[caption id="" align="aligncenter" width="503" caption="sebentar lagi dia akan muncul di kaca kamar mandi Anda (sumber:tabloidnurani.com)"][/caption]
Nasinonalis kan tak harus tergantung pemimpin...
Oleh JEMIE SIMATUPANG
Pajak sama film Indonesia itu idem dito. Sama dengan. Sama-sama hantu. Pajak rakyat itu bisa menghilang kemana-mana, singgah di rekening orang-orang tak berhak. Orang-orangya begitu juga, coba saja kalau mereka kena perkara-perkara pajak, sekarang di Jakarta tiba-tiba bisa menghilang ke Makau, Malaysia, sampai Singapura. Sekarang di Jakarta bisa-bisa juga dihilangkangkan ke Amerika—kemudian jejak kasusnya hilang tak berbekas. Benar-benar seperti kuntilanak. Lah, film Indonesia juga begitu, lebih 50 prosennya cerita-cerita “seram” (dalam tanda kutip, karena memang tidak benar-benar seram), cerita hantu, dari Tuyul sampai Jenglot. Begitu sebagian repetan Mat Tanduk, sahabat Cok Kompas, kemarin, soal film hollywood (Mat Tanduk bilangnya: film barat) yang bakalan undur diri karena tak sanggup membayar bea masuk ke Indonesia—berdasarkan peraturan baru. Cok Kompas sendiri sempat tersedak,—karena sedang minum kopi—geli mendengar simpulan Mat Tanduk soal pajak sama dengan hantu itu. L u c u. Benar pula. Ia sendiri sebenarnya mendukung kebijakan negara ini, menurutnya tak adil juga kalau film-film hollywood itu meraup keuntungan besar-besaran sementara cuma bayar pajak rendah. Siang ini, di sela kerja kembali mereka terlibat pembicaraan soal film di negeri ini. “Tapi Mat, persoalan film hollywood itu bukan karena dilarang oleh negara, kan karena mereka yang tak sanggup—saya lebih senang bilangnya: tak mau, karena mereka untung besar-besaran kok. Kalau soal uang pajak kemudian hilang entah kemana, memang itu persoalan lain. Kata ‘Naga Bonar’ yang seniman film itu: Nasionalis sikitlah,” ujar Cok Kompas. “Ya, palak aja awak wak. Emosi. Benar juga memang yang kau bilang. Tapi cemanalah nak nasionalis, sulit awak bangga pada negeri ini ketika nengok tingkah pemimpin kita itu,” Mat Tanduk bersungut. “Nasinonalis kan tak harus tergantung pemimpin. Apalagi kalau berhadapan dengan kepentingan (perusahaan) asing. Momen yang pas kita dukung kebijakan negeri kita ini. Lah, kalau memang tak mau mereka bayar pajak, kita bilang saja, niru Bung Karno dulu: go to hell with your film (benar awak bilangnya?)” “Lah, tapi awak terlanjur suka dengan film-film mereka itu. Apa jadinya Indonesia tanpa Tom Cruise, Julia Robert, dan kawan-kawan…” “Tak akan jadi apa-apa, Mat. Tetap macam sekarang, tak akan turun sederajat kemanusiaanmu. Dan mungkin pula bisa jadi momen baik bagi kenasionalismean kita, biar kita nonton film sendiri. Syukur-syukur kemudian orang-orang film tidak bikin film hantu melalu. Dan yakinlah jugalah kau, cuma gertak sambal hollywood sajanya itu. Orang mereka untung besar-besaran kok di Indonesia. Ingat cemana kasus RIM produsen BB itu, kan akhirnya mereka bayar pajak juga,” “Tapi soal hantu-hantu itu …” “Kita serahkan ke penangkap hantu, kan banyak di negeri ini,” “Yang di pajak, Wak,” “Kita serahkan ke KPK—spesialis penangkap hantu pajak,” “Akurlah kita, wak!” [] JEMIE SIMATUPANG dipercaya Cok Kompas dkk. menyebarkan gagasan-gagasannya di kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H