[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Negara mengabaikan kepentingan terbaik bagi anak (sumber:media.vivanews.com)"][/caption]
'Tidak!' semestinya. Kecuali negara telah melakukan diskriminasi terhadap anak-anak yang terlahir prematur
Oleh JEMIE SIMATUPANG Tuhan maha tahu, tapi dia menunggu, tulis Leo Tolstoy, sastrawan keliber dunia asal Rusia, pada sebuah cerita pendeknya. Ya, Tuhan, walau tahu ketidakadilan telah menimpa sepanjang sejarah manusia, tapi dia menunggu bagaimana manusia itu berjuang mengubah nasibnya. Selanjutnya saya tidak berpanjang-lebar bicara soal Tuhan—terlebih Teologi—, saya bicara tentang 12 produk susu berbakteri Enterobacter sakazakii yang sampai kini masih beredar bebas dipasaran, dan celakanya kita tidak bisa memindai—produk mana saja itu—karena negara—dalam hal ini menteri kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih—(pihak yang sebenarnya telah mengetahui) tidak memberikan informasinya kepada rakyat, susu-susu mana saja yang tercemar bakteri. Meminjam dengan sedikit memplesetkan Tolstoy, saya mengakatakan: negara tahu, tapi dia diam saja prihal nama-nama produk susu yang berbakteri. Bergeming. Ia melampui Tuhan, yang menunggu, karena sudah banyak keluhan dan protes berdatangan, tapi tak satu pun nama keluar dari mulutnya. Abaikan Hak Anak Indonesia sejatinya telah menandatangani dan meratifikasi kovensi hak anak (KHA). Artinya: Indonesia terikat dan wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi semua hak-hak anak (pendidikan, kesehatan, tumbuh kembang, dlsb) yang ada dalam konvenan internasional tersebut. Salah satu prinsip yang ada dalam KHA adalah kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child). Artinya semua tindakan yang dilakukan oleh negara—sebagai pemangku kewajiban—harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak—sebagai right holder atawa pemegang hak. Berkaitan dengan kasus susu formula berbakteri yang beredar dipasaran, negara telah melakukan pelanggaran terhadap prinsip “the best interest …”. Sebagai kita tahu, isu mengenai 12 produk susu berbakteri digelontorkan oleh Menteri Kesehatan, sebagai representasi negara. Tapi ketika rakyat meminta lebih lanjut: “produk mana saja yang tercemar?”. Bu Menteri malah bungkam dan melamparkan bola panas ke Istitute Pertanian Bogor (IPB)—konon sebagai pihak yang melakukan penelitian terhadap susu-susu tersebut. Jelas sikap ini melanggar hak anak, ia mengabaikan prinsip kepentingan terbaik bagi anak—yang seharusnya terlindungi dari susu berbakteri kalau saja negara mengumumkannya. Walaupun dijelaskan bahwa bakteri yang ada pada produk tersebut tidak berbahaya bagi anak-anak kecuali anak yang lahir prematur dan kondisi khusus lain. Pertanyaan berikutnya: “apakah anak-anak yang prematur tersebut, karena mungkin jumlah mereka hanya sedikit, boleh dibiarkan untuk terus mengkonsumsi susu berbakteri—semisal produk yang diminumnya sehari-hari termasuk yang tercemar? “Tidak!” semestinya. Kecuali negara telah melakukan diskriminasi terhadap anak-anak yang terlahir prematur. Langgar Hak Konsumen Dalam ekonomi tradisional, ada pepatah: “Pembeli adalah raja!” Walaupun mungkin pada ekonomi kapitalistik, logika itu kemudian dibalik, penjual, lebih besarnya lagi: produsen adalah raja. Ini bisa dilihat misalnya bagaimana konsumen—dijaman yang konsumeristik—menjadi hamba-hamba dari barang-barang, produk, yang diciptakan oleh produsen. Kita pikir: “Apa jadinya kita tanpa pakai Levis?” Pun begitu, semangat untuk merajakan kosumen tetap ada. Tak heran kemudian negara—semisal Indonesia—menyusun instrumen hukum Undang-undang Perlindungan Konsumen. Di sana, hak-hak seorang pembeli, pemakai produk, konsumen dari produk-produk dilindungi dari kecurangan-kecurangan ataupun kesalahan-kesalahan—baik sengaja atau tidak—yang dilakukan oleh produsen. Dan posisi negara dalam hal ini adalah pihak yang bertanggung-jawab melindungi, memastikan bahwa tidak ada hak-hak konsumen dilanggar. Tapi dalam kasus susu formula ber- Enterobacter sakazakii, negara malah sepertinya menjadi pihak yang melindungi produsen. Terbalik. Bisa jadi Bu Menteri salah membaca undang-undang, sehingga salah juga penerapannya. Sebab sampai sekarang pun nama-nama produk susu yang tercemar tak diumumkan kepada publik. Bahkan Mahkamah Agung (MA), terkait sengketa antara seorang praktsi hukum David Tobing dengan Menteri Kesehatan, IPB, da BPOM prihal produk susu tersebut, telah mengeluarkan putusan yang mengharuskan Menteri Kesehatan, BPOM, dan IPB mengumumkan susu-susu yang tercemar bakteri. *** Kita kemudian bertanya: “Apa yang terjadi sebenarnya?” Mengapa negara—khususnya: menteri kesehatan—bersikukuh dengan berbagai alasan menolak mengumumkan susu tersebut? Apakah ada persengkongkolan antara produsen susu—yang bisa saja korporasi besar—dengan kementerian kesehatan? Entahlah. Tapi poin kita terlalu bejat kalau kemudian pemerintah mengabaikan—dan melanggar—hak anak dan produsen (rakyat yang semestinya dilindungi) hanya demi kepentingan ekonomi, kekuasaan, atau apa lagi? Akh, apakah mereka menunggu sampai jatuh korban? Betapa absurdnya negeri tempat kita tinggal ini.[*] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Catatan Selengkapnya