Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Sekali Lagi: Mengapa Masih Plagiasi?

24 Februari 2011   02:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:19 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_92900" align="aligncenter" width="680" caption="Tanyakan hati nurani (sumber:answersto.files.wordpress.com)"][/caption]

jelek-jelek hasil keringat sendiri!

Oleh JEMIE SIMATUPANG PLAGIARISME. Kejahatan (dunia intelektual?) yang tuanya biasa jadi sama dengan sejarah tulis-menulis kembali terjadi—dan tampaknya terus terjadi (dan ini juga sering diributkan di kompasiana). Kali ini diungkap—dan terjadi—di Harian Analisa. Redaksi sendiri membuat klrafikasi pada harian itu (21/02) setelah seorang korban yang karyanya diplagiasi mengirimkan e-mail ke harian itu, yang menyatakan karyanya telah dijiplak. Sayang dalam klarafikasi itu Analisa tidak menyebutkan siapa oknum yang telah melakukan plagiasi itu, hanya mengatakan bahwa tulisannya sering muncul di beberapa harian di Medan—artinya tidak di Analisa saja. Saya sendiri—dan tidak berani juga menyebutkan oknum—menduga siapa orangnya, karena beberapa kali saya melihat tulisannya yang tampil di media itu merupakan hasil jiplakan (bahkan kadang hanya copy-paste) dan mengganti sedikit judul, dan membuat pengantar yang agak berbeda dengan tulisan asli (mungkin untuk mengelabui). Hebatnya, orang ini bahkan berani memplagiasi tulisan sekelas Yasraf A. Piliang, yang sebenarnya kalau kita (boleh baca: redaksi) jeli dengan gampang mendeteksinya: tanyakanlah ke Pak Google. Terlepas siapa orangnya, pertanyaan mendasarkan kemudian: “Mengapa orang terus melakukan plagiasi?” Yah, pertanyaannya mungkin menjadi sama: “Mengapa orang orang korupsi?” Padahal semua tahu kalau korupsi adalah kejahatan yang dikutuk 100.000 umat manusia tiap detiknya. Tapi tiap hari juga ada orang yang melakukannya: tak peduli kalau kemudian ditangkap KPK ataupun dibui—terlebih hukum yang berjalan sebatas kepura-puraan belaka. Saya kira begitu juga plagiarisme. Kalau dilihat-lihat memang dua kejahatan ini—plagiat dan korupsi—tak jauh beda, kedua-duanya sama-sama tindakan mengakui hak orang lain menjadi—seolah-olah—hak kita. Uang orang lain (rakyat) menjadi kas pribadi kita, tulisan (karya) orang lain menjadi—seolah-olah—karangan sendiri. Ya, bisa jadi orang melakukan plagiarisme karena motif ekonomi. Kita tahu—semisal menulis di media cetak—mendapatkan honor yang lumayan untuk sekedar mentraktir kawan-kawan membeli bakso. Tapi kalau kemudian karya plagiasi dikirimkan ke banyak media, mestilah ia tidak sekedar untuk mentraktir, tapi mencari—maaf—makan dari hasil kejahatan itu. Naudubillah. Yang lain bisa jadi karena motif ingin jadi “intelektual” dengan tulisan-tulisan plagiasinya. Biar orang lain bilang: “Akh, lihat si Anu, pintar dia, tulisannya di muat di mana-mana!” Wahyu Wibowo, seorang penulis kreatif, dalam bukunya Berani Menulis Artikel (Gramedia, 2006) menyatakan kalau plagiarisme ada hubungannya dengan kemalasan seseorang (penulis) untuk berpikir. Konon aktifitas menulis membunuh energi lebih untuk berpikir—bahkan kalau sampai tulisan itu lahir dari sebuah penelitian. Ingin instan—cepat jadi, cepat terkenal, cepat pula dapat uang—orang kemudian mengambil jalan pintas dengan menjiplak karya orang mentah-mentah. Apapun motif dan alasannya paling tidak pelaku plagiasi itu kini mendapat hukuman. Harian Analisa, dalam klarifikasi itu, memblack-list orang ini, “Maaf, tidak ada tempat bagi plagiator!” tegas mereka. Dan bisa jadi juga harian-harian lain mengikuti kebijakan ini. Akhirnya, mari menulis dengan hati nurani. Pengalaman sendiri, ketika mengutip karya orang tapi tak menyebutkan sumber (bahkan itu satu kalimat saja) bikin tak enak tidur. Apalagi telah terpublikasi, ingin rasanya cepat-cepat menarik tulisan itu, atau paling tidak mengeditnya. Kalau kita menulis dengan panduan, dengan ijin Tuhan, kita tak akan membuat tulisan menghujat (tanpa arah), mengadu-domba, apalagi plagiasi. Jadi ingat stiker yang (dulu) banyak tertempel di bus kota: “jelek-jelek hasil keringat sendiri!” Benar tak, Lae!? [*] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun