Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kleptokrasi; Ketika Penguasa Sakit Jiwa

14 Juni 2011   05:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:32 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_113911" align="aligncenter" width="605" caption="Menunggu Godot sambil berendam tentu lebih nikmat (Karya Agus Suwage, Sumber:christies.com)"][/caption]

Bayangkan saja, bagaimana DPR bisa mengontrol eksektutif kalau mereka sama-sama korup? Bagaimana juga hakim bisa mengadili "DPR" dan "pemerintah", kalau toganya juga penuh dengan sogokan? Mereka seakan korupsi berjamaah—dan tahu posisinya kapan berdiri di depan dan kapan di belakang.

Oleh JEMIE SIMATUPANG KORUPSI, kalau kita ingat iklan sekolah gratis di TV dulu, ada di mana-mana. Menyempil—bahkan jelas-jelas nongkrong—di semua lini trias politika di negara ini. Ya, pemerintahnya (eksekutif), juga DPR-nya (legislatif). Bahkan benteng terakhir harapan rakyat—yang bisa memberi rasa keadilan ketika orang-orang yang ada di eksekutif dan legislatif memakan uang rakyat—tak sungkan-sungkan ambil bagian. Lembaga Yudikatif pun tak bersih dari korupsi. Kalau ketiga pilar penguasa itu dicengkram oleh gurita korupsi, maka sebagai catatan kompas hari ini (14/06), negara mengarah menjadi negara kleptokrasi—negara yang diperintah oleh para pencuri. Kleptokrasi Kleptokrasi, sebagai catatan wikipedia.org, berasal dari dua kata Latin, yakni klepto + kratein: “diperintah oleh maling”. Istilah ini mengacu kepada sebuah bentuk administrasi publik yang menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri sendiri (yang umum disebut sebagai penguasa dan antek-anteknya), administrasi publik ini umumnya tidak jauh dari praktik-praktik kronisme, nepotisme dan makelarisme. Lebih tandas lagi, negara kleptokrasi adalah negara yang dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan ditandai oleh keserakahan, ketamakan, dan korupsi merajalela (a government characterized by rampant greed and corruption), (Amich Alhumami dalam Thomas Koten: Negara Kleptokrasi, Oligarki, dan Plutokrasi) Merujuk pada pengertian ini, maka kleptokrasi yang dialamatkan kepada negeri ini bukanlah isapan jempol belaka. Demikianlah adanya. Memang sejatinya negeri ini berdasarkan demokrasi Pancasila—notabene: menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, hingga tak ada tempat bagi prilaku korupsi. Ini tentu menjadi ironi. Kita lihat saja, korupsi yang telah menggurita di negeri ini. Beritanya dapat kita simak tiap hari. Seolah: tak ada hari tanpa korupsi, dan tak ada lembaga nirkorupsi. Priode 2006-2011 saja, ada 15 kasus korupsi (catat: korupsi besar saja karena data ini menyampingkan korupsi-korupsi kecil) yang terjadi di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Mulai dari kasus Anggota DPR 2004-2009, dari Partai Demokrat, Azidin, yang terlibat kasus calo katering…, kasus M. Nazaruddin yang masih hangat menjadi pemberitaan (kasus di legislatif), kasus Mantan Gubernur Sumsel Syahrial Oesman yang terjerat korupsi alih fungsi hutang lindung (kasus di lembaga eksekutif), sampai Hakim PT TUN, Ibrahim, yang terlibat kasus suap. Data tersebut tentu catatan sekilas saja—demi memberi gambaran—dari korupsi yang telah berurat berakar di negeri yang sejatinya mengharamkan kleptokrasi ini. Kalau mencuri dan mencuri saja yang mereka pikirkan, kapan lagi mereka sempat memikirkan pembangunan manusia seutuhnya—sebagai cita-cita Pancasila—apalagi, pribadi mereka saja mengalami kerusakan sebagai manusia (dehumanisasi). Sakit Jiwa + Dehumanisasi Bisa jadi, bahkan besar kemungkinan, sebagai kleptomania, orang-orang yang berkuasa dalam rezim kleptokrasi adalah pengidap penyakit jiwa. Kleptomania sendiri adalah penyakit jiwa yang membuat penderitanya tidak bisa menahan diri untuk mencuri. Benda-benda yang dicuri oleh penderita kleptomania umumnya adalah barang-barang yang tidak berharga, seperti mencuri gula, permen, sisir, atau barang-barang lainnya. Sang penderita biasanya merasakan rasa tegang subjektif sebelum mencuri dan merasakan kelegaan atau kenikmatan setelah mereka melakukan tindakan mencuri tersebut. Tindakan ini harus dibedakan dari tindakan mencuri biasa yang biasanya didorong oleh motivasi keuntungan dan telah direncanakan sebelumnya (wikipedia.org). Yah, tak menjadi soal kalau para penguasa itu hanya mencuri benda-benda tak berharga, semisal sisir, kancing baju, lem kertas, dlsb, tapi dalam rezim kleptokrasi, yang digondol adalah uang rakyat. Karena korupsi sudah dianggap hal biasa—bahkan sebagian menganggapnya soal kesempatan saja—maka mereka tak sungkan untuk melakukannya. Seolah tak ada yang salah dengan itu. Bahkan bisa jadi ada efek ketagihan di sana. Ketika satu kali ia korupsi tidak ketahuan, korupsi lagi tidak ketahuan lagi, maka sepanjang menduduki kursi kekuasaan ia melakukan kejahatan itu. Mereka juga tak sungkan-sungkan (karena memang jiwanya sakit) membelanjakan uang hasil korupsinya untuk kebutuhan keluarga—memberi makan anak-anaknya—seolah uang itu halal belaka. Terjadi proses dehumanisasi di sana. Dimana nilai-nilai kemanusiaan yang ada padanya diingkari. Dia tahu kalau korupsi itu jahat, tapi tetap juga dilakukan. Dia tahu suap itu haram tapi terus-menerus dilakoni. Dst.  Terlebih lagi, proses dehumanisasi ini tanpa kontrol—dari luar dirinya. Sebab perbuatan itu juga dilakukan oleh semua orang di rezim itu. Kompak satu sama lain. Jadi ketika satu kasus terbongkar, maka tangan-tangan gurita mereka saling menutupi agar tak tercium dan melebar kemana-mana. Bayangkan saja, bagaimana DPR bisa mengontrol eksektutif kalau mereka sama-sama korup? Bagaimana juga hakim bisa mengadili "DPR" dan "pemerintah", kalau toganya juga penuh dengan sogokan? Mereka seakan korupsi berjamaah—dan tahu posisinya kapan berdiri di depan dan kapan di belakang. *** Orang mungkin menganggap ini sinisme belaka. Negara kleptokrasi hanya apatisme orang yang tak mau berbuat apa-apa melihat keadaan. Tapi tidak, pridiket ini menjadi tamparan bagi kita—khususnya bagi kita—betapa buruknya cermin pemerintahan di negeri ini. Tentu bisa dirobah kalau penguasa mau merobahnya, dan itu bukan janji manis semisal, “Saya orang terdepan yang akan berperang melawan korupsi”. Atau kalau juga tidak menunggu kekuatan rakyat menghancurkan bangunan bernama kleptokrasi itu. Dengan godam revolusi: walaupun syarat untuk itu, sebagai Tan Malaka, masih jauh di negeri ini. Ya, kalau tidak mau menunggu saja mungkin kita (khususnya: penguasa) menghidupkan kembali hati nuraninya. Moralnya. Menjadi manusia kembali. Saya yakin, tiap kali orang melakukan korupsi, mestilah pada dasarnya hati nuraninya memberontak: “Jangan lakukan!”—terkecuali bagi mereka yang telah mati nuraninya. Lupakan! Kayaknya memang kita memang lebih senang menunggu Godot!—duduk di bawah pohon sambil menghisap habis angan-angan. Hmm... [*] JEMIE SIMATUPANG kompasianer. NB: saya lupa sedikit memasukkan Robin Hood atau Si Pitung, yang konon mencuri uang dari penguasa kemudian membagikannya kepada rakyat jelata. Akh, mungkin mereka counter dari kekuasaan kleptokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun