Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kompasiana, Verifikasi, dan Nama Pena

27 Januari 2011   02:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:09 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
apalah arti sebuah pena eh nama (sumber:4.bp.blogspot.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="532" caption="apalah arti sebuah pena eh nama (sumber:4.bp.blogspot.com)"][/caption]

... dari suara seekor kodok melompat ke air pun kita bisa menemukan kebajikan.
Oleh JEMIE SIMATUPANG ORANG BATAK BILANG: "Apalah arti sebuah nama!" (editor: saya ingatkan Anda itu bukan dikatakan Orang Batak tapi William Shakespeare-benar menuliskannya begitu). Lanjutnya, bunga ros tetaplah bunga ros walau berganti nama menjadi bunga bangkai. Yang lain bilang: "kebajikan itu bisa keluar dari mulut anjing sekali pun". Dua adagium itu mungkin mau bilang, jangan memandang sesuatu dari tampilan luarnya-ataupun identitasnya. Kan gongong anjing di tengah malam bisa jadi isyarat ada maling kepada majikannya. Saya mau menariknya pada kebijakan kompasiana untuk memverifikasi akun-akun kompasianer berdasarkan identitas aslinya-setidaknya berdasarkan KTP, SIM, Pasport, atau apalah. Konon banyak akun palsu-bukan palsu ding, karena pasti asli, tepatnya: samaran pemiliknya-di kompasiana. Laiknya kebijakan, ada yang pro ada pula yang kontra. Soal nama palsu-lebih baik baca: nama pena, boleh juga: nama maya-bukan hal baru juga. Di Indonesia misalnya ada Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka yang kita kenal sebagai Tan Malaka kadang bernama Husein ketika ia mengungkapkan gagasan-gagasan revolusioner Indonesia merdekanya di media massa. Tentu ini untuk melindungi dirinya sendiri yang memang selalu menjadi target operasi rezim yang berkuasa. Kita juga punya Matu Mona-seolah seorang dari Indonesia Timur-yang merupakan nama samaran Hasbullah Parinduri-rupanya dari Indonesia Barat sekali-yang menulis novel biografi Tan Malaka: Patjar Merah Indonesia. Pasti juga dengan alasan-alasan demi keamanan juga. Atau Remy Silado yang kadang bernama Dova Zila dan sekali-kali Alif Danya Munyi eh ternyata bernama asli: Yapi Tambayong-salah seorang sastrawan produktif yang Indonesia punya. Banyak lagi penulis lain yang menggunakan nama samaran, dan banyak pula kebenaran yang diungkap oleh penulis dengan nama samaran itu-yang membuat rezim (ataupun orang-orang yang menjaga borok) biasanya kebakaran jenggot, dan kelabakan mencari siapa yang telah menuliskannya. Media biasanya-tapi ada juga yang tidak-tahu identitas asli penulisnya, tapi karena memang semacam kode etik, tak boleh membeberkannya. Akibatnya bisa jadi media itu yang menanggung akibat, kena pasal-pasal pressdelict seperti yang sering terjadi di Jaman Belanda-juga Orde Baru. Soal verifikasi kompasiana dan ketakutan kita tak boleh menggunakan nama pena terjawab juga. (Dan soal akun akan dihapus pun juga tak perlu ditakuti, karena verifikasi akun hanyalah bersifat himbauan-anjuran). Admin membolehkan nama pena, sepanjang data yang diisi sesuai dengan identitas asli-dan mereka menjamin juga kerahasiaan identitas itu. Ini terbukti dengan akun milik saya yang tidak menggunakan nama KTP tapi telah lulus verifikasi tim Admin. (editor: Hm, sombong. Anda tidak mencantumkan kata terimakasih sedikit pun) Benar, KTP-ataupun identitas apapun-yang kita hantarkan ke Admin bisa saja palsu. Dan gampang sekali mengolah data elektronik, yang bisa membuat admin terkecoh. Tidak pun begitu, KTP juga bisa beridentitas palsu walau dibuat dengan jalur resmi. Apa yang tak bisa dibuat di jaman sekarang? Uang asal ada uang, kuasa asal ada kuasa, koneksi asal ada koneksi. Lagi pula-saya ingat kata seorang kawan-"tak ada yang aman di dunia maya". Semuanya ada celah yang bisa diterobos untuk sekedar melakukan kejahatan-paling tidak nakal-nakal sikit. Terakhir saya pribadi (editor: jangan sarankan ini pada orang lain, macamnya Anda ini udah bersih saja) terpulang kepada diri sendiri. Tanya hati nurani. Kalau memang berniat berbagi kebaikan, berbagi pengetahuan, pengalaman, mengapa takut diverifikasi? Tak rela memberi identitas asli?  Dan saya berpikir ini bukan bentuk diskriminasi-secara prinsip saya masih 100 prosen mengamini: dari suara seekor kodok melompat ke air pun kita bisa menemukan kebajikan. P l u n g ! [] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun