[caption id="attachment_177047" align="aligncenter" width="640" caption="Bumi Manusia dan beberapa koleksi buku Pram yang lain (dok. jemie simatupang)"][/caption]
TAK ADA KAWAN yang setia seperti buku, kata Ernest Hemingway, pengarang asal Amerika itu. Senada dengan itu, dengan ½ berlelucon, Graucho Marx (Graucho bukan Karl) yang memang lucu itu bilang: di samping anjing, buku adalah kawan yang setia bagi manusia. Di dalam diri anjing ada sisi yang terlalu gelap untuk dibaca, tambahnya. Sedang buku tetap adalah buku yang terbuka yang selalu siap dibaca, diketahui setiap inchi isinya, itu tambahan saya.
Dan ternyata, buku juga kawan yang menguntungkan—ya secara pengetahuan, ya juga secara ekonomi.
Kecintaan saya pada buku bermula pada “Bumi Manusia” karangan Pramoedya Ananta Toer semasa menjadi tahanan rezim Orde Baru di Pulau Buru. Tahun 1999. Saya baru lulus SMA. Reformasi baru saja bergulir; teriakannya sekali dua masih terdengar di sana-sini. Buku itu saya temukan di rak sebuah perpustakaan di kota saya. Saya takjub dengan sampulnya. Ketika buku lain tampil dengan halaman depan yang menarik, dengan gambar, tulisan, dan warna yang meriah, “Bumi Manusia” tampil dengan huruf saja: judul, pengarang, dan penerbit. Kertasnya juga kekuning-kuningan.
“Buku apa ini?” pikir saya. Tolol. Waktu itu saya belum mengenal sosok Pram, begitu saya ketahui selanjutnya Pramoedya Ananta Toer di sapa, yang ternyata sudah menjadi perbincangan hangat, pro-kontra, di seluruh pelosok negeri ini—bahkan dunia.
Entah setan mana yang menghasut, buku itu saya baca habis dalam (meminjam Pram) seharmal—sehari semalam. Biasanya untuk buku setebal itu ( 353 halaman) saya, kalaupun tertarik, bisa jadi menghabiskan seminggu—bahkan teramat sering tak selesai. Mengamini tuduhan Seno Gumira Ajidarma dalam “Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara”, waktu itu membaca buku—terlebih sastra—bagi saya adalah pekerjaan sia-sia belaka. “Apa gunanya?”
Tapi bermula dengan “Bumi Manusia” pandangan itu berubah. “Ini layaknya seperti belajar sejarah dengan cara lain,” komentar saya. Lebih asyik, tanpa harus merasa digurui. Bumi Manusia sendiri memang menceritakan tentang sejarah Indonesia di penghujung abad 18 memasuki abad 19. Kolonial masih berkuasa waktu itu. Pram mengangkat sosok Minke yang tak lain ada Tirto Adi Surjo, perintis organisasi modern Sarekat Priyayi sekaligus perintis jurnalisme nasional. Ini tentu lain dari yang diajarkan di bangku sekolah. Pram memang hendak menulis sejarah versi lain dari yang diajarkan rezim yang berkuasa.
Setelah itu saya keranjingan dengan Pram. Beruntung itu sudah reformasi. Buku-buku Pram kembali dicetak setelah mengalami pelarangan oleh rezim Orde Baru (walaupun pelarangannya belum dicabut) sehingga mudah didapat. Satu per satu buku Pram saya kumpulkan. Tetralogi Pulau Buru, Arok Dedes, Arus Balik, dan buku-buku awal Pram seperti Cerita dari Jakarta, Di Tepi Kali Bekasi, dlsb.
Yang menarik adalah saya menemukan buku Cerita dari Blora dan Keluarga Gerilya di salah satu toko buku bekas di Medan. Buku lumayan tua. Masing-masing terbitan 1952 dan 1962—yang jelas saya belum lahir waktu itu, entah Anda. Dengan Rp. 50 ribu kedua buku itu saya tebus dengan penuh suka cita. Di kalangan pecinta Pram, buku itu bisa tembus Rp. 300 ribu per bukunya, bahkan bisa lebih.
Sekarang paling tidak saya memiliki 40an judul buku Pram, baik yang cetakan baru maupun cetakan lama.
“Jejak Langkah”
Dari kecintaan mengkoleksi buku-buku Pram, juga buku-buku lain, saya bersama seorang kawan yang mempunyai hobi yang sama, menggagas membuat sebuah toko buku bekas online di facebook. “Jejak Langkah” begitulah namanya. Nama itu jelas terinspirasi dari salah satu judul buku Pram. Sisi lain, juga merupakan jejak langkah awal kami merintis profesi baru sebagai pedagang toko buku bekas. Alangkah asyiknya kalau bisa bekerja sesuai hobi yang kita cintai, pikir kami.
Mengapa bekas? Buku bekas? Tak sekedar karena harganya murah (dan ternyata beberapa buku bekas berharga lebih mahal dari yang baru), tapi karena buku bekas selalu punya banyak cerita di baliknya. Punyai nilai historis—yang tak dimiliki buku baru. Misalkan saja, buku-buku Pram terbitan awal punya nilai tinggi karena terbitan di tahun-tahun revolusi masih bergelora di negeri ini. Juga misalnya karena buku itu dilarang. Buku “Hoakiau di Indonesia” misalnya dilarang rezim Soekarno, dan Pram sendiri akhirnya dibui karenanya. Begitu juga buku-buku Pram yang diterbitkan Hastra Mitra. Terlebih sekarang Hasta Mitra tak lagi menerbitkan buku-buku itu, jadilah buku itu langka dan menjadi koleksi yang bernilai.
Modal awal kami adalah beberapa koleksi kami yang ganda. Saya misalnya, punya “Bumi Manusia” tiga buah. Jadi 2 diantaranya bisa dilepas. Yang lain kami kumpulkan dari toko-toko buku bekas di seputaran Medan, terutama dari toko buku bekas kawasan Titi Gantung (sekarang berada di Lapangan Merdeka, Medan).
Alhamdulillah, pelanggan “Jejak Langkah” lumayan walau tak bisa dibilang banyak. Dan karena berjualan online, bisalah menyombongkan diri dengan mengatakan: tersebar dari Aceh sampai Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sulawesi—karena memang belum ada dari Papua.
Dan dengan otomatis kami mendapatkan keuntungan ekonomi pula—paling tidak bisa menambah uang jajan Sophie, anak sulung saya, hehehe ....
Dengan berjualan begini saya juga berjumpa dengan orang atau komunitas pecinta buku bekas (terutama Pram) yang juga berjualan. Kami sering bertukaran koleksi. Bahkan sekarang saya sedang dalam proses tukar koleksi dengan pedagang buku dari Malaysia; saya menukar buku-buku terbitan Indonesia yang dipilihnya dengan buku-buku Pram terbitan edisi Malaysia.
***
Yah, jaman kebebasan sekarang memang mengasyikan. Dulu menjual buku-buku Pram saja bisa dituduh subversif. Komunis. Anti Pemerintah. Dlsb. Buku Pram dulu menyebar melalui “bawah tanah”, dari orang ke orang dengan resiko penjara kalau saja ketahuan. Dibaca sembunyi-sembunyi. Sekarang Tidak lagi. Bahkan kewenangan Jaksa Agung melarang buku telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi—karena memang bertentangan dengan UUD.
Tapi begitu ada saja kelompok yang tak suka ini. Atas nama keyakinannya, mereka melarang beredarnya sebuah pemikiran—termasuk yang dalam bentuk buku. Mereka membubarkan diskusi yang membahas buku. Ironisnya negara gagal melakukan perlindungan, bahkan tampak lebih sering mengakomodir sekelompok orang ini, bukan malah menjadi benteng yang melindungi agar diskusi tetap berlangsung sebagai sebuah kebebasan.
Yang terbaru misalnya ketika diskusi buku Allah, Liberty, and Love edisi Indonesia karangan Irshad Manji yang dilakukan oleh sebuah komunitas di Jakarta dibubarkan dengan alasan yang mengada-ada: tak ada izin keramaian. Padahal karena ada sekelompok orang yang mendesak agar diskusi itu dibubarkan karena dinilai buku itu sesat.
Lucunya lagi, biasanya, ketika ditanya kepada orang-orang yang ingin melarang sebuah buku, “Anda sudah membaca buku yang Anda haramkan itu?”
“Belum!”
“Loh, kok tahu isinya sesat?”
“Pokoknya haram!”
“Haram cemana!”
“Lah, jelas penulisnya saja atheis!”
atau lain kali,
“Penulisnya homo!”
Bah! Bahkan dari seekor anjing sekalipun kita bisa mendengarkan sebuah kebijaksanaan. Dan “sesat”nya sebuah wacana haruslah dilawan dengan wacana, bukan dengan kekerasan.
Yang lebih lucu lagi, ketika buku-buku marxisme dilarang di Indonesia, buku karangan Karl May pun ikut menjadi korban. Gara-garanya: nama Karl Marx penggagas marxisme itu dan Karl May sama-sama bernama depan Karl (dan entah mereka tahu apakah keduanya sama-sama Jerman). Tapi yang jelas keduanya tak ada hubungan sama sekali.
Memang selalu saja ada yang salah kaprah. Tidak seperti Hemingway yang menyatakan buku adalah sahabat—walau sebagaimana “sesat”nya buku itu—tapi malah menjadikannya musuh, tanpa tahu yang mana yang salah dari buku itu. Alamak! [*]
JEMIE SIMATUPANG, pedagang buku bekas online asal Medan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H