[caption id="attachment_117669" align="aligncenter" width="640" caption="semakin memperteguh ironi. (karya: agus suwage, sumber:daman.co.id)"][/caption] Mbak,
SAYA BAYANGKAN IBU RUYATI SABTU PAGI ITU. Tangannya diikat kebelakang. Matanya ditutup dengan pita—atau sejenis sarung yang ditutupkan ke seluruh kepala—warna hitam. Hitam. Sehitam penghihatannya hari itu—sehitam nasib yang menimpanya beberapa bulan belakangan dan puncaknya hari itu.
Akh, ini bukan soal warna. Apa bedanya merah atau hitam, karena apa pun itu detik-detik kemudian seorang algojo yang memakai topeng menghunus pedangnya yang tajam tepat ke tengkuk Ruyati. Ia menggelinjang beberapa bentar untuk kemudian mati. Maaf. Saya tidak hendak mengekspoloitasi kekerasan. Tapi apa gunanya kita berlemah lembut, bersopan-santun, berkata seolah-olah semua sedang baik-baik saja, padahal yang berlaku adalah sebaliknya?
Apa bedanya?
Mbak,
Ruyati adalah TKW. Ia—kalau boleh saya bilang; —nekat berangkat ke Arab Saudi karena memang negeri yang konon katanya gemah ripah loh jinawi ini tak sanggup lagi memberi “makan” rakyatnya. Sadar itu, Ruyati dan beribu orang lain pergi mencari uang ke negeri lain—saat para penguasa sedang sibuk mencuri wang mereka untuk dijadikan wang milik sendiri. Tak menjadi apa-apa, sekedar menjual tenaga sebagai pembantu rumah tangga. Ya. Hidup di negeri orang kadang memang lebih sedap. Asyik. Kerja sebagai PRT saja, bisa bikin kaya, akh, paling tidak bisa kirim wang tiap bulan ke kampung untuk sekedar makan kelurga yang ditinggalkan, dan selebihnya bisa dibelikan sawah, kerbau, dan rumah yang doyong itu sudah direnovasi pula—pakai keramik lagi.
Tapi naas menimpa Ruyati. Ia kali ini bertukar majikan. “Majikannya saya galak,” katanya satu kali pertelepon kepada anaknya di kampung. Kerap menyiksa. Tiap kali Ia menuntut haknya, semisal gaji, Ruyati di siksa. Tak diberi makan, dipukul, ditendang, dlsb. Sampai satu saat, Ibu yang sudah berumur 50-an itu tak tahan lagi. Ia membela diri. Dan majikannya itu terbunuh.
Ruyati ditahan. Ia terancam Qishas. Hukum setimpal dengan apa yang dilakukannya. Pendeknya: karena ia telah membunuh, maka Ruyati juga dibunuh. Demi tahu ini, seorang anak kandung pertiwi terancam mati, anehnya penguasa diam saja. Seoalah tak tahu apa-apa. Padahal sudah banyak pihak yang teriak-teriak ke kuping-kuping mereka: “Ini loh Ruyati, anak negeri ini, terancam hukuman mati di negeri orang!”
Tapi tetap saja: mereka bergeming.
Mbak,
Anda benar. Mereka sebenarnya tidak diam saja. Mereka ada. Terlebih ketika Ruyati dan kawan-kawannya mengalirkan sebagian penghasilannya kepada kas negara. Akh, mereka diasanjung sedemikian rupa, disematkan lencana: Pahlawan Devisa. Ungkapan yang saya yakin Ruyati sendiri tak tahu apa maknanya terlebih ketika ia tak mendapat pembelaan maksimal sebagai layaknya seorang warga sebuah negara ketika ia tertimpa soal.
Dan saya yakin lagi, Ia, Ruyati, tak paham apa yang dipidatokan SBY, presiden negerinya itu, beberapa waktu saja sebelumnya—sebelum algojo merenggut nyawanya. Pak SBY yang lemah lembut nan gemulai itu (yang orang melayu bilang: semut pun tak mati apabila diinjaknya) itu bilang di depan perwakilan bangsa-bangsa di dunia: buruh adalah mesin pembangunan dan kemajuan. Ini yang menjadikan buruh sebagai bagian terpenting dalam masyarakat. Mereka juga pemain penting di era baru keadilan sosial—kami menyebutnya (lagi-lagi dia mengulang) “Pahlawan Devisa” (www.republika.co.id). Lalu katanya, "Kita harus mendukung ILO Convention on Decent Work for Domestic Workers yang saya yakini akan diadopsi dalam sesi konferensi buruh se-dunia”
(Bah! Apa pula itu ILO Convention on Decent Work for Domestic Workers?)
Ya, tiap orang boleh bertepuk tangan. Plok! Plok! Plok! Pidatonya apik. Isinya mencitrakan bahwa negeri ini sangat melindungi buruhnya—termasuk yang migran—bahkan SBY tak segan-segan mengajak negeri lain agar melindungi buruh. Seolah, ia sendiri adalah orang terdepan yang melindungi buruh.
Tapi tak berapalama, kita kemudian terhenyak. Pidato itu ternyata manis di forum saja. Lah, tak lama berselang Ruyati di hukum pancung di negeri orang. Dan kita tahu, ia tak mendapatkan pembelaan yang maksimal. Seolah ia bukan warga negara Indonesia. Ia hadapi masalahnya sendiri. Ia tak pernah didampingi pengacara hebat, tak pernah minta diperingan hukumannya, tak pernah diselediki mengapa sampai ia membunuh, dlsb-nya hak yang mestinya ia terima. Bahkan ketika menghadapi al-gojo, tanpa siapa-siapa: keluarga, sahabat, dan tentu saja negara tempatnya dilahirkan.
Dalam sunyi, pahlawan devisa itu meregang nyawa.
Mbak,
Akhirnya kita sadar lagi. Pidato SBY di Jenewa tak lebih sekedar pembangunan citra saja, sebagai yang telah dilakukannya selama ini: “Saya orang terdepan berperang melawan korupsi!” tak tahunya ketika orang-orang terdekatnya terjerat korupsi—seperti Nazaruddin—ia tak bisa berbuat apa-apa kecuali menyembunyikan tubuhnya dalam kokohnya istana. Tak pelak seperti kura-kura yang menarik kepalanya ke dalam cangkangnya. Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.
Akh, mungkin juga Sang Kura-kura juga takut kepalanya dipancung.
Medan, 20 Juni 2011
Tabek!
Jemie Simatupang
NB:
Turut berduka-cita dengan apa yang menimpa Ruyati dan seluruh tenaga kerja yang tak mendapat perlindungan dari negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H