Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerpenis Profesional dan Cerpenis Amatir

13 Agustus 2011   11:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:50 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_124431" align="aligncenter" width="500" caption="repro lukisan heri dono (sumber:artvalue.com)"][/caption]

Akh, tak ada kemajuan, tokoh, jalan cerita, dan konfliknya tak jelas!

Oleh JEMIE SIMATUPANG

TEPAT KETIKA CERPENIS AMATIR menyelesaikan sebuah cerpennya, ia langsung mencetaknya, dan menyerahkannya kepada seorang yang konon mengaku sebagai Cerpenis Profesional.

“Bang, ini cerpen terbaruku, cemana pendapat Abang?”

Cerpenis Profesional langsung menerima lembaran cerpen itu. Mengambil kaca mata bacanya, dan memulai membaca, halaman per halaman.

Cerpenis Amatir menunggu. Tak berkedip matanya melihat bagaimana seriusnya Cerpenis Profesional membaca naskah cerpennya. Beberapa bentar kemudian selesai. Cerpenis Profesional yang telah menelurkan buku bagaimana menulis yang baik dan bagaimana membuat cerpen itu membuka kaca matanya. Tapi ia belum lagi mengeluarkan sepatah kata pun.

“Cemana menurut, Abang?”

“Ini belum bisa dibilang cerpen!”

“Kok belum?”

“Narasi-narasi yang kau hadirkan di sini lebih esai ataupun artikel tinimbang cerpen,”

“Teruss...terusss...!”

“Konfliknya juga tak nampak. Kau tahu sendiri, konflik itu penting ketika membuat cerita, cerita apa saja, dari cerpen sampai roman sekali pun, konflik itu harus ada. Lah, saya tak menemukan konflik apa-apa di cerpenmu. Datar-datar saja,”

“Oo, begitu ya, Bang?”

“Ya!”

Cerpenis Amatir tampak murung. Harapannya untuk menjadi cerpenis nampaknya kandas. Tak ada satu pun sisi positif dari cerita yang ditulisnya itu, padahal sudah dikerjakan dengan segenap tenaga dan pemikirannya.

“Ini lagi, soal tokoh! Tokoh yang kau buat ini tak jelas. Kabur. Saya tak bisa membayangkan tokohmu ini bagaimana, bagaimana rupanya, bagaimana juga tingkah lakunya—sisi psikologisnya,”

“Jadi saya harus belajar psikologi juga, Bang?”

“Jelas. Harus. Kau tahu sendiri Goenawan Mohamad itu masuk fakultas psikologi bukan karena mau jadi psikolog, semata-semata mau jadi sastrawan," Lanjutnya lagi, “Itu ada saya tulis dalam buku saya itu, ‘bagaimana menulis cerpen yang baik dan benar’. Kau belum baca, ya?”

“Sepintas saja, Bang!”

“Akh, pantas!Kau bacalah lagi!”

Cerpenis Amatir tambah down. Tambah tak semangat. Ia lalu mengambil naskah cerpennya kembali dari Cerpenis Profesional.

“Bang, bisa kau perbaiki saja cerpenku ini, biar bisa kukirim ke koran,”

“Tak bisa lah. Kalau kuperbaiki, nanti jadi cerpenku, bukan cerpenmu lagi. Iya kan?”

“Iya juga.” Cerpenis Amatir meneruskan, “Kalau gitu saya mintalah Bang, contoh cerpen Abang, saya bingung kalau belajar dari teori yang ada di buku Abang susun itu,”

“Oke. Nanti saya kirim. Ke e-mail ya?”

SAMBIL MENUNGGU KIRIMAN kiriman cerpen dari Cerpenis Profesional, Cerpenis Amatir membuat cerpen baru. Ia tak berselera memperbaiki cerpen lama yang sudah habis-habisan dihujat oleh Cerpenis Profesional—yah, memang dia sendiri yang meminta.

Tapi kiriman cerpen itu tak kunjung datang. Bahkan cerpen barunya sudah selesai. Cerpenis Amatir lalu menulis pesan per e-mail kepada Cerpenis Profesional, kok kiriman cerpennya tak sampai-sampai, di akhir e-mail ia katakan kalau sangat butuh cerpen itu untuk bahan belajarnya dalam menulis cerpen. Dua hari kemudian, Cerpenis Profesional menjawab, “maaf saya sedang sibuk, sekarang sedang di luar kota untuk memberi seminar: bagaimana menulis cerpen yang baik. Nanti malam akan saya kirimkan,”

Ditunggu malam, cerpen itu tak kunjung masuk ke Inbox. Akhirnya Cerpenis Amatir mencoba mengecek cerpen-cerpen Cerpenis Profesional melalui mesin pencari google, tak satu pun ditemukan. Nihil. Barangkali tak satupun cerpen yang ditulis oleh Cerpenis Profesional di upload ke internet, pikirnya. Barangkali dicetak saja di koran atau majalah sastra, pikirnya lagi.

Entah angin dari mana, Cerpenis Amatir lalu coba iseng-iseng mengirimkan cerpen barunya ke sebuah koran daerah. Per email. Tak sedikit pun Cerpenis Amatir berharap itu dimuat, sekedar coba-coba saja. Tapi tanpa disangka, seminggu kemudian, cerpennya muncul di koran minggu. Ia girang bukan kepalang, tak mengira ia benar-benar diakui sebagai penulis cerpen—cerpenis.

Lalu ia kirimkan lagi cerpen yang habis-habisan dibabat oleh Cerpenis Profesional ke media itu, dan minggu depannya cerpennya dimuat lagi.

***

SATU KALI CERPENIS AMATIR bertemu lagi dengan Cerpenis Profesional. Kembali ia menyerahkan naskah cerpennya yang kali ini berjudul Cerpenis Profesional dan Cerpenis Amatir untuk dikritik

“Bagaimana menurut, Abang?”

Cerpen Profesional lalu membaca cerpennya Cerpenis Amatir, tak berapa kemudian ia memberikan pendapatnya.

“Akh, tak ada kemajuan, tokoh, jalan cerita, dan konfliknya tak jelas!”

“Tapi cerpen ini sudah dimuat di Koran A, Bang!” kata Cerpenis Amatir menunjukkan koran dimaksud.

“Yang ini juga,” kata Cerpenis Amatir, menujukkan koran satu lagi, yang memuat cerpen yang habis-habisan dibantai oleh Cerpenis Profesional.

Cerpenis Profesional diam saja—bungkam 1001 bahasa! [*]

Medan, 13/8/2011

JEMIE SIMATUPANG warga kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun