Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saya Bukan Nunun, Tapi Saya Juga Pelupa

10 Juni 2011   12:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:39 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_113164" align="aligncenter" width="576" caption="saya bukan nunun--bukan juga soeharto--tapi saya juga pelupa (sumber:artnet.com)"][/caption]

Hancurkan buku-buku, kebudayaan dan sejarahnya. Lalu perintahkan seseorang—kalau perlu beberapa orang—untuk menuliskan buku-buku baru, membangun kebudayaan baru dan menyusun sejarah baru. Tak lama, masyarakat itu akan mulai lupa pada masa kini dan masa lampaunya

Oleh JEMIE SIMATUPANG

SEDAP JADI koruptor di negeri ini. Cemana tidak. Biar enak gini sajalah: saya bayangkan saya seorang koruptor. Nah, kalau kejahatan saya terbongkar ke publik, saya tinggal pura-pura sakit (sakit benaran semakin bagus) dan bolehlah melenggang ke luar negeri. Ke Singapura. Thailand. Atau mau bertamasya-medis kemana?

Monggo! S i l a h k a n !”

Jangan lupa bikin keterangan dokter ahli tamatan luar negeri—kalau perlu yang profesor sekaligus—“Dengan hormat! Kami beritahukan bahwa Ny. Anu—tertulis nama saya—sedang mengalami sakit serius (benar-benar serius), dan oleh karenanya yang bersangkutan, Ny. Anu—lagi tertulis nama saya—penyakitnya amat-amat serius, maka harus dirawat di luar negeri. Kalau gak percaya, kata Bang Rhoma: t e r l a l u. Saya ini dokter tamatan luar negeri, lho!”

Kalau ada panggilan dari kejaksaan, pengacara saya yang kelas satu itu, yang jam terbangnya tinggi itu, dan sudah beberapa kali memenangkan perkara korupsi itu—apa marganya? ini bukan SARA lho, saya lupa saja—akan berkilah, “Wah, Ny. Anu—menyebutkan nama saya—memang sakit!” Begitu juga kalau KPK minta saya menghadap, pengacara saya—yang saya bayar mahal-mahal itu—juga yang akan maju ke depan.

“Maaf Bos, Bos saya lagi sakit!” katanya.

Jurus ini terbukti manjur, loh. Tokcer. Lah, sudah terbukti kok! Nunun yang terjerat kasus cek pelawat itu contohnya, sukses gilang-gemilang sampai sekarang belum tersentuh tangan hamba hukum manapun. Alasannya ya sakit. Juga Nazaruddin, dia sakit juga lho—konon di Singapura. Tapi ini, sadar tak sadar ya, tentu saya banyak belajar dari Pak Harto. Ya, tho!? Lah, kan dia juga sukses dengan jurus sakit dan selamat dari segala tuduhan kejahatan yang pernah dia lakukan. Dari yang korupsi sampai kejahatan kemanusiaan—sampai mati, Pak Harto tak tersentuh hukum.

“Pak Harto hebat, tho!”

Tapi saya memang bukan Pak Harto. Ya, orang lama-lama mesti sebel juga kalau tiap hari saya alasan sakit melalu. Sikit-sikit sakit. Sikit-sikit sakit. Sakit kok sikit-sikit!? Ya, kalau udah tak mempan lagi, mungkin bikin alasan lain—walau tak jauh-jauh dari sakit. Seperti: “Saya lupa!” Benar! “Saya lupa!” Orang lupa masak tak boleh, boleh ya, orang lupa kok! Saya lupa kalau pernah tinggal di Indonesia. Tinggal di Jakarta. Eh, Medan itu di mana? Tengoklah, saya benar-benar lupa tho. Lah, wong saya sendiri tak tahu saya ini warga negara apa. Apa tak punya kewarganegaraan, ya? Saya lupa punya suami—masak sih kata orang saya mantan isteri pejabat teras depan di negeri kita: polisi atau apa gitu. Saya lupa punya anak. Saya lupa punya negeri. Dan saya lupa apakah memang saya yang melakukan kejahatan yang Anda tuduhkan itu. Benar. Saya benar-benar lupa.

Nah, biar lupa kita makin komplit, saya perintahkan—kalau ini saya jangan sampai lupa—dokter yang udah dibayar mahal-mahal itu tadi bikin apa itu penyakit yang bisa bikin orang lupa segalanya. Kalau belum ada bikin saja, dokter kan jago tho bikin penyakit—saya yakin itu. Entah itu schizofrenia, entah vertigo, atau apasajalah. Yang penting buat seilmiah mungkin. Yang scientific pokoknya.

“Bisa, tho!”

“Gampang diatur!”

Juga sama pengacara saya—yang tiap hari muncul di TV itu, sudah nyambi jadi selebriti, tho!?—suruh dia berkoar-koar kalau saya bukan Nunun, tapi saya juga pelupa. Boleh dong ikut Nunun, mengidap penyakit lupa juga. Masak sih bilang, “Lah, kan orang lupa tak bisa dihadapkan ke sidang!?” gak bisa.Kalau perlu bilang, “Lah, kan klayen saya itu mengidap schizofren, masak sih dituntut juga!”

Lalu ancam, “Apa mau ikut-ikutan gila juga menahan orang gila?”

Tambahkan, “Kasih dispensasi dong! SP3 kek, diampuni kek, atau apalah!”

Buatlah alasannya yang masuk akal benar. Kalau perlu bikin sampai orang-orang yang mendengarkannya juga ikut-ikutan lupa. Lupa kalau saya pernah ada. Lupa kalau saya sedang terjerat kasus. Masak sih tak bisa. Masak sih begitu saja harus saya ajarkan lagi. Koruptor-koruptor begini kadang saya baca buku, lho. Baca sejarah. Asyik kan—hahaha, namanya juga koruptor gaul!

Milan Hubl, sejarawan yang sejarawan itu, satu kali pernah bilang (kira-kira), “Langkah pertama untuk menaklukkan publik—menaklukkan masyarakat—dengan memusnahkan ingatannya. Hancurkan buku-buku, kebudayaan dan sejarahnya. Lalu perintahkan seseorang—kalau perlu beberapa orang—untuk menuliskan buku-buku baru, membangun kebudayaan baru dan menyusun sejarah baru. Tak lama, masyarakat itu akan mulai lupa pada masa kini dan masa lampaunya.

Saya tak tahu, apakah Pak Harto (tentu saja dalam konteks ini keluarga dan kroni-kroninya) pakai jurus ini. Bukunya sudah ada, dan sekarang orang sibuk membahas sisi humanis seorang Pak Harto. Sebelumnya lagi orang sudah mulai rindu Soeharto. Orang-orang macam berteriak: “Kembalikan kami ke jaman Pak Harto! Kembalikan! Saya rindu Soeharto!” Sedap. Hebat dia itu. Bagaimana mungkin orang yang awalnya dialamati berbagai macam kejahatan dan sekarang dipuja banyak orang layaknya pahlawan. O iya, lupa saya, beberapa kalangan memang sudah mencalonkannya jadi pahlawan.

“Selamat! Selamat! Selamat, Pak!”

Akan soal saya, cuma kecil. Tak lah seberat Pak Harto. Saya cuma ingin saya ini jadi lupa dan orang-orang juga ikutan lupa kalau saya pernah melakukan korupsi—pernah melakukan suap. Itu saja. Tak perlulah saya hancurkan segala dokumen-dokumen di kepolisian dan berita-berita media itu. Tak kuat saya. Saya juga gak bakalan repot-repot nulis buku tentang saya—tak perlu sejauh itu. Kasus saya cuma kecil. Yah, paling nanti kalau udah adem-adem sedikit saya pulang juga ke Indonesia. Saya dirikan Musholla di kampung-kampung Anda—mesjid juga (Anda mau berapa?). Jalan-jalan yang rusak saya sumbang uang bersih licin—licin seperti jalan-jalan di Singapura sini. Enak loh, kalau berkendaraan jalannya licin begitu. Mulus. Masak sih saya nanti mesti makai Mercy saya yang mahalnya naudubillah itu di jalan-jalan berlobang—yang macet pula? Jadi bangun jalan, sekalian saya juga bisa nikmat berkendaraan. Kata orang, sekali mendayung sampai dua tiga pulau terlampui.

“Mantap, tidak!?

Kan orang Indonesia itu pemaaf. Baik hati. Pemurah. Ramah. Jadi mestilah dengan jasa-jasa saya itu nanti (catat: udah dirikan musholla, mesjid, jalan-jalan, lapangan bola, mau apa lagi?) orang-orang memaafkan kejahatan saya. Masak sih ada yang kejam? Yang tega membakar saya hidup-hidup macam maling jemuran itu? Gak tho. Baik-baik semua tho masyarakat kita ini!?

Cemana saudara. Sekarang Anda tertarik tidak menjadi koruptor seperti saya. Sedap pokoknya korupsi di negeri ini. Tak pala kerja, uang melimpah. Kalau ketahuan, toh juga susah dijerat. Maknyus. Lah, pun kalau tertangkap juga jangan khawatir, wong saya kan baru membayang-bayangkan saja, kok! Masak sih orang membayang-bayangkan tak boleh. Dilarang. Tak apa juga ditangkap kalau diletakkan di penjara bayang-bayang.

Akh, makin ngawur. Stoplah! Saya mau pulang ke rumah dulu. Sophie—sulung saya yang udah dua tahun itu—kata Bundanya per-SMS kehabisan susu. Masak sih, si Sophie saya kasi susu bayangan. Silahkan Anda terus membayangkan kalau bersedia. Adieu!

JEMIE SIMATUPANG kompasianer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun