[caption id="" align="alignleft" width="267" caption="Orang Batak memakai Batik, Orang Jawa menjadi Orang Batak. Akh, betapa menghargai pluralismenya Indonesia (sumber:kompas.com)"][/caption]Tak apalah Lae, mana tahu dengan jadi Raja Batak,pulang-pulangnya ke Jakarta sana, dia bisa tegas kek Orang Batak
Oleh JEMIE SIMATUPANG SBY—PRESIDEN KITA—resmi jadi Orang Batak. Horas, Bah! Marganya Siregar. Tak pula Orang Batak biasa (presiden je, masak sih jadi rakyat batak biasa saja) dia didaulat menjadi Paduka Tuan—Raja Batak—dengan gelar Patuan Sorimulia Raja Susilo Bambang Yudhoyono Siregar. Cok Kompas, yang udah beberapa hari ini tak kedengaran kabarnya, yang sedikit banyak punya darah batak (pun begitu dikalangan batak dibilang dale atawa batak tak lengkap alias tak jelas) bangga campur palak membaca berita ini. Bangga, akhirnya ada juga Orang Batak yang jadi presiden. Palak juga, kok ya SBY yang baru-baru saja mengobok-obok soal kefeodalan Sultan Jogja sekarang menerima dijadikan Raja Batak. “Akhirnya ada juga Orang Batak, orang kek kau, yang jadi presiden ya, Lae!” komentar Mat Tanduk ketika asyik membaca tulisan-tulisan di kompasiana, tempatnya ngeblog. “Ngejek ini kau Mat. Hm, awak awalnya pun bangga juga. Tapi kok belakangan mangkel, hihihi..., macam Orang Jawa awak ya, bolak-balik jadinya: Batak Jadi Jawa, Jawa jadi Batak. Balik ke SBY lah. Kan tak pas mestinya SBY terima gelar itu, konsisten dong, kan dia nolak soal kefeodalan Raja Jawa. Mestinya, walaupun ini kehormatan, dia tolak juga dong!” ujar Cok Kompas meningkahi. “Tak apalah Lae, mana tahu dengan jadi Raja Batak, pulang-pulangnya ke Jakarta sana, dia bisa tegas kek Orang Batak—tapi jangan juga macam Ruhutlah. Sikat koruptor, basmi mafia, bersihkan birokrasi. Kan mantap itu!” “Akh, mana mungkin?” “Bisa itu. Yakin awak. Apalagi kan orang yang jadi tantangan nomor satu yang harus diusut tuntas itu kan si Gayus yang Tambunan itu kan? Hm, mungkin dia mau pakai ilmu pendekatan sesama Batak! Pendekatan etnographis atau kebudayaan atau apalah. Jadi bisa klop!” Cengar-cengir saja Cok Kompas membayangkan apa yang dijabarkan karibnya itu. Lama-lama masuk juga diakalnya yang memang cuma bisa menerima hal-hal sederhana saja. Ia lalu membayangkan satu kali SBY berjumpa dengan Gayus Tambunan di tahanan. Setelah ngobrol panjang lebar, sekaligus bertarombo—melihat asal-usul, masing-masing, yang memang menjadi tata-krama Orang Batak tiap kali berkenalan sesama Batak—akhirnya Gayus cerah. “Akh, yang Marlaenya kita Pak Beye. Horas, Bah! Jadi bisa tidak Lae peti-eskan saja kasus saya ini? Pun kalau dibuka, nanti yang macam dibilang Pak Mantan Kapolri itunya, bisa goncang negara kita. Cemana?” rayu Gayus—mengeluarkan jurus mautnya. Saya—yang dipercaya Cok Kompas menyebarkan gagasannya di kompasiana—tak bisa membayangkan apa jawaban SBY. Cok Kompas sendiri juga tidak. Tapi kudengar Cok Kompas sedang asyik tertawa-tawa dengan Mat Tanduk ketika Cok Kompas mendapatkan istilah baru: Lae Beye. Lae Beye, Lae Beye, Lae Beye ... Horas, bah! [*] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan, dipercaya Cok Kompas and Co menyabarkan gagasasanya di Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!