[caption id="attachment_112800" align="aligncenter" width="672" caption="nah, macam ginilah kira-kira bentuknya (sumber:sinyal-radio.blogspot.com)"][/caption]
Sandiwara selesai,
celakanya imajinasinya tidak
Oleh JEMIE SIMATUPANG BOLEH DIBILANG harta yang paling berharga di rumah kami yang di tengah hutan—kebun kelapa sebenarnya—adalah radio. Hm, saya coba ingat-ingat bentuknya, beri saya waktu 2 menit. Dia petak. Ukurannya panjang x lebar x tinggi: 40 cm x 20 cm x 30 cm. Mereknya Noble. Dibelakangnya ada semacam penutup yang bisa dibuka untuk mengganti battery kering merek ABC—yang kalau energinya habis, dan belum punya uang untuk mengganti yang baru, bolehlah dihangat-hangatkan di bawah sinar matahari. (Tips: kalau sudah meleleh sebaiknya sebelum dijemur bersihkan dulu cairan kecoklatan yang keluar dengan lap yang tak dipakai lagi) Itu harta paling berharga kami, tapi bukan maksud hati bercerita soal kesusahan kami—hahaha, kalau itu semua orang sudah tahu, apalah yang bisa dianggarkan dari keluarga nelayan tanpa perahu? Tanpa alat produksi, dan walaupun waktu itu lagi populer-populernya lagu termiskin di dunia (kalau tak salah ingat). Tak ada. Makanya saya hanya ingin bercerita soal radio merek nobel tiga ban itu—eh, satu lagi saya belum bilang kalau radio itu memiliki tangkai untuk memudahkan memindahkannya kemana-mana. Masa kecil saya, tak ada hari tanpa radio. Dengarkan lagu. Mendengarkan berita—biasanya bapak suka mendengarkan berita dari BBC, dan saya sebel setengah mati karena pada jam-jam itu kuasa saya pada radio tergusur. Atau memantau harga cabe, tomat, sayur-mayur, yang saya sendiri tak tahu gunanya apa, tapi tetap saja di dengar—“Kentang mutu ABC jual sekian, beli sekian. Wartel tanpa daun jual sekian, beli sekian …” juga yang paling penting adalah sandiwara radio. Dan sekarang saatnya kita mendengarkan sandirawa radio: SAUR SEPUH! Jeng..jeng..jeng… Saur sepuh adalah sandiwara radio yang mengambil latar jaman kerajaan Majapahit—masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Tokoh sentralnya bernama Brama Kumbara, diperankan oleh Fery Fadly—yang waktu itu jadi jagoan sandiwara radio, selain Bahar Mario. Diceritakan (hahaha, kok keOVJ-OVJan ya) Brama adalah Raja Madangkara yang merebut kerajaannya dari jajahan Raja Gardika (Raja Kerajaan Kuntala). Brama punya ajian (ilmu kanuragan) sakti, bernama gelang-gelang—juga ajian serat jiwa (kalau tak salah lagi). Sedangkan musuhnya punya jurus sakti: ajian serat jiwa. Saya lupa bagaimana detil-detil ceritanya, tapi akhirnya Brama berhasil merebut kembali kerajaannya dan mengalahkan Gardika. Brama juga punya burung elang sakti, yang bisa dipakai sabagai kendaraan—mungkin cerita ini diilhami dari cerita Wisnu yang menunggangi Sang Garuda. Tiap kali sandiwara ini diputar, saya sudah staytuned di depan radio. Duduk manis. Tak boleh ditukar ke siaran lain—oleh siapa pun. Saya menikmati sekali ketika pembawa acara menyebutkan judul sandiwara dan siapa pemerannya, Ferry Fadli sebagai Brama Kumbara, Elly Ermawati sebagai Mantili (Adik Brama) … dan pembawa acara, … akh, saya lupa namanya. Biasanya sering kali sandiwara radio dimulai dengan suara derap kuda, deduk…deduk…deduk…, dan biasanya diikuti dengan kata, “Hai kisanak, berhenti!” Dan saya yang mendengarkan serasa menjadi penunggang kuda—karena yang naik kuda adalah tokoh utama. Dan ketika Brama melayang bersama rajawali, saya juga merasa melayang. Bahkan saya pikir sayalah Brama Kumbara—Raja Madangkara itu, hahaha… (sial, bikin malu saja). Segala macam bayangan muncul di kepala saya, saya seperti melihat detil bagaimana cerita itu terjadi, seolah-olah itu tidak sekedar sandiwara radio belaka. Dan, gila, saya berdoa dalam hati, ketika menit-menit Brama dikalahkan oleh Gardika, dan doa saya dikabulkan karena ia ditolong oleh Sang Rajawali. Sandiwara selesai, celakanya imajinasinya tidak. Ketika berjumpa dengan kawan-kawan sebaya—yang juga “korban” sandiwara radio, mulailah kami bermain peran. Anehnya semuanya ingin jadi Brama Kumbara. Tak ada yang mau jadi bandit. Tak apa-apa, tokh ini bukan di sandiwara radio, jadilah Brama Kumbara vs Brama Kumbara, keluar ajian yang sama. “Hiatt, ajian serat jiwa!” Kuda-kudaan pun disiapkan, terbuat dari sebatang pelepah pisang dan dibuat sedemikian rupa hingga menyerupai seekor kuda tanpa kaki—dan harus dipastikan bahwa dibagian belakang kuda ada ekor yang terbuat dari daun pisang yang dikoyak tipis-tipis yang hingga menyerupai rumbai-rumbai. Kami pun lalu mulai berkisanak-kisanakan dan menirukan beberapa dialog episode hari ini. Sandiwara itu boleh setengah jam, tapi kami bermain brama-bramaan bisa lebih dari satu setengah jam, hahaha… Imajinasinya ternyata lebih liar daripada pengarangnya—kalau tak salah Niki Kosasih—sendiri. Sekarang bisa dipastikan tak ada lagi sandiwara radio—paling tidak pengetahuan saya, boleh diperiksa lagi. Orang lama-kelamana berpaling ke TV dengan sinetron-sinetronnya. Yah, nonton sinetron—silat juga misalnya—mengasyikkan, tapi tentu daya imajinasinya kalah kalau dibandingkan dengan sandiwara radio. Orang tak bisa berimajinasi kemana-mana, wong gambarnya sudah ada. Tapi imajinasi itu kadang bikin kecewa juga. Tokoh Brama Kumbara misalnya, digambarkan berbadan tegap, ganteng, gagah, tapi ternyata ketika satu kali saya ditunjukkan pada foto Ferry Fadli di sebuah koran—yang entah dari mana datangnya dulu—,saya kecewa. Lah, kok kurus ya? Lebih ceking daripada berotot, hahaha… tapi cemana pun bayangan Brama Kumbara tetap yang gagah itu, bahkan serasa menolak, akh, mesti bukan dia pemerannya—bukan di Ferry Fadli, ngaku-ngaku, hahaha…. Satu lagi, ini penting, pesan sponsor, hahaha... kalau tidak ada ini, tak mungkin kita bisa mendengarkan sandiwara radio. Sandiwara ini disponsori oleh obat-obatan produsen Kalbe Farma, saya masih ingat satu iklan obat yang jingelnya seperti ini: bila Anda pilek dan sakit kepala, nana, nana—tanpa menyebutkan merek—obatnya. *** SANDIWARA RADIO yang dulu pantang saya lewatkan setelah Saur Sepuh: Tutur Tinular (saya kagum dengan kemahiran pendekar syair berdarah bermain kata-kata), Misteri Gunung Merapi (siapa yang berani dengan Mak Lampir dan Gerandong?), Galang, Butir-Butir Pasir di Pantai, dan tentu saja Ibuku Sayang, Ibuku Malang (hahaha, saya ingat tokoh Sasongko yang ingin kawin lagi dan Damayanti yang suka berpuisi). Dari radio kecil itu, saya merasa mendapat kekayaan imajinasi di tengah…., akh, tak usahlah saya bilang. Ya, itu cerita saya, cemana ceritamu? Ahai, ini bukan iklan mie instan ya. Tiba-tiba saya ingin memplesetkan Gombloh Alm: di radio aku dengar sandiwara kesayanganmu![*] JEMIE SIMATUPANG kompasianer. Inspirasi: catatan-catatan jadul Mbak Dina Sulistyaningtias
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H