Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bang Martin, Sepeda, dan Reiki

4 Januari 2011   08:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:58 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="" align="alignleft" width="331" caption="“Dunia…dunia…” kami sama-sama menggerutu, dilanjutkan tawa melihat ketololan diri sendiri yang berlagak bijaksana lagaknya Confucius padahal baca Mario Teguh saja tak tamat (sumber:dok.MartinSiregar)"][/caption] NAMANYA MARTIN SIREGAR. Lengkapnya: Gabriel Martinus Siregar. Singkatnya Martin. Dan kami—saya dan orang-orang yang mengenalnya—menyerunya sebagai “Bang Martin”. Orangnya sederhana, tak dibuat-buat macam penguasa yang menyerukan “hiduplah sederhana, negeri kita sedang krisis” dengan pakaian merek kenamaan, wangi, licin—selicin sebakan rambutnya yang belah samping itu—baru saja keluar dari Sassex[?]—loundry ternama itu. Tidak. Benar-benar sederhana, sesederhana celana pendek monza pavoritnya dan sepeda tua merek Raleigh kenderaan kebanggaannya—yang bagai BMW seri ter-anyar saja diperlakukannya; dielus-elus, disayang-sayang, pantang dicela, kalau boleh tidur pun dibawa serta. Yah, begitulah sosok Bang Martin. Di dunia, akh paling tidak di Indonesia, tidak juga: di Medan ia dikenal sebagai salah seorang penggagas isu perlindungan anak-anak marjinal. Pada akhir 80-an (90-an awal) ia bersama beberapa rekannya melakukan pendampingan anak-anak yang berada di kawasan kumuh (slum area) di kota Medan. Waktu itu, isu perlindungan anak belum lagi menjadi wacana publik seperti sekarang, belum ada kementerian dalam kabinet pemerintahan yang diberi mandat khusus untuk melakukan langkah-langkah strategis seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak yang ada sekarang ini. Sekali waktu Bang Martin pernah bilang kalau sikap kepeduliannya terhadap anak-anak marjinal ini lahir dari keprihatinannya terhadap anak-anak parnab (par nasi babi—anak-anak yang mencari sisa makanan di tempat sampah untuk dijadikan umpan babi). Satu pagi, anak-anak itu, mengambil parnab di tong sampah di depan rumahnya. Bang Martin, yang kebetulan berada di teras rumah melihat itu, dan sebenarnya tak hirau, karena memang sudah berulang hari mereka mengambil sisa makanan dari sana. Kemudian melintaslah sebuah mobil mewah—jenis sedan—di hadapan anak-anak itu, di dalamnya ada seorang pria paruh baya berpakaian rapi dan seorang anak—seusia anak-anak parnab itu—berpakain beragam sekolah. Anak-anak parnab melihat kejadian ini, mereka seperti mengagumi mobil mewah, pakaian necis, dan mencumburui mengapa bukan saya yang diantar sekolah? Anak-anak parnab itu perlu menghentikan pekerjaannya, demi melihat mobil itu menghilang sampai ke ujung jalan. Bang Martin yang sedari tadi tak hirau, sekarang terkesima. Beberapa pertanyaan pun kemudian muncul: “Mengapa ada orang kaya sendiri seperti pemilik sedan itu sementara yang lain miskin sehingga sekolah pun susah?” “Apa yang terjadi?” Tak mau berlama hanyut dalam pikiran yang belum terpecahkannya itu, ia lalu mendekati anak-anak parnab yang masih saja melongo. “Kalian pun bisa seperti mereka, kalau kalian mau!” kata Bang Martin menyemangati. Lalu mereka berkenalan. Bang Martin menanyakan dimana tinggal, masih sekolah atau tidak? Sampai kemudian, setelah saling akrab, Bang Martin menawarkan mengajari mereka les tiap sore. Karena tak menemukan jadwal yang tepat—dan takut menyita waktu mereka yang harus bekerja mengumpulkan nasi sisa—les yang dilakukan pun unik. Model kotak pos. Jadi tiap sore Bang Martin akan meletakkan soal-soal di dalam kota surat di depan rumahnya untuk masing-masing anak-anak parnab. Mereka—anak-anak itu—akan mengambil soal sesuai namanya, dan mengisinya di rumah. Besoknya jawaban itu dimasukkan lagi ke kotak surat. Selanjutnya, Bang Martin mengkoreksi jawaban-jawaban anak-anak itu, lalu memasukkannya bersama dengan soal baru. Tapi tak begitu selamanya. Sekali-kali, setelah janjian di kotak surat, mereka bertemu juga, dan berdiskusi tentang segala hal—tak terlepas pada 5 + 4 sama dengan berapa. Sejak itu, Bang Martin melihat banyak persoalan yang dihadapi anak-anak—tak lain diujungnya ada tanggung jawab negara di sana. Dia bersama beberapa teman lain banyak berdiskusi tentang fenomena ini, mereka membaca Paulo Freire, Ivan Illich, dan berbagai pendekatan kritis lain melihat persoalan masyarakat—khususnya anak-anak—yang memang menjadi wacana alternatif pada tahun-tahun itu (80-an dan awal 90-an). Ia kemudian bertekad mendedikasikan hidupnya untuk kerja-kerja perlindungan anak. Karena terbiasa hidup bersama anak-anak, maka gayanya juga bebas—khas anak-anak yang sebenarnya tak hirau moral ini dan itu. Merdeka. Ia tak sungkan memakai celana pendek kemana-mana. Ikut pertemuan formil dengan protokoler baku—Yth. Bapak Gubernur beserta rombongan, Yth. Ibu Gubernur beserta cucu-cucunya, dan Yth….—sampai pertemuan dengan anak-anak untuk sekedar tanding keras-kerasan suara meneriakkan: “ M e r d e k a ! ” Dan sepeda adalah bentuk kesederhanannya yang lain. Ketika para pejabat woro-woro bilang: pakailah sepeda, hemat energi, tubuh sehat, dlsb-nya itu, Bang Martin sudah melakukannya. Tak perlu sepeda gaya yang mahal-mahal yang hargainya menyerupai kereta (Medan: motor), ia lebih memilih sepeda tua. Benar-benar tua. Warnanya kecoklat-coklatan, lebih karat daripada cat. Pedalnya ketika dikayuh mengeluarkan ritme yang kadang mengharukan di telinga: ngiiiiiiittt…ngoooottt…ngittttt….ngoooooottt…. “Stop, Bang! Saya membayangkan itu suara anak-anak dari Eithopia yang menjerit kelaparan!” “Pantat kau Jem!” sergahnya membalas. Atau kadang merendah. “Tak apalah! Macam ini sepeda kaum paria!” Tapi jangan disangsikan, ia bisa berkeliling Medan dengan sepeda model Raleigh keluaran dibawah tahun 1965 itu—Belum lagi G30S meletus dan beberapa tahun saja setelah Indonesia Merdeka. Tanpa canggung. Dari Dr. Mansyur menembus Sisingamangaraja (dua-duanya nama jalan). Dari Medan Selayang ke Medan Tenggara. Dengan semangat 45 menjajakan buku karyanya (ia telah menulis 2 buah kumpulan cerpen) dari pintu ke pintu—tentunya kepada kenalannya—mengkayuh sepedanya yang berngitngot-ngitngot itu dari ujung ke ujung. Tak hirau peluh membasahi badan. Sepulangnya mestilah dia bercerita. “Sukses!” katanya, “Bason—kadang ia memanggil nama sepeda itu begitu—udah menemani aku ‘meracuni’ orang-orang dengan buku karanganku!” katanya sambil menunjukkan wang hasil jerih-payahnya. Bagi Martin Siregar bersepeda adalah langkah harmoni manusia untuk hidup bersama alam. Sepeda tak mengeluarkan gas beracun. Ya, awalnya alam ini seimbang. Namun lama kelamaan manusia serakah. Segala nafsu dituruti, makanan, kendaraan, tempat tinggal, dan segala kebutuhan hidup lain. Alam kemudian terganggu. Asap pabrik dimana-mana, limbah disana-sini, asap knalpot kendaraan bersileweran, jadilah segala macam (ancaman) bencana: penipisan ozon, banjir, longsor, dlsb. Dalam kearifan China mungkin inilah yang disebut sebagai Yin-Yang. Ketika Yin (energi positif) dan Yang (energi negatif) tak seimbang maka sesuatu akan rusak. Sakit. Bang Martin sendiri mengamini ini dalam Reiki. Entah darimana ia mempelajari Reiki, tahu-tahu ia rajin menawarkan diri untuk membantu orang-orang yang sakit agar diobati dengan energi Reiki yang dimilikinya. “Pelajarilah Reiki, ini cara alam menyeimbangkan kembali tubuh kita yang timpang!” katanya berkali-kali kepadaku. Juga kepada orang-orang. Lalu ia akan menceritakan pengalamannya bagaimana disembuhkan Reiki. “Lihat ini” katanya memperlihatkan bekas luka di dahinya, “dulu ini sangat miring sekali, lebar, sangat jelas parutnya, tapi sekarang sudah lumayakan, kan?” Ya, luka itu dulu memang sangat kentara. Konon sisa-sisa “kenakalan” Bang Martin remaja yang suka kebut-kebutan naik kereta. Satu kali ia terjatuh. Tak sadarkan diri. Koma berhari-hari, sampai akhirnya sembuh dengan parut—bekas luka—yang besar di dahinya. Dan Reikilah, menurut Bang Martin, membuat parut itu sekarang semakin menipis. Reiki sebagai kata Bang Martin, saya tak tahu dia mengutip siapa, berasal dari bahasa Jepang. Rei berarti illahi atawa alam semesta sedangkan Ki berarti energi. Jadi reiki adalah energi semesta—energi illahiah. Saya tak tahu banyak tentang ini, tapi satu kali Bang Martin pernah melakukan transfer (macam duit saja ditransfer ya) energi kepada saya—waktu itu migran saya kumat. Saya yakin tak yakin. Tapi setelah proses transfer berlangsung, saya merasakan sesuatu yang aneh dalam tubuh saya—selain mingrain yang mulai berkurang. Ada semacam getaran yang bergerak dalam tubuh saya, dan anehnya ia bisa saya arahkan sesuai dengan yang saya inginkan—ke kepala, ke mata, ke tangan, dlsb. “Itu energi Reiki Jem. Aneh juga kau bisa langsung rasakan. Tampaknya kau harus belajar sungguh-sungguh!” kata Bang Martin. Tapi dasar saya pemalas, tak pernah energi itu saya pelajari lagi. Tak ditekuni dengan serius—walau dia masih ada di kandung badan. Apalagi menurut Bang Martin, agar sempurna harus ikut lokakarya Reiki. “Tak sempat aku bang!” saya selalu memberi alasan. “Iya pulak ya, menggosok pantat sajalah yang kau sempat!” tetak Bang Martin. Akh, sekarang Bang Martin sudah pindah ke Pontianak—tidak di Medan lagi. Pulang ke kampung leluhur isterinya, mencari kehidupan “baru” di rantau orang. Dan sekali waktu terbit juga rindu bisa ngobrol tanpa batas tentang dunia di pondok sawah yang ada—kok bisa-bisanya ada—di pinggir kota yang sering kami lalui kalau sedang berbonceng sepulang kerja. Tentang anak, reiki, sepeda, buku, tulis-menulis, musik, budaya, politik, filsafat, sampai tentang celana pendeknya yang berkain katun yang coraknya seporadis pudar di sana sini bertanda minta diganti itu. “Akh, lagaknya saja cakapkan dunia, ngurus celana pendeka saja belum lagi becus!” kata Bang Martin kalau tersadar. “Dunia…dunia…” kami sama-sama menggerutu, dilanjutkan tawa melihat ketololan diri sendiri yang berlagak bijaksana lagaknya Confucius padahal baca Mario Teguh saja tak tamat. [*]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun