benar nulisnya ini?) yang kesohor di penjuru bumi atau malah Gayus Tambunan yang setahun ini mendadak populer itu—kan tak ada TV tanpa Gayus. Ya, memang tak sehebat mereka, tapi pada penampilan berikutnya pernah juga headline, sebuah kebanggaan tersendiri bagi Cok Kompas, juga saya sendiri, Jemie Simatupang—hahaha, ini penulisan gaya (bahasa) kehukum-hukuman, padahal agar namanya bisa tampil juga di sini—yang dipercaya Cok Kompas and Co (mereka menamakannya gangnya sejak SD dulu begitu) untuk menyebarkan gagasan-gagasannya yang lebih banyak ngawur daripada benarnya itu di kompasiana. Satu kali, ketika penampilan kompasiana berubah, saya sempat juga mendiskusikannya dengan Cok Kompas, kawan saya itu. “Bung, menurutmu bagus mana kompasiana sekarang atau tampilannya yang dulu!” “Suka awak yang sekarang. Lebih canggih nampaknya. Kecuali warna orange dan kuning di headnya itu, kok bikin mata saya agak-agak silau ya. Tak bisa memandang lama-lama. Tak ramah mata macamnya” “Itu kan cuma masalah geleng. Masalah kecil. Tak ada sepersejutanya dengan soal Gayuslah itu, tak usah awak besar-besarkan. Apalagi jangan-jangan cuma Bung saja yang tak suka warna itu, karena Anda punya kelainan pada mata—udah jadi ke dokter belum? Yang lain, kompasianer lain, tenang-tenang saja, tuh. Ya tak? Tapi secara keseluruhan memang paten kan?” “Ya lah. Apalagi headlinenya, HL-nya, yang besar tapi kadang bikin gambar yang tak pas melebar tak proporsional. Tapi yang paling mantap tambah satu ruang lagi pulak itu—bukan 4 lagi tapi 5 headline sekarang. Artinya kesempatan kita, kompasianer untuk headline jadi lebih besar. Benar tidak?” “Kau ini mikir HL saja, kan pokoknya tulis saja. Tulis semaksimal yang kita bisa, habis itu urusan admin dan sesama kita—bagaimana menilainya,” “Iya juga. Tapi HL itu ...” “Tak usah dibahas itu lagi. Malu kita. Tapi soal terpopuler dan teraktif di hapus, cemana manurut kau?” “Awak sih nilainya positif, biar awak-awak ini tak lagi sekedar berebut terpopuler dan ter-ter lain lagi itu. Apalagi dengan strategi judul yang bombastis, dan isinya kadang tak kalah bombastis juga, tapi kok ya kita merasa tak mendapat apa-apa! Jadi mantaplah sekarang” “Iya juga, ya. Apalagi diganti jadi terekomendasi. Jadi tak ragu mengkliknya, kan memang sudah direkomendasi untuk dibaca. Yang mestinya bermanfaat. Tapi eits..., awak ini kan sering juga mau ngejar terpopuler pakai strategi judul bombastis itu? Hmm, kau ini mestinya unjuk hidung sendiri, tho!” “Sssttt..., ini urusan dalam negeri awak. Jangan bongkar di ruang publiklah,” sekarang Cok Kompas yang membungkam saya. Panjang lebarlah Cok Kompas dan saya bicarakan Kompasiana baru. Secara keseluruhannya kayaknya banyak kemajuan. Admin juga nampaknya sudah aktif, selalu (paling tidak lebih sering) hadir, tidak seperti akhir-akhir tahu lalu, yang sering absen, bisa dilihat misalnya ketika banyak tulisan yang melanggar ketentuan—kecilnya saja: tulisan dengan judul huruf besar masuk zona highlighst, bebas tanpa edit, yang kalau admin ada dan bekerja bakalan tak kejadian.  Begitu juga komentar-komentar yang seringkali menghujat pribadi penulis pun orang lain bebas bergentayangan. “Oke, cukuplah itu. Sekarang apa kita bikin judul artikel kita kali ini?” tanya saya. “Yang keren sikitlah, yang bikin orang tertarik membacanya, biar udah tak ada yang terpopuler lagi, setidaknya diklik banyak orang kan senang juga hati. Apalagi ini kan tak layak jadi...” “Bah, itu ajalah yang kau pikirkan. Tak setuju awak. Judul yang konvensional ajalah. Hitung-hitung ini proses pembalajaran, cemana bikin judul yang benar, walaupun isinya tak pala benar-benar kali!” “Yang bombastis, yang ada seks-seksnya sedikit, Lae. Misalnya: Cok Kompas Ngeseks di Kompasiana Baru—macam judul yang pernah awak buat dulu. Kan menarik itu. Paling tidak, walau tulisannya tak nyambung dengan isi, tapi udah diklik orang dulu!” “Yang standar saja!” “bombastis!” “Standar!” “Akh, suka hatimulah, Lae. Mana bisa berdemokrasi sama kau. Awak ini kan cuma kawak imajinermu. Apapun awak bilang mana ada yang kau pertimbangkan. Awak ini apalah!” Bah, Cok Kompas merajuk! [] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan, dipercaya Cok Kompas and Co. untuk menyebarkan gagasan-gagasan kelirunya di kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun