Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Humor

Antara Toilet, Kawan Lama, dan Hahaha…

8 Juni 2011   06:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:44 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_112759" align="aligncenter" width="654" caption="Anda lebih suka jumpa kawan lama atau toilet? (sumber:musadiqmarhaban.files.wordpress.com)"][/caption]

“Din,” katanya, menyapa kawannya itu, “Saat seperti tadi saya sadar; lebih suka saya jumpa kakus, toilet, daripada kawan lama!”

Oleh JEMIE SIMATUPANG SIAPA TAK SUKA JUMPA kawan lama? Saya bisa garansi 9 dari 10 orang suka jumpa kawan lama. Kalau tidak kenapa juga orang repot-repot memformalisasi kegiatan-kegiatan bertajuk reuniuan; dari reunian SD (bahkan TK dan bisa juga mungkin nanti Play Group) sampai perguruan tinggi. Pastilah karena acara ini menjadi tempat orang-orang bertemu kawan-kawan lamanya; sekedar bercerita, bersenda-gurau, dan tentu saja bernostalgia—Eh, kau ingat waktu kau di straff sama guru BP Fulan gara-gara kau singkap rok si Filin?—dan syukur-syukur dari pertemuan itu bisa berdampak baik dengan nasib awak, semisal seorang kawan yang sukses ngasi projek apa gitu, hahaha… “Asyiklah pokoknya!” Tapi seorang Paman Kawan, yang tak saya sebutkan namanya, tak suka jumpa kawan lama. Dialah saya rasa 1 orang dari 10 orang itu. Tapi selidik punya selidik, bukannya dia 100 prosen tak suka, tapi karena taiming (tertulis: timing) saja yang tak tepat. Jadi satu kali, menurut kawan saya itu, yang juga tak saya sebutkan namanya, Pamannya sakit perut. Entah apa pasal, tiba-tiba saja perutnya terasa melilit—berpilin-pilin. Entah karena salah makan, atau tak cocok minum. Tapi akibatnya sakit lah pokoknya—bayangkan saja seperti manakala Anda terserang diare. Ada sesuatu yang mendesak-desak untuk sesegera mungkin dikeluarkan. Masalah gampang kalau ia sedang di rumah. Celakanya Sang Paman rupanya dalam perjalanan menuju satu tempat. Ia mengendarai kereta (Medan: motor). Langsung ia tancap gas balik arah, kembali menuju rumah kontrakan—waktu itu ia masih kuliah, dan ia mengontrak sebuah rumah dengan beberapa orang kawannya yang lain. Ia terlihat ugal-ugalan. Beberapa mata dipastikan melihat tingkat anehnya. Mungkin inilah yang dibilang orang, “Eh, kayak pembalap ya bawa keretanya!” lalu dijawab, “Pembalap kau bilang, sesak boker dia itu!” (Sssttt…, tak boleh tertawa di atas penderitaan Paman orang lain) Akhirnya sampai juga di kontrakan. Tak perlu didongkrakan lagi kereta itu, dijatuhkan saja di halaman, “Debab!” lalu berlari menuju ke belakang—tepatnya kamar mandi. Tapi ketika sampai, pintu terkunci. Sial. Ada orang di dalamnya. Sang Paman menggedor-gedor. “Dor…dorr…dorr…, Cepat—dengan tiga tanda “!!!”—sudah tak tahan, nih!” “Baru masuk, tanggung!” jawab orang di dalam. Paman kawan saya itu lemas. Pasrah. Keringat dingin mencucur dari dahinya. Ia terduduk pas di depan kamar mandi. Selang 15 menit kemudian barulah kawannya itu keluar sampai bersiul-siul. “Eh, kenapa kau!?” tanya kawannya. Ia tak berniat menjawab. Dengan gontai ia berdiri, membuka celana, dan menumpahkan materi—Anda pasti tahu apa itu, apa perlu saya jelaskan?—yang menempel di celananya ke lobang WC dan menyiramnya dengan air. Byurr…byurrr…byurrr… Beginilah, akhirnya. Selesai itu, dengan wajahnya yang pucat, Paman kawan saya itu menemui kawannya yang ada di kamar mandi tadi. Tidak untuk memarahinya—karena tak tahu siapa yang mau disalahkan. Lalu keluarlah kata-kata—yang menjadi alasan mengapa cerita ini saya tuliskan—dari mulutnya. “Din,” katanya, menyapa kawannya itu, “Saat seperti tadi saya sadar; lebih suka saya jumpa kakus, toilet, daripada kawan lama!” Orang yang disebut “Din” takjub. Ia melihat kejujuran dalam kata-kata bijak Sang Kawan. Ia juga tahu kalau tadi kawannya itu—Paman kawan saya itu—sedang ada janji dengan seorang kawan SD-nya dulu dari kampung. Mestilah ia telah membatalkan janjinya, dan milih berbalik ke kontrakan untuk berjumpa WC. Lalu, entah siapa yang memulai—tapi yang jelas kawannya yang ada di WC tadi—kata-kata itu, berpindah dari mulut ke mulut, dan menjadi populer seantero kampus tempat Paman kawan saya itu kuliah. Bahkan ketika mereka melakukan reuni, beberapa kawannya masih saja menyindir, “Eh, katanya lebih suka jumpa kakus!”. Bah, ada-ada saja. Tapi ngomong-ngomong Anda sendiri pernah merasakan lebih suka jumpa kakus daripada kawan lama tidak? Hmm…, jangan cuma senyum-senyum, ngaku saja! Hahaha… [*] JEMIE SIMATUPANG kompasianer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun