Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Balik Senyum Pak Harto; tentang Bromocorah dan Petrus

9 Juni 2011   04:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:42 14954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_112957" align="aligncenter" width="521" caption="Di balik senyum Pak Harto (sumber:anangku.blogspot.com)"][/caption]

Lalu ada mayat yang ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock theraphy, terapi goncangan.

Oleh JEMIE SIMATUPANG

SEJAK SEMULA, tulis Romo Magnis, kekuasaan selalu berwajah dua: sekaligus mempesona dan menakutkan. Dan bisa jadi, kalau ini kata saya, ia berwajah sepuluh—layaknya dasamuka dalam Ramayana.

Saya kemudian teringat—tak kebetulan begitu saja, karena memang media sedang rame membahasnya lagi, seiring peluncuran buku tentangnya—Soeharto. Pada senyumnya dan lambain tangannya yang khas ketika tampil di TV hitam putih milik tetangga. Sosoknya bisa dipastikan muncul tiap hari, paling tidak di Dunia Dalam Berita. Saya takjub dengan wibawanya waktu itu. Dulu, dibenak saya—dan bisa jadi di benak ratusan juga anak Indonesia, walau saya yakin ada kekecualian terhadap anak-anak yang pernah menjadi korban kekuasaannya—Pak Harto adalah orang paling baik sedunia. Pahlawan. Dan memang begitulah imej yang dibangun melalui film-film propaganda: dari “Janur Kuning” sampai “Pengkhianatan G30S/PKI”. Apalagi di dunia nyata, ketika saya melihat ia menjawab masalah-masalah rakyat dalam acara “Kelompencapir”—kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa—di TVRI selalu saja ia jawab semua dengan baik-baik. Dengan senyum-senyum. Tuntas. Dan saya berpikir, selesai dari acara itu petani itu sejahteralah sudah hidupnya.

“Pak Harto, hebat!”

Tapi memang kekuasaan, seperti kata Romo Magnis, berwajah dua. Ada yang lain di balik senyum dan lambaian tangan bersahabat seorang Soeharto—dan anak usia di bawah 10-an seperti saya dulu, mestilah belum tahu itu. Tahun 80-an. Tiba-tiba saja di kampung kami para orang-orang jahat bertobat. Mereka rajin pergi bersembahyang, bahkan rela tidur di mesjid. Ujug-ujug. Bahkan sebagian dari mereka tidak bertato lagi, mereka hapus, dan berganti dengan kudis (mungkin dihilangkan dengan besi panas atau obat kimia apa).

Sas-sus atawa desas-desus yang saya dengar kemudian, dari nguping pembicaraan orang tua di kampung, banyak penjahat, bandit-bandit, bromocorah, gali, ditembak mati. Tak tahu siapa yang melakukan. Istilah penembakan misterius atawa penembak misterius atawa apa yang disingkat petrus menjadi populer dimana-mana. Petrus konon mengincar orang-orang bertato, dan wajar kemudian kenapa orang-orang bertato di kampung kami gentar, dan tanpa banyak cing-cong bertobat—menghilangkan tato—dan betah berlama-lama tinggal di mesjid.

Soal petrus pun, di kampung kami, orang tua pada senang semua. Di warung—sumber informasi utama saya waktu itu—orang-orang bersyukur, “dengan ada petrus kampung kita lebih aman, tak ada lagi maling ayam.” Akh, di jaman itu pula, siapa yang berani bersuara lain?

Pak Harto sendiri, dalam autobiographinya: Soeharto; Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, menuturkan: Kejadian itu, misterius juga tidak. Masalah sebenarnya adalah bahwa kejadian itu didahului oleh ketakutan yang dirasakan oleh rakyat. Ancaman yang datang dari orang-orang jahat, perampok, pembunuh, dan sebagainya terjadi. Ketentraman terganggu. Seolah-olah ketentraman di negeri ini sudah tidak ada. Yang ada seolah-olah rasa takut saja. Orang jahat itu telah bertindak melebihi perikemanusiaan. Mereka tidak hanya melanggar hukum, tetapi sudah bertindak melebihi batas perikemanusiaan. Umpamanya saja, orang tua sudah dirampas pelbagai miliknya, kemudian dibunuh. Itu ‘kan sudah di luar kemanusiaan. Kalau mengambil, ya mengambillah, tetapi jangan lantas membunuh. Kemudian ada perempuan yang diambil kekayaannya dan si isteri orang lain itu masih juga diperkosa oleh orang jahat itu, di depan suaminya lagi. Itu sudah keterlaluan! Apa hal itu mau didiamkan saja? Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak.

Lanjutnya lagi: Lalu ada mayat yang ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock theraphy, terapi goncangan. Supaya, orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampui batas perikemanusiaan itu.

Ya, jelas peristiwa petrus atas restu Pak Harto. Terang ia bilang itu tidaklah misterius: memang ada skenario menembak mati para gali, bandit, bromocorah, dan begundal apalah namanya. Padahal sejatinya, tak ada satu alasan apa pun, tak ada satu kekuasaan apa pun, yang bisa mencabut nyawa seseorang yang dianggap bersalah tanpa proses peradilan (bahkan dengan proses peradilan pun masih lagi terjadi debat pendapat).

Dan di lapangan, kesaksian orang-orang, para bromocorah itu tidaklah ditembak karena melawan, tapi diculik oleh orang-orang yang biasanya mengendarai mobil sejenis jeep atau taft, ditangkap hidup-hidup, dibawa ke suatu tempat, dan pagi-pagi mayatnya (dengan tangan terikat) sudah tergeletak di wilayah publik: pasar, jalan, lapangan, dlsb. Entah Soeharto yang berbohong, atau pelaksanaan di lapangan yang salah. Tapi saya lebih cenderung yang pertama: siapa yang berani salah menjalankan perintah Sang Jenderal waktu itu?

Iwan Fals, penyanyi legendaris itu, yang vokal waktu itu, mengabadikan kesaksiannya atas peristiwa petrus dalam lagu Sugali. Salah satu liriknya menggambarkan bagaimana Sugali (seorang Bromocorah), yang kerap keluar-masuk bui ditembak: Oh bisik jangkrik di tengah malam, tenggelam dalam suara letusan, kata berita di mana mana, tentang Sugali tak tenang lagi danlari sembunyi.

***

Ya, Romo Magnis benar. Kekuasaan berwajah dua. Dan inilah—salah satu dari sekian ratus bahkan ribu—daftar wajah buruk kekuasaan Soeharto waktu itu.

Sekarang mungkin ini menjadi catatan sejarah. Kita yang hidup sekarang, pasca-Soeharto, bisalah mendapat pelajaran darinya. Tidak boleh dilupakan begitu saja. Ia, Soeharto sendiri, kerap mengatakan—salah satu—falsafah hidupnya: mikul dhuwur, mendhem jero. Kalau mengangkat setinggi-tingginya, kalau memendam sedalam-dalamnya. Seseorang mestilah menjunjung tinggi pemimpinnya, dan memendam segala kesalahannya. Sejalan dengan itu, belajar dari kesalahan Soeharto, bukan berarti kita menjunjung kesalahan-kesalahannya, tapi bagaimana agar kita itu tak terulang lagi di masa sekarang.

Dan kalau benar-benar dipendam, mestilah kita tak belajar apa-apa darinya! [*]

JEMIE SIMATUPANG kompasianer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun