Bung,
Artis mau jadi politisi. Politisi mau jadi artis. Kemudian carilah 8 bedanya.
Sekarang artis lomba-lomba jadi politisi. Demokrasi tak membatasi, kan prinsipnya semua orang boleh memilih boleh pulak dipilih. Lah, semakin banyak dikenal orang semakin banyaklah yang memilih. Siapa lagi yang paling banyak dikenal orang selain artis? Selebritis? Tiap hari orang itu masuk di tv, ada gambarnya di majalah, terdengar suaranya di radio. Jadi ketika orang itu calon jadi anggota dewan, jadi bupati, banyaklah yang milih.
Syukur-syukur pulak punya bupati yang artis—kan nanti tak sibuk-sibuk dia cari muka di depan tv aja kerjanya. Udah bosan. Tak sibuk diwawancarai wartawan harian. Kan udah sering masuk infotaiment. Untung-untung dengan begitu bisa fokus urus soal rakyat yang butuh kerja, sembako murah, berobat murah, sekolah murah …
Atau tak pun begitu, ya tak apa-apa juga, paling tidak kita bisa bilang, “Oi, alangkah cantiknya bupatiku” atau “Wow, walikotaku keren!”
Bung,
Yang lebih pening awak lagi kan politisi, politikus mau jadi artis ini. Mumpung jadi politisi kan bisa masuk di TV. Apalagi kalau bicara waktu sidang di gedung dewan agak vokal-vokal sikit, nah langsung itu kamera ambil habis mukanya. Nah, besok-besoknya bolehlah dia diundang di stasiun tv, becakap-cakap, kata Bang Charil Sani, “Sambil makan ombus-ombus”… Kan ditengok orang seluruh indonesia juga itu, jadi artislah dia, syukur-syukur habis tak jadi politikus lagi ada rumah produksi yang nawarin main sinetron, kalau tidak ya nawarin bikin album, kan banyak politisi itu sekarang yang jago kali “nyanyi”—tapi selain Indonesia Raya dan Garuda Pancasila.
Gitulah. Artis mau jadi politisi. Politisi mau jadi artis. Apa bedanya? Jangankan mencari 8 beda—macam kuis gambar yang sering muncul di koran lokal minggu itu—satu aja awak angkat tangan: tak dapat.Orang nasib awak macam gini-gini juganya, daripada mikirin orang—yang memang tak mikirin awak—elok lagi kalau ada duit bikin gulai lomak. Sedap makan, Ya tak?
Salaman.
Jemie simatupang
NB: