[caption id="attachment_112016" align="aligncenter" width="500" caption="Suasana pasar buku Titi Gantung yang sekarang berada di Lapangan Merdeka (sumber:danangsetiaji.blogspot.com)"][/caption] Oleh JEMIE SIMATUPANG ORANG YANG MENJUAL BUKU semata-mata bukan karena hal ekonomi. Pertama, lebih karena kecintaan pada buku—pada ilmu pengetahuan. Kalau ada yang kedua atau ketiga barulah soal bisnis, kasarnya: uang. Begitu apriori saya pada orang yang berbisnis bidang perbukuan, entah itu mulai dari percetakan sampai pada yang menjual. Saya sadar apriori saya itu salah, karena banyak juga (bahkan kebanyakan) orang yang menjual buku semata-mata karena urusan uang, bahkan di tingkat bawah bisa jadi soal ngebul atau tak ngebulnya dapur. Prihal ilmu pengetauan? Akh, nomor 16 lah itu—sama dengan nomor puyer obat sakit kepala itu. Pun begitu, saya tetap pada prinsip; seorang penjual buku adalah orang yang cinta pada buku. Pebisnis yang idealis. Tak karena persoalan wang semata. Jadi orang model ini sebenarnya tak terlalu pusing bukunya laku atau tidak, karena pekerjaannya sendiri sudah hobby yang mengasyikkan baginya. Dan dia mestilah melayani calon pembelinya dengan senyaman mungkin, memilih buku mana yang ingin dibeli, tidak dikejar-kejar oleh penjual buku, seperti calo bus di terminal Amplas: “Ke mana, Lae? Tebing? Tarutung? Yang mau kemananya!?” Kalau Anda pernah ke Titi Gantung—yang saya maksudkan adalah pasar buku bekas (dan baru) di kawasan Titi Gantung (Stasiun KA Medan) yang sekarang direlokasi di Lapangan Merdeka—maka pertanyaan yang akan Anda terima dari pedagang (bahkan bisa jadi calo buku) sama sebangun dengan pertanyaan terminal tadi: “Cari buku, Lae? Bilang aja, ada sama kami!” Barangkali kalau kita memang benar-benar sedang mencari sebuah judul buku akan gampang menjawab, “buku anu karang si fulan!” Tapi karena saya lebih sering membeli buku tanpa rencana mau membeli buku apa, maka tak bisa menjawab begitu. Paling cuma bilang, “Mau tengok-tengok dulu, Bang!” Tapi anehnya kebanyakan pedagang buku di sana tak senang dengan jawaban ini. Mereka mau yang konkrit. Mungkin karena yang belanja di sini kebanyakan mahasiswa atau anak sekolah yang sudah mencatat judul-judul buku apa yang akan dibelinya—yang merupakan anjuran dari guru atau dosen. “Masak tak tahu kau mau beli buku apa!?” kesal seorang pedagang, demi tahu saya memang tak tahu mau beli buku apa sebelum melihat-lihat telebih dahulu. Karena tak nyaman dengan hal ini, apalagi kadang ada yang ngeyel sampai ngikuti kemana-mana (sepertinya jenis ini calo buku), saya lebih senang membeli buku di toko buku. Walau harganya mahal tapi tak merasa--hiperbolisnya--diintimidasi, hahaha... Seorang kawan, yang juga sering berburu buku loak punya kiat jitu mengerjai pedagang-pedagang buku yang punya tujuan: yang penting bukunya terjual ini. Ia dengan sengaja mencari buku yang bakalan tak ada di kios buku mereka. Satu kali misalnya, ketika kami ingin mengobok-obok buku loak di sana, seorang (demi seorang pedagang) kembali mengajukan pertanyaan klasiknya: cari buku apa? “Anti-Christ, Bang. Karangan Nietzsche!” Kontan penjual buku itu menampakan wajah bingung. Jidatnya berkerut. Dan balik bertanya. “Buku apa itu? Agama?” “Filsafat, Bang!” Penjual buku itu geleng-geleng. Lalu membiarkan kami berlalu dan bebas mencari buku-buku lain di lapaknya. Kami tahu dia berharap kami menjawab: “Dasar-dasar Ilmu Politik Miriam Budiarjo, Bang!” atau “Buku IPS kela III SMA, lae!” Kawan saya itu tahu benar, kalau buku yang disebutkannya itu sudah langka, pun kalau ada, dia memang berniat membelinya. Ya begitulah, tapi karena tiap kali ke Titi Gantung kami selalu mencari buku yang memang tak ada—dan kawan saya itu telah menyiapkan beberapa daftar buku langka dan bisa jadi asing di telinga mereka—beberapa pedagang buku sudah membiarkan kami berlalu dan mencari buku-buku lain yang kira-kira menarik. Enaknya membeli di Titi Gantung ya karena murah. Apalagi kita bisa menemukan buku-buku yang sudah langka—cetakan lama. Begitu buku-buku yang masih berejaan lama, atau bahkan bisa ditemukan buku-buku berbahasa Belanda. Beberapa hari yang lalu misalnya, saya membeli “Piramida Kurban Manusia” karangan Petel L. Berger terbitan LP3ES cetakan pertama dengan harga Rp.13.000,- saja. Padahal cetakan terakhir buku itu berharga lebih dari Rp.50.000,-. “Langka plus murah, itu lah surga buku!” Tapi kadang ada juga yang mahal ketika pedagang itu tahu kalau buku itu banyak dicari orang—dan sudah langka. Biasanya ini berkenaan dengan nama-nama legendaris: Soekarno, Pramoedya A Toer, Karl Marx, dan kebanyakan penulis kiri lain. Saya ditawari Sarinah karangan Soekarno dengan harga Rp.60.000,- begitu juga buku Pramoedya A. Toer, Hokiau di Indonesia. Sebenarnya harga itu cukup murah, apalagi masih bisa ditawar, paling tidak bisa jatuh Rp.50.000,- Saya sendiri membeli buku Pram dengan judul yang sama di pasar online sampai dengan Rp.150.000,- plus ongkos kirim. Tak lain karena memang buku itu sudah langka. Itu mengapa saya (tak) membeli buku di Titi Gantung. Saya membayangkan kalau pedagang-pedagang di sana, sembari menunggu pelanggan, juga membaca buku-buku yang mereka jual. Paling tidak membaca sampulnya—buku itu membahas tentang apa, dan mengenali penulis-penulisnya. Bisa jadi dengan begitu kecintaan mereka pada buku bertambah meningkat—begitu juga dengan ilmu pengetahuan. Tapi memang susah, wong mereka berjualan lebih kepada tuntutan dapur. Tertarik berjualan buku saja sudah merupakan kontribusi besar bagi ilmu pengetahuan, kalau tidak dimana lagi mencari buku-buku dengan harga murah meriah. Yang pas dengan kantong kita—eh maksudnya: saya. Ya tha!? Terlebih ketika kita juga tahu pemain-pemain tingkat atas, juga yang menguasai pasar buku, juga menomersekian soal ilmu pengetahuan, yang penting bagaimana bisnis buku bisa menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Jadi, mau cari (buku) apa, Lae!? [*] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H