Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pergulatan Imajinasi Hasan Tiro

30 Mei 2011   05:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:04 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_111124" align="aligncenter" width="544" caption="Hasan Tiro, bergulat membangun imajinasi Aceh (sumber:koranbaru.com)"][/caption] Oleh JEMIE SIMATUPANG Judul buku    : Hasan Tiro, Dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis Penulis            : Ahmad Taufan Damanik Penerbit         : Friedrich Ebert Stiftung dan Acheh Future Institute Cetakan          : kedua, Mei 2011 Halaman        : 124 (Indonesia + Inggris) TENGKU HASAN MUHAMMAD TIRO atau yang popular dikenal Hasan Tiro adalah salah satu—dari ratusan—tokoh yang punya pengaruh besar bagi sejarah Aceh. Ia adalah deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada Desember 1976.  Dan ia sempat naik-turun gunung demi mengusir apa yang mereka yakini sebagai penjajah Indonesia-Jawa dari bumi Aceh. Konsekwensi dari jejak langkahnya itu, di Indonesia nama Hasan Tiro identik dengan pengkhianat, bandit, dan segala pridikat buruk lainnya. Sebaliknya, di Aceh ia dipuja dan dipercaya bak mesiakh yang ditakdirkan Tuhan untuk menyelematkan Aceh dari penjajahan dan penindasan—termasuk mengembalikan kejayaan Aceh seperti yang pernah tercatat dalam sejarah. Buku ini, sebagai diakui oleh penulisnya, bukanlah biografi linear Hasan Tiro. Pun kalau masih ingin disebut sebagai biografi, mungkin semacam biografi pemikiran; bagaimana pergulatan pemikiran Hasan Tiro—yang ternyata berubah—dalam memperjuangkan dan mengembalikan kejayaan Aceh. Antagonisme Indonesia-Jawa Sebuah bangsa sebagai sebuah identitas tak lahir dengan sendirinya. Ia timbul karena ada relasi-relasi sosial yang berkembang. Buku ini menggunakan pendekatan Laclau dan Mouffe—duo filsuf post-marxist—dalam melihat terbentuknya identitas yang dinamakan bangsa Aceh. Mereka (Laclau dan Mouffe) menyatakan, “identitas yang utuh cenderung tak bisa eksis, orang cenderung mencari identitas lain dalam perbedaan”. Dengan membangun sistem perbedaan, mereka memisahkan diri dari “rantai kesamaan di dalam rantai popular dan mentransformasikan mereka ke dalam perbedaan-perbedaan objektif di dalam sistem”. Sementara di sisi lain juga muncul “suatu hubungan penyamaan yang menamung semua determinasi positif….” (hal. 9) Identitas yang utuh dalam hal ini adalah imajinasi Indonesia, sedang Aceh cenderung mencari identitas “baru” yang mencari perbedaan pada imajinasi Indonesia. Bangsa Indonesia menjadi antagonis (atau yang lain) dan berhadapan vis a vis dengan imajinasi baru (baca: Imajinasi Aceh)—yang dikontruksi pelaku-pelaku sosial (boleh baca: tokoh Aceh termasuk Hasan Tiro). Pembentukan identitas baru ini mengalami ketegangan, karena memang identitas utuh, sebagai Laclau, menolak adanya identitas yang lain. Tak pelak kemudian Aceh menjadi ajang perang saudara yang banyak memakan korban sepanjang sejarah Indonesia. Imajinasi Aceh—yang berubah Awalnya Aceh mendukung penuh—menggunakan Ben Anderson—“a new imaginary of Indonesia” walau terjadi ketegangan-ketegangan, karena beberapa pihak menyatakan Aceh bukanlah bagian dari imajinasi baru ini, karena ia merupakan identitas yang lain. Di awal kemerdekaan—sebagai bukti kesetiaan—rakyat Aceh mengumpulkan emas untuk membeli pesawat angkutan pertama yang dimiliki Indonesia. Pengakuan kesetiaan ini bukan tanpa syarat, Beureuh mengajukan kepada Soekarno agar di Aceh diberlakukan syariat Islam. Soekarno, walau menolak teken hitam di atas putih, memberikan lampu kuning keinginan tokoh Aceh itu. Tapi seiring perjalanan waktu, Soekarno tak kunjung memberi lampu hijau. Bahkan satu kali mengatakan—kira-kira—“saya tak bisa membayangkan ada Aceh yang menerapkan hukum Islam di bawah NKRI!”. Mendengar itu Beureuh berang, ia tarik dukungannya dan dengan tegas-tegas memproklamirkan diri menjadi bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo. Hasan Tiro adalah murid Beureuh. Sejak awal ia terlibat dalam perjuangan-perjuangan yang dipimpin gurunya itu dalam mewujudkan Aceh menjadi Negara Islam. Bahkan karena aktifitasnya itu, ia harus mengasingkan diri ke Amerika, dan kembali lagi—karena panggilan nurani—ke Aceh pada September 1976, dan tak lama kemudian menggagas Gerakan Aceh Merdeka. Aceh Merdeka dalam imajinasi Hasan Tiro kali ini berbeda dengan apa yang diperjuangkan Beureuh dulu—atau yang ia turut perjuangkan dulu. Hasan Tiro memperjuangkan Aceh-Nasionalis yang sekuler, walaupuan beberapa pemletnya tetap menggunakan Quran dan Hadis sebagai basis perjuangan. Perubahan ini dinilai beberapa kalangan wajar karena Hasan Tiro telah bersentuhan dan bergumul dengan pengalaman dan khasanah barat. Bahkan Hasan Tiro sering mengutip “Sabda Zarathustra” karangan Nietzsche, filsuf Jerman yang terkenal dengan ungkapan “Tuhan sudah mati!” itu, sebagai spirit perjuangannya.  Satu kali ia menulis, “Kamu saya nasehatkan untuk tidak bekerja, kecuali untuk bertempur. Kamu saya nasehatkan untuk tidak berdamai, kecuali untuk kemenangan. Biarkan pekerjaanmu menjadi bertempur, biarkan damamimu menjadi kemenangan. (hal. 44) Tampak bahwa imajinasi tentang Aceh berubah dari (bagian) nasional Indonesia, ke Negara Islam, dan di tangan Hasan Tiro sendiri menjadi Aceh-Nasionalis. *** Kini Aceh-Indonesia telah berdamai. Dan Hasan Tiro (yang kini telah wafat) turut memprakarsai perdamaian itu. Mungkin ini baginya, menyitir Nietzsche, “berdamai untuk kemenangan”. Buku ini menjadi dokumen penting bagi siapa saja untuk melihat bagaimana sebuah bangsa bernama Aceh menyusun imajinasi kolektifnya. Dari buku ini, sebagai keterangan penulisnya, kita bisa belajar, bahwa sebuah bangsa bisa berubah—bahkan hilang ataupun menjadi ada. Dulu kita tahu ada Sriwijaya, Majapahit, Demak, di bumi nusantara ini, tapi kini hanyalah tinggal sejarah dan artefak-artefak dan sedikit sisa-sisa bangunan. Sebaliknya, dulu kita tak mengenal Slovakia yang terpisah dari Ceko, negara-negara bekas Uni Soviet yang merdeka, atau di Indonesia sendiri 20 tahun yang lalu belum lagi ada negara bernama Timor Leste. Jadi kita tak bisa mempertahankan mati-matian (terlebih dengan ide) bahwa sebuah bangsa akan utuh sampai akhir jaman. Harga mati—seperti pernyataan “NKRI harga mati!”. Kita tak tahu apa yang akan terjadi 20 tahun yang akan datang dengan negeri ini—bisa saja pecah atau bahkan hilang dari sejarah manusia layaknya Majapahit. Gus Dur satu kali, sebagai disitir penulis buku ini, pernah berkelakar. Seseorang bertanya kepadanya, “Gus, bagaimana kalau nanti Indonesia jadi Negara Islam?” Gus Dur menjawab, “Ya saya tinggal pakai jubah saja!”. Walau berkelakar Gus Dur sangat paham bahwa sebuah bangsa bisa berubah—bahkan hilang. Saya tak tahu apakah Gus Dur juga bilang, “Begitu saja kok repot!” [*] JEMIE SIMATUPANG kompasianer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun