Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bioskop, Film Porno, dan Medan (Tempo Doeloe)

26 Februari 2011   00:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:16 3086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  [caption id="attachment_92007" align="aligncenter" width="518" caption="Salah satu pojok Medan ketika masih bergelar Parijs van Sumatra (sumber:tonymedan.blogspot.com)"][/caption]

 

12986785511663108430
12986785511663108430
Tutup. Gulung tikar. Kau tahu sendiri bioskop 21 itu lah yang bikin ulah, dan tampaknya juga industri film dalam negeri kita yang anjlok

12986790101157754806
12986790101157754806
 

Oleh JEMIE SIMATUPANG

Ngobral-ngobrol soal hollywood yang ngancam hengkang dari bioskop di Indonesia karena tak mau bayar bea masuk (pajak) di Indonesia akhirnya Cok Kompas, Mat Tanduk, dan seorang rekan sekerja yang lain—yang lebih senior—sampai juga ngomong soal bioskop di Medan tempo doeloe. Ya tak dulu-dulu kali, jaman kuli kontrak di Tanah Deli atawa ketika Medan dikenal sebagai Parijs van Sumatra, paling ketika tahun 70-an sampai 90-an awal. Medan lewat maghrib. Cok Kompas, Mat Tanduk, dan Lae Senior, sebagai layaknya orang-orang yang bekerja di lembaga non pemerintah lokal, tidak langsung pulang ke rumah. Nongkrong dulu. Masih diperlukannya lagi menyeruput kopi sambil membahas situasi sosial-politik yang sedang berkembang—ngobrol layak pengamat yang sedang talkshow di TV, tentu saja yang ini abal-abal. “Tahu kalian, dulu di Medan, tahun-tahun 70-80-an, banyak bioskop bertebaran. Belum lagi ada 21waktu itu,” Lae Senior—yang kebenaran memang senior Cok Kompas dan Mat Tanduk—mulai membelokan cerita: dari soal isu pajak film ke biosko di Medan tempoe doeloe. “Mana tahu Cok Kompas itu, Bang. Masih di ‘kangkung’ dia, blom jadi apa-apa, hahaha...” Mat Tandung meningkahi. “Ngejek aja kau, Mat. Iyalah awak blom ada waktu itu. Pun ada masih orog. Hm, ceritakanlah Bang Lae, cemana bioskop-bioskop itu dulu?” Lae Senior menyeruput kopi, lalu menghisap Gudang Garam merah kesukaannya. Dalam-dalam, lamat-lamat ... “Serulah pokoknya. Macam-macam nama bioskop itu: ada PHR, Juwita, Bahagia, Karimata, ... Nonton bioskop waktu salah satu gaya hidup orang Medan. Yah, yang menengah-ataslah memang. Tiap malam minggu mereka itu pergi ke bioskop. Berpasang-pasangan. Yang pacaran juga yang sudah bersuami isteri—terutama pasangan mapan umur 40-an,” ujar Lae Senior, dihembuskannya asap rokoknya, sebagian keluar dari hidung, tampak perokok kelas berat. “Sekarang yang nonton bioskop juganya orang, Bang!” kata Co Kompas. “Beda Cok, dulu itu orang nonton bioskop itu semacam prestise. Ya tak, Bang?” Mat Tanduk yang menjawab. “Iya. Yang pergi-pergi ke bioskop itu parlente semua. Wangi. Tampak parfumnya mahal-mahal. Kalau perlu pakai jas. Macam mau masuk ke kantor saja layaknya. Yah, mungkin ini warisan kolonial belanda yang masih mendarah-daging sama kelas menengah-atas di kota ini,” “Benar, Bang. Asal kau tahu juga, Cok. Bang Lae Senior ini dapatkan ‘kakak’ kita sekarang ini dari bioskop juganya,” “Iyanya, Bang?” “Kau Mat, buka rahasia saja. Tapi memang banyak pasangan yang jadinya itu ya di bioskop. Waktu itu kalau seorang anak gadis sudah mau kita ajak nonton ke bioskop maka itu sudah jadi isyarat, kalau yang bersangkutan membalas maksud hati kita. Cinta tak bertepuk sebelah tangan. Pendekatan pertama kan biasanya kan berkunjung—ngapellah bahasa anak sekarang—ke rumah si gadis, kalau tak diusir orang tuanya, ulangi lagi minggu depan, tak diusir juga minggu ke-tiga bolehlah diajak nonton bioskop. Kalau dia mau, tak perlu pun dibilangnya suka sama kau, yang udah sukanya kiannya dia itu,” “Hahaha, jadul kali, bah!” kata Cok Kompas, “tapi kemana sekarang kemana bioskop-bioskop itu, bang?” “Tutup. Gulung tikar. Kau tahu sendiri bioskop 21 itu lah yang bikin ulah, dan tampaknya juga industri film dalam negeri kita yang anjlok. Mana ada lagi sekarang yang bertahan,” “Di awal gempuran 21 dulu, demi tetap survive, bioskop-bioskop yang tersebar di Medan bikin strategi putar film porno. Ya kan, bang?” “Iya, tapi soal itu, kaulah yang ceritakan ke Cok Kompas. Kau yang lebih pengalaman kayaknya, Mat. Hahaha ...” Abang ini. Iya, itu kayaknya akhir 80-an sampai 90-an awal dan pertengahan. Bioskop itu udah mulai ditinggalkan, orang lebih nyaman di 21. Biar bisa makan, diputarlah film porno untuk meraup penonton. Ajaib juga. Berduyun-duyun orang masuk bioskop lagi. Tentu saja segmennya berbeda dengan penonton-penonto bioskop yang dulu, ini lebih sebagai hiburan yang konon kurang bermartabat saja. Tak ada lagi soal gaya hidup. Bukan lifestyle. Terkenallah Medan dengan bioskop pornonya. Majalah Tempo bahkan sempat membuat liputan khusus tentang itu,” “Apa tak ditangkap polisi, wak!” “Akh kongkalikong lah kayaknya orang itu. Cincau-cincai selesainya itu. Strategi mengelabuinya pun sedap, di depan bioskop poster film yang dipasang berbeda dengan yang akan diputar. ‘Film isi’ istilahnya. Tak berbeda dengan di poster sih, tapi film akan diselang-selingi, awalnya film biasa—sebagai diposter yang kita beli tiketnya—tapi selang beberapa menit, setelah penonton berteriak: ‘pulangkan duit kami, pulangkan duit kami’ maka proyektor pun akan menampilkan film panas. Vulgar. Dan penonton kembali tenang, hahaha... begitu seterusnya diselang-seling,” “Hahaha, jadi nonton film porno berjamaahlah kalian, ya!” “Kurang ajar kau, Cok!” Tertawa mereka bertiga. Kemudian hanyut pada pikiran masing-masing. Bernostalgia tentang Medan Tempo Doeloe yang konon lebih “berbudaya” setidaknya sebelum masuk pengaruh ekonomi kapitalis, yang masih banyak gedung tua bernilai arsitektur tinggi, pohon-pohon besar merindangi kota, jalan yang lebar-lebar dan tertib. Tapi kemudian sekarang ang: gedung yang hanya kotak-kotak yang kemudian disebut ruko menggantikan gedung-gedung tua berestetika, pohon besar habis ditebangi, jalanan semerawut dengan klakson-klakson orang tak sabaran, tanda tak ‘berbudaya’. Untunglah tradisi nonton film porno berjamaah itu sudah tidak ada, kalau tidak: “Apa kata dunia?” [*] JEMIE SIMATUPANG dipercaya Cok Kompas dkk menyebarkan gagasan-gagasannya di kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun