[caption id="attachment_118893" align="aligncenter" width="584" caption="Tambah besar, panjang, dan menggurita kemana-mana! (sumber:komputerunik.blogspot.com)"][/caption]
Oleh JEMIE SIMATUPANG KALAU ANDA PIKIR ini soal seks Anda kecele. Ini soal politik. Kekuasaan. Walaupun ujung-ujungnya nanti soal seks juga, hahahaha… Yah, seks dan kekuasaan itu tak jauh-jauh amat. Mirip-mirip. Kalau tidak mengapa juga Mariska Lubis sampai bikin buku: “Wahai Pemimpin Bangsa, Belajar dari Seks, Dong!!!” Menurutnya, seks yang baik akan berujung juga pada pengelolaan kekuasaan yang baik pula. “Ya juga ya!” setuju Cok Kompas ketika selesai membabat habis buku nan menarik itu beberapa bulan yang lalu. *** BULAN-BULAN BELAKANGAN dunia politik di negeri ini dihebohkan dengan isu gonjang-ganjing di tubuh partai penguasa. Demokrat. Berawal dari terkuaknya skandal yang dilakukan Nazaruddin, bendahara partai tersebut, yang melakukan suap-menyuap proyek pengadaan gedung atlit ke publik. Issu bergulir kemana-mana. Sampai akhirnya Nazaruddin dipecat dari bendahara partai. Tahu statusnya tak aman di negeri ini, Ia lari ke luar negeri. Dari negeri orang ia melakukan serangan balik kepada para koleganya—yang menyingkirkannya. Melalui BBM—yang pastinya tak bersubsidi—ia beberkan kalau orang-orang penting di partai itu juga punya borok yang kurang-lebih sama dengan dirinya. Gara-gara kasus ini merabak kemana-mana, citra partai berlambang—yang kata Budiarto Shambazy—mirip Marcedes Benz ini jatuh ke jurang. Anjlok. Menurut beberapa survey pemilih demokrat kapok, dan tak akan memilih pertai ini di 2014 kelak. Akhirnya, ketua dewan pembina yang juga presiden, harus turun tangan perbaiki citra yang kian coreng-moreng. “Wah, gara-gara kasus ini kayaknya presiden kita itu tambah keprihatinannya ya, Mat. Dulu prihatin soal SMS yang menghina dirinya, soal teroris yang menjadikan fotonya sasaran tembak, prihatin soal Ruyati, sekarang prihatin soal Nazaruddin dan serangan media kepada partai yang mempresidenkannya,” ujar Cok Kompas pada Mat Tanduk di sela-sela mereka ngeblog di sebuah warnet. “Begitulah, Cok! SBY kan memang orang yang jago mengolah keprihatinan. Dulu gara-gara orang prihatin sama dia karena dicuekin Mega, ia lalu menang pada pemilu berikutnya,” jawab Mat Tanduk sekenanya. Lalu ia menambahkan, “Mungkin dengan dia terus-terus prihatin kemudian orang juga prihatin kepadanya, sehingga nanti 2014 demokrat bisa menang lagi, dan orang yang disiapkannya bisa maju jadi RI-1.” “Iya ya. Tapi kapan dia mengurus soal rakyat kalau prihatin melulu? Soal TKI? Apa kabar satgas bentukannya itu? Soal pendidikan yang terus menjulang tinggi? Susah loh sekarang, anak SD saja harus rebutan kursi biar bisa belajar,” Cok Kompas menyahut sambil menyeruput Teh Botol yang tak pencerita sebutkan mereknya (enak saja, kalau mau disebutkan, ngiklan, ya bayar dulu, biar fifty-fifty nanti sama kompasiana, hahaha…) “Akh, ngapain mikirin rakyat, yang pentingkan bagaimana memikirkan kekuasaan bisa bertahan sampai 2014, dan selanjutnya bisa menang lagi,” jawab Mat Tanduk, tak mau kalah dengan Cok Kompas segera menyuruput minuman soda+susu-nya. Slrrruuupp! Sedap. “Kok saya jadi teringat Mak Erot! Mestinya SBY dan politikus lain yang sekarang sedang mempertahankan kekuasaannya mati-matian itu juga berkunjung ke tempat prakteknya,” celutuk Cok Kompas datang ide nakalnya. “Uhuk, Apa? Mak Erot?!” tersedak Mat Tanduk mendapati pemikiran Cok Kompas, sambungnya, “Jangan asal ngomong, Cok! Nanti jadi bahan keprihantinan SBY lagi loh: ‘saudara-saudara sebangsa setanah air, saya prihatin karena ada rakyat saya yang bernama Cok Kompas, yang kabarnya ngeblog di kompasiana, menganjurkan saya datang ke Mak Erot. Emang eike cowok apaan!’ Kan tak lucu, Cok!” “Yang tak tahunya kau Mat, Mak Erot itu kan jago buat barang itu jadi PBTL alias Panjang, Besar, dan Tahan Lama. Lah, bale tak bale kan dengan tujuan politik yang awak bilang tadi, bagaimana barang bernama kekuasaan itu bisa ‘Panjang’ sepanjang waktu, sepanjang Indonesia, kalau boleh sepanjang dunia, juga ‘Besar’ semakin besar kekuasaan, semakin baik, dan ‘Tahan Lama’ kalau bisa sampai ke anak cucu kelak,” ujar Cok Kompas, membangun basis argumentasinya. Simpulnya, "Dengan begitu birahi kekuasaan mereka kan bisa semakin besar!" “Halah! Ntah apa-apalah analisamu, Cok! Tapi ngomong-ngomong soal PBTL kau bisa antarkan aku tidak ke cabang Mak Erot di Medan ini!?” “Bah, mau sebesar apa lagi, Mat!” [*] JEMIE SIMATUPANG dipercaya tokoh rekaannya: Cok Kompas dkk. untuk membeberkan cerita-cerita mereka di kompasiana.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H