[caption id="attachment_120617" align="aligncenter" width="464" caption="Sedapnya nyanyian sari roti nazaruddin (sumber:persindonesia.com)"][/caption]
Kalau mereka jujur, mana bisa mereka sekarang memimpin negeri ini, jadi penguasa di negeri ini, Mat. Coba saja kalau mereka ungkapkan jujur-jujur waktu kampanye dulu: saya pernah korupsi, pernah kolusi, pernah main politik uang, mestilah rakyat tak memilih mereka
Oleh JEMIE SIMATUPANG NAZARUDDIN MEMANG SELALU sedap dibicarakan di tengah kehidupan yang semakin sulit—ketika harga-harga merangkak naik menjelang Ramadhan. Nikmat. Sebagai penawar rasa haus bagi rakyat yang sebenarnya juga keleparan. Sesedap dan senikmat sepotong roti kelapa yang ditemani secangkir kopi Sidikalang. Nyam dan slrup! Beberapa waktu lalu, setelah serangan seporadis dengan BBM-nya ke sejumlah petinggi di partainya, Nazar kembali melakukan tembakan langsung ke rekan-rekannya. Kali ini wawancara langsung dengan sebuah stasiun TV swasta. Tanpa tedeng aling-aling, Nazaruddin, yang statusnya jadi tersangka proyek wisma atlet itu, membeberkan politik uang atawa yang londonya money politic yang dilakoni kawan-kawannya di Demokrat—kawan yang sekarang berbalik menyerang dan mencaci-makinya—benar saja kalau dalam politik tak ada musuh abadi sebagaimana tak ada juga kawan yang abadi. “Tiji-tibeh,” bisa jadi kata Nazar, “Mati siji mati kabeh!” Siang ini Cok Kompas dan Mat Tanduk sedang asyik membaca postingan-postingan di kompasiana.com. Apabila tertarik dengan satu artikel mereka membacanya, dan kadang membahasnya bersama, untuk kemudian membubuhkan jejak, berkomentar, lalu beralih ke artikel-artikel lain. “Mat, udah kau baca artikel tentang Nazaruddin ini,” kata Cok Kompas. “Yang mana, Cok?” “Itu yang membeberkan soal suara lain ketika Nazaruddin di wawancarai ekslusif di Metro TV kemarin. Konon ada suara jingle Sari Roti di sana,” “Sari Roti yang sering lewat di depan itu kan?” “Yang mana lagi? Tapi biar jelas, kita cek sama-sama dulu, ini ada link videonya di Youtube,” Dua karib itu membuka link yang tersedia. Benar saja, pada menit kesekian, ada suara toet-toet mirip jingle Sari Roti yang biasa keliling di jalan-jalan di kota-kota besar di Indonesia. “Bah! Gila ini. Bisa jadi Nazaruddin di Indonesia,” Mat Tanduk yang pertama komentar, “kan belum ada agen Sari Roti di negeri lain?” “Ya, bisa jadi. Artinya kita ditipu mentah-mentah sama penguasa di negeri yang bilang Nazaruddin di Singapura, lalu pergi lagi entah negeri mana,” “Rezim yang penuh kebohongan,” kritik Mat Tanduk. “Kalau mereka jujur, mana bisa mereka sekarang memimpin negeri ini, jadi penguasa di negeri ini, Mat. Coba saja kalau mereka ungkapkan jujur-jujur waktu kampanye dulu: saya pernah korupsi, pernah kolusi, pernah main politik uang, mestilah rakyat tak memilih mereka,” sentak Cok Kompas. Mat Tanduk tak menjawab. Ia hanyut dalam aktifitas blogging. Begitu juga Cok Kompas, terlihat sibuk menorehkan komentar di artikel yang baru saja di bahasnya dengan Mat Tanduk. Tak lupa ia membubuhkan rate aktual. “Tapi Cok, akhirnya bukan persoalan Nazar di luar negeri atau dalam negeri, tapi serius apa tidak penguasa ini menyelesaikan kasusnya,” Mat Tanduk memulai pembicaraan lagi. “Cemana mau serius, Mat. Belum diseriusan saja, sudah terbongkar berbagai keborokan partai penguasa, lah kalau sampai diseriusan lagi, apa tidak mereka menepuk air yang akhirnya membasahi diri sendiri!” “Ya pulak!” MATAHARI SORE MERANGKAKI Medan yang dulu berjuluk Tanah Deli. Hangat bersahabat. Angin bertiup sepoi-sepoi. Mat Tanduk tampak terkantuk-kantuk, di depan laptop jangkriknya. Mulutnya agak terbuka sedikit, menampakan susunan giginya yang tak rapat. Cok Kompas hanya tersenyum-senyum saja melihat tingkah kawannya itu. Tiba-tiba di luar terdengar nyanyian merdu dari loadspeaker pedagang roti keliling. “Toet..toet..toet… sari roti roti sari roti…” Mat Tanduk hilang kantuknya. Mukanya berubah berseri. “Cok, biar aku beli roti kau buat kopi ya,” katanya, “biar hilang ngantuk ini.” “Setujulah!” Mat Tanduk lalu memanggil tukang roti. Memesan beberapa potong, roti coklat, kelapa, dan nanas. Cok Kompas juga sudah selesai menyeduh 2 cangkir kopi khas sidikalang. Harumnya sudah memenuhi seluruh ruangan. “Mantap, Mat! Kopi Sidikalang di tambah sari roti tak kalah nikmatnya dengan nyanyian Nazaruddin dari tempat persembunyiannya,” Slrup dan Nyam! [*] JEMIE SIMATUPANG “kawan” dekat Cok Kompas dan Mat Tanduk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Puisi Selengkapnya