Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Carilah Ilham Walau Sampai ke Toilet

2 Mei 2012   08:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:50 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13359411021006811283

[caption id="attachment_174935" align="aligncenter" width="600" caption="carilah inspirasi walau sampai di dalam jamban (sumber:moviemobsters.com)"][/caption]

MENULIS—DAN MENCIPTA UMUMNYA—membutuhkan yang namanya ilham. Inspirasi. Ilham atau inspirasi itu bisa datang dimana saja—dan kapan saja. Archimedes, misalnya, seperti  diceritakan guru SD kita dulu, menemukan ilham untuk hukumnya yang terkenal di kamar mandi umum.

Alkisah pada satu hari yang belum diketahui nama dan tanggalnya, Archimedes dimintai Raja Hieron IIuntuk memeriksa mahkotanya apakah emas asli atau bercampur dengan suasa.

“Des, kau ini kan jenius, tak kalah sama einsteien (padahal einstein waktu itu belum hidup), bisa tidak kau tes mahkota baruku ini, tercampur dengan loyang tidak?” pinta Sang Raja, “Saya curiga dengan tukang pembuatnya; firasat saya dia telah menipu saya,”

“Tabek Paduka. Hamba usahakan. Beri hamba waktu 1 minggu!”

“Satu minggu? Kelamaan! Tiga hari bagaimana? Soalnya saya akan pakai mahkota ini pas acara perayaan tahunan—dan itu 4 hari lagi,”

“Saya usahakan paduka!”

(Ada yang meragukan dan bertanya, "Apa benar dialognya begitu?" Saya jawab, "Itu bisa-bisanya saya saja!")

Archimedes lalu menerima mahkota tersebut dari raja. Ia bawa pulang ke rumahnya. Sepanjang jalan Ia berpikir: bagaimana cara saya menentukan apakah mahkota ini asli 100 persen emas atau campuran? Karena letih berjalan—dan berpikir—Ia lalu singgah ke pemandian umum. Mendinginkan diri dan isi kepala. Ia menceburkan dirinya dalam bak. Burr! Dan sebagian air yang ada dalam bak tumpah ke lantai. Archimedes takjub dengan air yang tumpah itu, dan seketika itu pula ia menemukan jawaban dari tugas yang diberikan raja kepadanya. Ia bangkit berdiri, dan berlari sepanjang jalan ke rumah dengan telanjang bulat. Setiba di rumah ia berteriak pada istrinya, "Eureka! Eureka!" yang artinya "sudah kutemukan! sudah kutemukan!" (lihat misalnya, wikipedia.org)

Saat Archimedes berendam dalam bak mandinya, air dalam bak mandinya tertumpah keluar sebanding dengan besar tubuhnya. Archimedes menyadari bahwa efek ini dapat digunakan untuk menghitung volume dan isi dari mahkota tersebut. Dengan membagi berat mahkota dengan volume air yang dipindahkan, kerapatan dan berat jenis dari mahkota bisa diperoleh.

Berat Jenis mahkota akan lebih rendah daripada berat jenis emas murni apabila pembuat mahkota tersebut berlaku curang dan menambahkan perak ataupun logam dengan berat jenis yang lebih rendah (dikutip dari erabaru.net)

Dengan itu ia membuktikan bahwa mahkota raja dicampuri dengan material lain. Tak tulen emas. Tukang yang membuatnya lalu dihukum mati.

Itulah sepenggal cerita Archimedes dengan penemuan ilhamnya yang telah melegenda itu.

Lalu bagaimana dengan menulis?

Saya kira tak jauh beda. Butuh ilham atau inspirasi juga. Dan macam-macam cara orang mencari ilham. Ada yang menunggu, ada yang mencari. Dalam “Mengarang itu Gampang” karangan Aswendo Atmowiloto dikatakan ilham bisa dicari dengan berjalan-jalan, melihat-lihat, atau mendengar-dengar. Melihat rumah sakit, warung, jalan raya, dlsb. Ada yang berlayar seperti dilakukan Hemingway—dan ia menghasilkan The Old Man and The Sea. Tapi ada juga yang bisa ditunggu di tempat khusus; di kamar mandi misalnya—ketika jongkok di kakus. Penulis tipikal ini misalnya A.A Navis, penulis Robohnya Surau Kami itu. Navis betah berjam-jam di kamar mandi demi mencari dan menyerap ilham.

“Karena terlalu sering jongkok, ia sakit ambeien” tulis Aswendo—sebagiamana pengakuan Navis sendiri.

Ilham hanyalah berupa pencetus saja. letikan saja. Perangsang saja. Pemantiknya saja. Ia belum jadi barang jadi. Ia kadang hadir tak lebih dari satu kalimat atau bahkan satu kata. Ia kemudian harus diturunkan menjadi tulisan utuh. Aswendo bahkan menyatakan harus diturunkan menjadi ide (misalnya saja ketika melihat warung nasi, itu menjadi ilham, lalu harus diturunkan mau menulis bagian mana dari warung nasi? Penjualnya? Pembelinya? Makanannya? dlsb—itu disebut sebagai ide, kira-kira kata Aswendo).

Iwan Simatupang, pengarang yang sering disematkan predikat eksistensialisme itu, menyatakan kalau, “... rangsang atau inspirasi adalah kurang lebih denyaran (glimp) atau kesan belaka dari suatu kehadiran, yang kepada kita dikodratkan untuk mencetuskannya” Walaupun lain kali ia membantah perlunya ilham dalam menulis: Ilham? Inspirasi? Nonsens! tulisnya. (lihat: Inspirasi? Nonsens! Novel-novel Iwan Simatupang karangan Kurnia J.R)

Saya sendiri mendapatkan ilham menulis tulisan ini karena tiba-tiba saya teringat tentang kata-kata eureka-nya Archimedes. Eureka! Datang begitu saja. Dan selanjutnya saya terpikir bagaimana kalau itu dihubungkan dengan proses mencari ilham dalam menulis?—paling tidak cerita archimedes bisa jadi pembuka, pikir saya.

Dan saya mendapatkan ilham ini ketika jongkok di--tanpa maaf--WC. Saya memang sering memikirkan dan terpikirkan banyak hal ketika berada di tempat itu. Pun begitu, saya tak mau menderita ambeien seperti AA. Navis—juga tak mau seperti Archimedes, langsung keluar dari kamar mandi dan berlari-lari telanjang sambil berteriak, “Eureka! Eureka! Eureka!”

JEMIE SIMATUPANG, kompasianer asal(-asalan) Medan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun