Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Batak, Tuak, dan Pergaulan

8 Desember 2010   06:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:55 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1291789174954769922

[caption id="attachment_79000" align="alignleft" width="324" caption="sebagian orang bilang ini sebagai susu medan, mungkin karena warnanya yang putih, mirip susu (sumber: insidesumatera.com)"][/caption] Sebagian orang bilang: “Kalau ke Medan jangan lupa mencoba Tuak!” Saya sendiri karena tak terbiasa—ya kayaknya karena persoalan tak pernah mencoba saja dan pantangan-pantangan agama—tak sangat menganjurkan. Terlebih apa yang dibilang Tuak adalah minuman yang—bisa—memabukkan. Bagaimana tuak dibuat? Tuak itu berasal dari sadapan mayang—bunga—kelapa. Jadi awalnya seorang penyadap akan memanjat pohon kelapa, memotong pucuk mayang, lalu mengikat bambu sebagai wadah penampung air sadapan. Tak cukup begitu, sebelumnya sang penyadap—walah kok jadi seperti penyadap telepon?—terlebih dulu melakukan prosesi memukul-mukul mayang dengan kayu khusus sambil bernyanyi—mengucapkan rapalan jampi. Karenanya tak semua orang bisa menjadi penyadap. Setelah beberapa hari (2 atau 3) barulah hasil sadapan diambil. Sejenis air akan memenuhi ruas bambu. Nira begitu nama air ini, rasanya manis. (dan kadang dijual sebagai minuman ringan). Nira inilah yang menjadi bahan dasar utama pembuatan tuak. Proses selanjutnya adalah mempermentasikan nira dengan merendamnya dengan kayu raru. Yang terakhir disebutkan membuat nira mengandung alkohol, dan jadilah tuak yang siap dipasarkan dan dikonsumsi. Tuak itu, sejauh yang saya dengar, cita rasanya berbeda-beda. Seorang kawan penikmat tuak hapal dengan tuak yang dikonsumsinya: berastagikah? Langkatkah? Kabanjahekah? Begitu juga dia akan berbeda antara pembuat tuak yang satu dengan yang lain. Konon ini karena tiap pembuat tuak mempunyai resep khusus dalam mempermentasikan tuak-tuaknya. Layaknya mie instant, resep ini adalah rahasi perusahaan—yang membedakan antara tuak satu dengan yang lain. Dalam masyarakat Batak—terlebih yang beragama kristen dan beragama asli batak—tuak tidaklah masuk kategori minuman terlarang. Bahkan dalam beberapa prosesi adat, tuak hadir di sana. Tak jarang orang tua membiarkan saja anaknya mengkonsumsi tuak. Tak ada pantangan. Bahkan juga, ada anggapan minuman ini baik untuk kesehatan—bahkan disarankan bagi perempuan yang sehabis melahirkan, agar ASI-nya lancar. Dalam kehidupan sehari-hari memang yang minum tuak adalah kaum laki-laki, jarang ada perempuan yang aktif minum tuak kalau tidak karena alasan tertentu—dengan kata lain saya mau bilang: tuak bagian budaya patriakhi. Minuman ini biasanya dikonsumsi beramai-ramai. Tempatnya: lapo tuak—warung tuak. Tempat ini menjadi semacam, meminjam Jurgen Habermas, ruang publik bagi masyarakat batak—tempat bertukar informasi bahkan juga membicarakan “bisnis” (info: jadi semacam warung kopi kalau di Aceh)—bagi masyarakat batak. Sambil ngobrol mereka akan minum tuak, dan kalau tidak ada yang dibicarakan sangat serius, seseorang akan memetik gitar, lalu semua bernyanyi, mengeluarkan vokal batak yang khas itu: Lisoi lisoi lisoi lisoi…, o parmitu lisoi…. Di Medan, tuak tidak saja dikonsumsi oleh orang batak. Apalagi mengingat Medan adalah kota dengan multi entnik dan budaya. Orang jawa yang telah lama tinggal disini misalnya, juga tak asing dengan minuman lokal ini.Tuak sudah menjadi lambang pergaulan semua suku di daerah ini. Dan banyak persoalan dalam pergaulan diselesaikan di lapo tuak. Minuman ini walau dicap minuman kelas bawah, tapi banyak juga dikonsumsi orang-orang kelas atas. Murahan (karena harganya memang murah dibandingkan dengan yang lain). Jangan heran kalau banyak orang-orang berpenampilan necis, berdasi, turun dari mercy mampir ke warung tuak. Ini saya rasa tak lain karena memang Tuak adalah bagian budaya (batak), mereka jadi tak peduli dengan olokan begitu. Walaupun mereka pernah mencoba minuman rasa eropa—wine, vodka, atau apalagi itu—tetap saja hatinya banyak ke tuak. Tak heran juga kalau musisi batak minum tuak disela-sela manggung di hotel berbintang. Mereka tak sungkan. (pertanyaa: adakah sungkan dalam kamus pergaulan batak?). Bisa jadi mereka tak dapat semangat lagu yang mereka nyanyikan kalau sekedar minum bir atau wine. Jadi cemana ya, kalaupun tuak adalah minuman lokal—yang local wisdom itu—tapi saya belum ikhlas juga menyarankan: “Kalau ke Medan jangan lupa coba Tuak!” baru berani: “Kalau ke Medan cobalah Nira”. Hahaha, yang terakhir saya bilang itu banyak di sekitaran Bandara Polonia. [*]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun