Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengenang Pak Tjip, Sang Profesor Hukum Progresif

5 Januari 2011   04:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:57 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignleft" width="355" caption="Hukum bagi manusia, bukan manusia untuk hukum--Satjipto Rahardjo (sumber: 1.bp.blogspot.com)"][/caption] DI PENGHUJUNG 2009 dan awal 2010 lalu negeri ini banyak kehilangan tokoh besar secara beruntun. Setelah kepulangan Gus Dur (Rabu, 30/12/2009), Frans Seda (Kamis, 31/12/2009), disusul Prof. Satjipto Rahardjo, (Jumat, 08/01/2010). Yang terakhir disebutkan adalah Guru Besar Universitas Diponegoro, Semarang, yang telah banyak menyumbangkan pemikirannya bagi perkembangan hukum di negeri ini. Satu per satu mereka meninggalkan kita. Satjipto Rahardjo lahir pada 15 Desember 1930 di Karanganyar, Banyumas, Jawa Tengah. Pendidikan sarjananya diselesaikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Jakarta pada tahun 1960, kemudian mengikuti visiting scholar di California University dalam bidang hukum dan masyarakat pada 1972. Setelah itu, ia menyelesaikan program doktoral di Universitas Diponegoro (Undip) pada tahun 1979. Hukum Progresif Semasa hidup Prof. Tjip, begitu ia akrab disapa, sering menuliskan gagasan-gagasannya untuk kemajuan hukum di Indonesia. Tulisan itu banyak tersebar di harian nasional—teristimewa Kompas. Tulisannya di harian terakhir disebutkan, telah juga dibukukan di bawah judul “Membedah Hukum Progresif (Kompas, 2007). Bagi Prof. Tjip hukum haruslah membuat manusia (rakyat) bahagia. Hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya. Manakala hukum, walaupun telah dijalankan sesuai prosedur, malah membuat rakyat kecewa maka pasti ada yang salah dengan hukum itu—dengan penegakannya. Prof. Tjip selalu mengingatkan penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan advokat) harus berani keluar dari alur tradisi penegakan hukum yang hanya didasarkan pada peraturan perundang-undangan semata. Sebab hukum bukanlah hanya ruang hampa yang steril dari konsep-konsep non-hukum. Ia harus dilihat pula dari perspektif sosial, perilaku yang senyatanya dan dapat diterima oleh dan bagi semua manusia yang ada di dalamnya. Selanjutnya, penegak hukum, menurut Prof. Tjip, haruslah mendengarkan hati nurani mereka. Bahkan dengan bahasa yang ekstrim ia menulis: ”(me)lupakan hukum dan (mem)pedulikan hati nurani” (catatan: tanda kurung dari penulis). Baginya, keadilan bisa tercipta kalau semua orang (terumata penegak hukum) bisa menggunakan hati nuraninya dalam menjalankan tugasnya. Nurani tak pernah berbohong. Tidak hanya terpaku pada pasal-pasal mati yang ada pada kitab undang-undang. Untuk itu ia sering melihat dan belajar dari penegakan hukum di negara lain. Dari Jepang misalnya. Dalam catatan Prof. Tjip, seorang pejabat publik yang terkena perkara di negeri Sakura itu, biasanya akan mengundurkan diri dari jabatannya. Setelah itu proses hukum mantan pejabat itu segera dimulai. Mereka tidak membaca hukum sebagai kaidah perundang-undangan, tetapi lebih sebagai kaidah moral. Masih banyak agenda-agenda hukum progresif Prof. Tjip yang tersebar dalam artikel-artikelnya. Ia menyoroti semua aspek hukum secara kritis; mulai dari penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan advokat), budaya hukum, sosiologi hukum, dan sebagainya. Setiap ada peristiwa hukum di negeri ini, biasanya tak lepas dari pengamatan kritis profesor ini. Relevansi Pemikiran-pemikiran Prof. Tjip jelas masih aktual, relevan, dengan kondisi hukum kita sekarang. Apalagi dengan karut-marutnya penegakan hukum di negeri ini. Penyelesaian masalah hukum hanya menggunakan pendekatan hukum tertulis an-sich. Tanpa nurani. Kita lihat bagaimana kasus Gayus menggelinding ke segala arah, atau sebelumnya ada kasus Century Gate yang sampai sekarang tak tahu mau di bawa kemana. Lain lagi kasus=kasus yang melibatkn rakyat kecil yang pernah terjadi; Nek Minah dan buah kakao, Agus Wandi dan Charge HP, Prita dengan curhat berujung penjaranya, dlsb-nya. Semua membuat rakyat berang. Hukum tak membuat orang bahagia, sebagaimana kritik Prof. Tjip. Pada akhir-akhir masa hidupnya Prof. Tjip sempat memberikan saran dalam sebuah artikel dengan judul Berhukum dalam Keadaan Luar Biasa (Kompas, 19/11/2009). Menurutnya, hukum hanya bisa berjalan dalam keadaan normal. Manakala keadaan tidak normal maka hukum mendapatkan kesulitan. Begitulah yang terjadi pada masalah kriminalisasi KPK waktu itu, bahwa keadaan tidak lagi normal, ada kondisi di mana masyarakat yang tak lagi percaya pada lembaga kepolisian dan kejaksaan. Untuk mengatasi keadaan tidak normal itu memang penegak hukum harus berani melakukan terobosan-terobosan hukum. Dan memang undang-undang sendiri menjaminnya, misalnya dalam kasus ini (”cicak vs buaya”) kepolisian bisa mengeluarkan SP3, kejaksaan bisa mengeluarkan SKPP, dan Jaksa Agung bisa mendeponeering (mengenyampingkan) perkara. Tapi sulitnya penegak hukum tak berani, atau enggan menggunakan mekanisme itu. Kalaupun dilaksanakan, setelah terjadi desakan dari berbagai pihak, termasuk dari presiden—sebagaimanamemang tejadi dengan kasus ini. Ia keluar bukan dari hati nurani. Lebih jauh lagi Prof. Tjip menyarankan penegak hukum belajar dari Amerika. Di sana penegakan hukum bisa membebaskan diri dari tradisi berhukum yang membelenggu dinamika sosial yang berjalan. Menurutnya dalam sejarah tercatat, pada suatu kurun waktu tertentu, Amerika bekerja keras membangun negerinya untuk menjadi negara modern. Saat itu, berbagai praktik hukum dilakukan guna mendukung Amerika yang sedang bergerak dinamis. Apa pun dilakukan, bahkan kalau perlu prinsip, doktrin yang berkualitas universal, dipinggirkan. Saat itu Mahkamah Agung Amerika membuat berbagai putusan monumental untuk membantu pembangunan AS, bahkan dengan cara-cara rule breaking (baca: menerobos) sekalipun. (Kompas, 19/11/2009) Jelas pemikiran-pemikiran Prof. Tjip masih sangat(-sangat) relevan dengan kondisi hukum kita saat ini. Ketika moral dari para pejabat sudah tidak ada lagi. Ketika sudah tersangkut perkara korupsi, tapi tidak mau mundur dari jabatannya. Merasa tidak bersalah, walaupun rakyat muak dengan mereka. Semoga semua kasus yang ada sekarang, yang sepertinya dipeti-eskan bisa dibongkar lagi: centry gate, kasus gayus, dan segenap kasus hukum lainnya. Pokok-pokok pemikiran Prof. Tjip mungkin bisa dijadikan dasar membongkar kasus ini sampai ke akar-akarnya. Tiga hari lagi (08/01/2011) kita memperingati 1 tahun haul—berpulangnya ke Sang Khalik—Prof. Tjip. Semoga beliu damai di alam sana. Kita yang ditinggalkan, marilah belajar dari kearifan-kearifannya.[*]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun